"Genggamlah tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku
ingin seiring bukan digiring," tulis Dee Lestari yang ditujukan kepada penguasa dan
pemilik media.
Telah tiga tahun berlalu saya
hidup tanpa membaca kabar dari media, dalam artian berlangganan koran atau
media cetak lainnya seperti majalah. Sesekali, jika ingin membaca esai atau
cerita pendek, yang biasanya terbit hari minggu, maka saya akan pergi ke depan
gereja, tempat pengecer koran milik seorang kawan, nebeng baca atau membeli untuk dibaca.
Media dalam anggapan saya, sejak
dimiliki oleh oleh para pemodal dan politisi telah mengalami pergeseran orientasi,
nyaris tak ada lagi media yang menunaikan kewajiban sebagai jurnalisme publik, penyedia
informasi untuk publik, alih-alih melakukan pendidikan. Para jurnalis seolah
hanya dikondisikan sebagai pencari berita untuk disajikan sesuai selera
redaksi, berdasakan permintaan pengiklan atau pemilik media.
Media sebagai ruang publik yang
semestianya diidamkan sebagai tempat menetasnya gagasan-gagasan tentang
kebutuhan bersama, ruang yang adil dan setara, kini seakan-akan hanyalah
sebatas mimpi. Ruang publik media berisi berbagai kepentingan, tak ubahnya
ruang publik fisik kita yang juga dikuasai oleh ruko dan toko-toko rites serta
toko modern lainnya, tak ada tempat nyaman bagi usaha kecil dan orang-orang
bermodal kecil, begitulah ruang publik yang terisi secara tak adil itu berlaku
juga pada ruang publik media.
Maka tak nyaman lagi menikmati media
bersama secangkir kopi dan alunan musik, jika yang muncul terus menerus adalah
acara-acara serimonial yang seolah-olah mengabarkan kebaikan penguasa, menggiring
rakyat untuk mengaminkan bahwa si politisi B adalah baik, peduli dan layak
dipilih untuk menjadi pemimpin masa depan, atau hiburan-hiburan infotaiment
yang membuat blenek.
Kekecawaan atas media yang tak
lagi berada pada orientasi awalnya sebagai bagian penting dari pilar demokrasi,
menunakan fungsi memberikan informasi dan pendidikan untuk publik, membuat
orang beralih ke media sosial, seperti facebook,
twitter, instagram. Jika hanya sekedar mendapatkan pengumuman, informasi
yang memenuhi standar dimana, kapan dan siapa yang memberikan informasi, media
sosial telah memenuhi kaedah dan persyaratan itu, bahkan tak jarang justeru
media-media yang dikelola oleh para jurnalis itu justeru nara sumbernya adalah
media sosial.
Kegandrungan itu terus meningkat,
animo publik pengguna jasa media sosial yang tak terbendung melahirkan masalah
baru, hoax! Penyebar berita bohong secara piawai melirik peluang ini untuk
mengeruk keuntungan. Media sosial semacam facebook
yang mewujud layaknya media tak bertuan-redaksi, terlanjur dipercaya sebagai media informasi
alternatif. Orang akhirnya dengan mudah termakan hoax. Penikmat media sosial,
mulai dari kelas menengah kebawah hingga atas pun menjadi sasaran empuk penyebar
berita palsu, tak ada yang bertanggungjawab.
UU ITE yang semestinya dibuat
untuk kepentingan meminimalisir atau menumpas hoax yang semakin bebas bergentayangan,
justeru dimanfaatkan oleh kekuasaan yang anti kritik untuk membungkam para
aktifis yang kritis, dengan dalih menebar kebencian. Media sosial pun kembali
berusaha dikendalikan oleh penguasa dan pemodal.
Media sosial yang kini menjadi
pilihan menyampaikan informasi, bahwa warga tidak lagi hanya sebagai konsumen
berita, tetapi juga bisa bertindak sebagai pembuat berita, melalui
postingan-postingan yang berkualitas, jujur dan adil, dijebak pada
kerumitan-kerumitan baru, Keluguan sebagai warga yang mudah termakan
berita-berita "heboh dan wah" menjadi penyebar gartis postingan-postingan
yang justeru tak bermutu. Selain itu, warga di luar kategori lugu itu dijebak dengan
cara lain, yang menyebarkan postingan berkualitas, melawan informasi dominan
media mainstream, berusaha dibungkan
dengan UU ITE, dalil dan dalihnya; menyebarkan postingan kebencian (hate speech).
Padahal kehadiran warga yang
aktif di media sosial untuk menyampaikan informasi, dengan postingan-postingan
yang berkualitas, jujur, adil dan bukan tukang fitnah diharapkan mampu
melahirkan nalar publik yang sehat, nalar yang memiliki akses yang adil dan
setara untuk menerima dan memberi informasi, sebagai ungkapan Dee Lestari di
atas, "genggamlah tanganku, tapi
jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring bukan digiring!"
Apakah media sosial hendak juga
dikangkangi pemodal dan politisi? Dan kita kembali harus berhenti? Tergantung
kita sebagai pengguna, mau diperalat atau tidak, menjadi pengguna media sosial
yang waras atau latah menjadi penyebar berita yang tak jelas sumbernya!
Tabik
0 Comments: