Sinar
matahari tak lagi terik, pohon-pohon mahoni yang berjejer rimbun sepanjang
jalan utama Kota Metro, membuat para pesepeda merasa nyaman mengayuh sepedanya
mengelilingi kota, Kota Metro sedang tumbuh dan bergeliat. Tampak beberapa
bangunan ruko saling kejar menambah ketinggian dan melebarkan diri, serta tak
ketinggalan merias wajah dengan modal tak sedikit.
Geliat pertumbuhan minimarket yang berjejal sepanjang jalan-jalan utama, AH. Nasution, Soekarno-Hatta, Sudirman, AR. Prawiranegara, Ahmad Yani, Sudirman, Diponegoro dan Basuki Rahmat, telah cukup membuat sesak nafas para pengusaha kecil seperti Pedagang Kaki Lama (PKL), tak sedikit kios-kios kecil yang kemudian mati karena kehabisan nafas, tak siap bersaing dengan pengusaha ritel bermodal besar.
Laju
pertumbuhan dan pembangunan di Kota Metro tidak selalu berbanding lurus dengan
keceriaan warga kota, beberapa gerobak bekas kios teronggok-lapuk di
sudut-sudut mini market, tak jelas kemana pemiliknya dan apa usahanya setelah
berhenti menjadi pedagang kaki lima.
Beberapa
pedagang yang masih bertahan di pojok RSUD. A. Yani mengeluhkan dagangannya
yang hanya laris ketika menjelang tengah malam, di saat toko-toko ritel sudah
tutup, itupun pembelinya dari keluarga pasien rumah sakit. Sudah
mengeluh begitu, mereka pun setiap saat siap-siap terusir, karena sudah
beberapa kali mendapatkan surat peringatan untuk segera hengkang dari sekitar
itu.
Gelombang
liberalisasi yang merasuk ke dalam negara-negara berkembang, termasuk
Indonesia, begitu terasa di Kota Metro, menggulung pengusaha kecil tanpa ampun.
Keberadaan Indomaret dan Alfamart dikelola oleh para pedagang berperut
besar (baca: pengusaha
menengah ke atas), sementara
kios-kios kecil, yang hanya mengandalkan gerobak sebagai tempat jualan, diisi
oleh rakyat kelas usaha mikro menengah-bawah, bahkan ada sebagian diantaranya
hanya sekedar berjualan untuk sekedar melepas uang makan dalam sehari.
Dilema Kota
Perkembangan
tumbuhnya minimarket dan ritel, berindikasi pada runtuhnya dinding segmentasi
antara kenyamanan berbelanja di ruang ber-ac dan harga murah di kios-kios
kumuh. Bahkan, beberapa harga barang di minimarket dan supermarket mulai
bersaing dengan harga di pasar tradisional, kios-kios dan lapak-lapak pedagang
kaki lima. Akibatnya, pengunjung atau pembeli sebagai mayoritas pencari harga
murah mulai bergerak ke supermarket dan minimarket.
Di sisi
lain, kota yang sedang merias wajahnya untuk layak disebut kota mengalami
dilema sulit, menata kios dan lapak PKL yang identik dengan kekumuhan,
membiarkan tumbuh-kembang supermarket dan minimarket yang bersih dan rapi,
sehingga menjadikan wajah kota elok dipandang, bukanlah pekerjaan ringan
semudah membalikkan telapak tangan.
Minimarket
terus tumbuh tanpa bisa ditolak, perizinan sepenuhnya soal diplomasi dan
kemampuan berunding pemilik modal terhadap kekuasaan. Buaian harga murah,
kemasan rapi, lengkap, lingkungan bersih dan kenyamanan bagi konsumen saat
melakukan transaksi, menjadi magnet yang menyedot pengunjung, sehingga
kehadiran pasar-pasar modern terkesan dinanti sebagai sebuah gengsi kota.
Ketika kuasa bernegosiasi, rakyat menanti gengsi, maka pedagang tradisional
seperti kios dan PKL yang akhirnya menyetiai sepi kemudian perlahan mati.
Dalam
kondisi yang semakin ketat, maka pembeli semakin bebas memilih pasar atau pusat
perbelanjaan yang mereka sukai. Fenomena maraknya konsumen yang berbelanja ke
minimarket atau toko-toko ritel dan menggeser gaya hidup berbelanja di pasar
tradisisonal, kios-kios kecil dan kaki lima, salah satunya dipengaruhi oleh
harga-harga barang yang dijual, selain dari berbagai fasilitas yang nyaman dan
aman.
Menanti Keberpihakan
Persaingan
tak sepadan ini hanya bisa diantisapasi dengan pembatasan zonasi lewat
kebijakan pemerintah dan perubahan paradigma konsumen. Kebijakan pemerintah
harus diarahkan kepada keberpihakan terhadap ekonomi kota yang berbasis usaha
kecil dan sektor informal. Jika persoalannya terletak pada kekumuhan pasar
tradisional, pemerintah daerah sudah saatnya memfasilitasi penataan, bukan
malah menjadi broker tanah bagi para investor yang ingin mendirikan Alfamart
dan Indomaret. Menggusur pedagang kecil yang berjualan di trotoar, tetapi terkesan
membiarkan para pemilik modal menggusur trotoar dan menjadikannya area parkir.
Jika
kendalanya soal harga, maka pemerintah harus melakukan kontrol dan pengawasan
ketat, pada peritel modern yang menekan harga terhadap pemasok lokal dengan
memotong akses distribusi.
Warga kota
juga sudah saatnya bersama-sama untuk menolak pendirian ritel yang akan
mematikan usaha-usaha kecil di wilayahnya.
Ayo
dukung PKL dan warung tetangga dengan terus menerus mengampanyekan belanja di
PKL atau warung tetangga! (RU)
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: