Sehebat dan semegah apapun pembangunan MCC, mendukung apalagi tidak mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa menyentuh langsung warga miskin adalah ‘omong kosong' apalagi jika di kemudian hari gedung MCC itu melahirkan banyak masalah seperti kemacetan, banjir dll. Ingat, program-program antikemiskinanlah yang mampu mengentaskan orang miskin, bukan akibat pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari gedung-gedung megah dan mengundang banyak investor ke Kota Metro!
Disfungsi
Pembangunan
Disfungsi adalah tidak berfungsi secara normal atau terganggu fungsinya.
Seperti disfungsi seksual atau disfungsi ereksi, dalam dunia kesehatan selalu
dimaknai sebagai kesulitan membangunkan alat vital atau terganggu/mengalami
kesulitan ereksi jika berhadapan dengan
pasangannya tetapi tidak menjadi normal ketika berhadapan dengan
perempuan/laki-laki lain.
Jadi, jika dihubungkan dengan pembangunan, disfungsi pembangunan adalah
tidak berfungsi atau terganggunya fungsi pembangunan karena dianggap tidak
mengacu pada tujuan pembangunan
nasional yakni untuk mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
dan melindungi segenap bangsa. Atau bisa juga diberikan pengertian bahwa
disfungsi pembangunan adalah kesulitan ereksi kekuasaan jika berhadapan dengan kebutuhan
rakyat kecil alias kuasa tak pernah lagi berpihak pada kesejahteraan umum
rakyat.
Contoh kasus, kebijakan pembangunan ruko di sepanjang jalan utama di
Kota Metro, atau rencana pembangunan Metro Convention Center (MCC) misalnya,
memicu pertanyaan kritis benarkah kita (warga kota) membutuhkan gedung super
mewah dan besar yang dibanguan dengan rencana biaya lebih dari 30 milyar rupiah
itu? Benarkah kita yang hidup di pinggiran kota lebih membutuhkan gedung
daripada saluran irigasi yang baik, akses jalan yang tidak berlubang? Benarkah
pusat kota kita lebih butuh bangunan megah daripada pedestrian atau jalur pejalan
kaki yang bisa dibangun sepanjang Jl AH. Nasution (antara pohon Mahoni - pagar)?
Apakah kemajuan pembangunan kota harus selalu ditandai dengan ruko-ruko
yang dijejer sepanjang jalan utama, membangun beton-beton besar dengan
mengabaikan pertanyaan sejauhmana signifikan dan relevansinya bagi warga kota?
Apakah masyarakat memerlukan itu (menjadi kebutuhan prioritas warga)? Abai atas
pertanyaan-pertanyaan tersebut, menjadikan pembangunan tidak (lagi) berbasiskan
kebutuhan. Akibatnya, ke depan pembangunan yang tak berbasis data dan kebutuhan
tersebut bisa melahirkan penyesalan yang melahirkan dampak ikutan,
bongkar-pasang pembangunan!
Begitulah disfungsi pembangunan itu terus menerus dipertontonkan.
Pemerintah tak pernah lagi ereksi terhadap warga (mendedikasikan pembangunan untuk kesejahteraan
warga kota), pemerintah lebih asyik-masyuk selingkuh dan bercumbu dengan para
pengembang, ereksi untuk kepuasan dan kesejahteraan pemodal.
Pembangunan semestinya tidak boleh dimaknai secara parsial, membangun
fisik kota tapi mengabaikan manusianya. Amartya Sen mengintroduksi definisi
baru soal pembangunan sebagai kebebasan (delevoment
as freedom) dalam bukunya Develoment
as Freedom (2000). Bagi Sen, pembangunan bukan hanya soal menuntut
pendapatan per kapita yang lebih tinggi yang menempatkan pertumbuhan ekonomi
sebagai satu-satunya indikator pembangunan, tetapi pembangunan harus selalu
mengacu pada nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Sen dalam studinya merumuskan
bahwa pembangunan harus menyelesaikan persoalan warga lokal, terutama
kemiskinan, bukan malah sebaliknya mengundang banyak investor yang justeru
mencekik kehidupan ekonomi penduduk lokal. Untuk itu, Sen merumuskan kembali
pengertian kemiskinan yang dalam pandangannya, kemiskinan adalah berbagai
kondisi, selain kekurangan pangan, seperti kurangnya nutrisi, buta huruf,
tiadanya kebebasan sipil dan hak-hak berdemokrasi, diskriminasi, pengidapan
penyakit, dan berbagai bentuk perampasan hak-hak milik (entitlement) pribadi adalah bentuk-bentuk kemiskinan yang
menciptakan penderitaan, dan itulah yang harus diselesaikan pertama dan utama
dalam kebijakan pembangunan.
Narasi tentang “kampung kejepit”
adalah fenomena dari maraknya pembangunan yang mengabaikan kemanusian dan warga
lokal. Pemerintah seolah-olah menutup mata, bahwa ada banyak penduduk yang
rumahnya terhimpit di antara beton-beton yang terus ditegakkan, sehingga akhirnya
mereka menjadi tidak nyaman dan terpaksa menjual pekarangan dan rumahnya dengan
harga murah, kemudian pergi ke pinggiran-pinggiran kota. Dan setiap saat
fenomena itu terus bermunculan, penghuni kota atau warga lokal pelan-pelan
terus terdesak ke pinggiran akibat pembangunan yang mengabaikan warga lokal.
Fenomena dan konteks pembangunan
seperti ini menjadi kritik sekaligus perhatian Sen untuk kembali meletakkan soal
pembangunan pada posisi redistribusi aset non-fisik. Pemberdayaan politik
masyarakat, melalui media sosialisasi yang cerdas, tidak membodohi, tidak
memanipulasi dan menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Melibatkan warga
sejak awal, sehingga pembangunan betul-betul ditujukan untuk pemenuhan kebutuah
warga kota, bukan melibatkan warga setelah pembangunan dilaksanakan, dan warga
diminta untuk mengangguk, baru dilibatkan untuk merawat dan mengurusnya.
So?
Apapun yang pemerintah Kota Metro
lihat di luar sana, tentang perencanaan, penataan dan pembangunan kota lain,
tetapi tetap abai dengan data dan kebutuhan dasar warga kotanya, maka kebijakan
pembangunan secanggih dan sehebat apapun, akan menjadi pembangunan yang tak
fungsional dan akhirnya terbengkalai dan mubazir. Karena, bagaimanapun kota
tetap memiliki karakternya sendiri termasuk karakter dan kebutuhan warganya,
yang sama sekali berbeda dengan karakter dan kebutuhan warga di kota lain.
Dan, sehebat dan semegah apapun
pembangunan MCC, mendukung apalagi tidak mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa
menyentuh langsung kebijakan bagi warga miskin adalah ‘omong kosong' apalagi
jika di belakang hari gedung MCC itu melahirkan banyak masalah seperti
kemacetan, banjir dll. Ingat, program-program antikemiskinanlah yang mampu
mengentaskan orang miskin, bukan akibat pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan
dari gedung-gedung megah dan mengundang banyak investor ke Kota Metro!
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: