Kehadiran Gadis itu begitu misterius. Ia tiba-tiba muncul di bibir
pantai. Duduk mematung, memandang ke laut lepas dengan tatapan kosong. Tak
satupun yang paham darimana ia berasal dan di mana ia menetap. Ia akan muncul
ketika matahari tinggal sepenggalah, menatap ke ufuk Barat hingga matahari
merayap lenyap ditelan gelap.
Tak ada juga yang berusaha untuk menanyakan dan mencari informasi
tentang dirinya.
***
Sejak dua pekan yang lalu, kehadiran gadis tersebut menjadi pemandangan
tak biasa di pinggir pantai tempatku bermain kala kecil dulu. Di bawah pohon
ketapang yang sebagian batangnya menjorok ke laut, gadis dengan kerudung yang
diselempangkan di lehernya itu memilih duduk berjam-jam hingga matahari
benar-benar menghilang di balik laut.
Gadis itu baru di pulau ini, tak ada perempuan yang memiliki kebiasaan menghabiskan
waktunya hingga magrib di pantai. Para perempuan pulau, ketika matahari mulai
condong ke barat pasti telah menyibukkan diri di dapur, menyiapkan makan malam.
Tak satu pun dari mereka terbiasa menghabiskan waktu tanpa bekerja membantu
orang tua, kecuali anak-anak kecil yang bermain hingga terdengar pembacaan
ayat-ayat al Qur'an dari pengeras suara di beberapa surat dekat pantai.
Aku bertanya pada setiap orang yang rumahnya paling dekat dengan pantai
tempat gadis itu, namun tak satupun yang tahu. Orang pulau juga memilih tak
mengusiknya, para pemuda juga tak ada yang berani menegurnya, meski untuk sekadar
bertanya nama. Begitulah kebiasaan anak-anak muda di pulauku, tak memiliki
kepercayaan diri untuk mendekati para gadis apalagi gadis tersebut baru. Itulah
sebab, rata-rata orang-orang di pulau ini menikah karena dijodohkan orang tua.
“Namanya Masithoh,” akhirnya aku mendapatkan jawaban dari Bueng.
Bueng adalah pemuda yang setiap pagi dan sore pergi ke pantai untuk
memastikan perahunya tak dipenuhi air, perahu yang talinya ditambatkan tepat di
salah satu akar pohon ketapang, tempat gadis itu duduk menikmati senja di tepi
pantai. Bueng memang berbeda dengan para pemuda pulau lainnya, ia tak seperti
kebanyakan pemuda yang tak peduli dan tak memiliki keberanian mendekati
perempuan.
Bueng tidak. Ia adalah pemuda cuek, sangat cuek malah, termasuk cuek
untuk mengurusi penampilannya. Untuk itu Bueng menjadi satu-satunya pemuda yang
sanggup mengajak gadis aneh itu bicara, hanya bertanya nama. Tak lebih!
“Aku juga tak paham siapa nama
lengkap dan asal muasalnya, tanya saja sendiri.” Bueng menjawab seperti tak
minat melanjutkan pembicaraan tentang
gadis itu.
Aku sendiri hanya mampu
memperhatikan kebiasaan gadis yang betah berjam-jam di pantai, tanpa bicara dan
tanpa aktivitas apapun.
Hingga suatu waktu.
"Menikmati rindu,"
jawabnya ketika ku tanya sedang apa,
"Meski matahari tak selalu
bercahaya lembut dan angin laut tak selalu bersahabat?" Aku sengaja tak berbasa-basi
menanyakan nama dan riwayat kehidupannya.
"Ya!" Jawabnya singkat.
Lama Ia memberi jeda pada
pertanyaan tak lagi terlontar, karena jawaban pendek terebut. Hingga akhirnya
Ia bicara, bukan kepadaku, tetapi pada laut, pada riak gelombang.
Rindu baginya tak harus terbayar
lunas, rindu harus selalu di rawat karena rindu adalah bagian dari keindahan
cinta. Langit dan Bumi adalah pasangan yang merawat rindu dan cinta dengan
setia, tak pernah berpikir harus bertemu. Samudera yang mengagumi cahaya
purnama, acapkali diganggu mendung dan awan sehingga tak bisa memantulkan kilau
rindu, dan tentu saja itu tak mengurangi kelapangan dan kedalaman cintanya,
begitulah panjang lebar Ia bercerita soal rindu, tanpa sedikitpun menghadapkan
wajahnya ke arahku.
"Jadi, kenapa harus
terburu-buru hendak bertemu. Membunuh rindu itu bahaya!" Tegas Mashitoh,
kali ini aku merasa dia mengajakku bicara.
"Biarkan ia membiru karena
kedalamannya, seperti laut. Ya, seperti laut!"
Matanya tajam seolah hendak
menggambarkan kedalaman rindunya.
“Entah kepada siapa?” Batinku,
tanpa sedikitpun ada nyali untuk bertanya.
"Setiap orang punya cara
berbeda menikmati rindu. Seperti daun-daun pohon yang tumbuh di sepanjang
tepian pantai ini, jatuh ke laut, meliuk-liuk di udara sebelum berakhir di
bibir pantai karena dihempas ombak, bagi sebagian orang barangkali itu adalah
momentum tak penting untuk dinikmati, tetapi bagiku; Aduhaiii…, itu adalah
keindahan. Bagaimana daun menjaga kesetiaan hingga menua, atau dipaksa angin
untuk terpisah dari ranting, hingga akhirnya ia terhempas tak berdaya."
"Menikmati rindu bersama
senja hingga berbilang pekan bahkan bulan atau mungkin tahun, adalah juga cara
terindah bagiku, dan tentu saja bukan bagimu!" Ia bicara terus seolah
paham aku tak memiliki pendapat sedikitpun untuk menyanggahnya.
"Menurutmu
apakah laut memberi karena mengharap balas? Masithoh bertanya serius.
"Tentu saja
tidak," tegas ku.
"Lantas
kenapa cinta harus selalu menuntut balas?"
"Tidak
selalu," jawabku mengambang.
"Jika tak
selalu, maka mestinya tak ada istilah cinta bertepuk sebelah tangan, tugas
cinta adalah mencintai, bukan menuntut dicintai, cinta itu bukan transaksi jual
beli, bukan juga soal bertukar rasa. Jadi tak ada rumus mencintai, memberi
berharap balas dan kembali." Mimik serius tampak di wajahnya.
Sejurus
kemudian, ia memungut sebongkah batu kecil dan melemparnya ke laut. Batu kecil
itu dalam sekejap tenggelam, meninggalkan lingkaran kecil yang perlahan
membesar kemudian hilang.
"Apakah
cinta harus seperti itu, tumbuh, besar, dan akhirnya hilang?"
Masithoh memandang lurus ke arah
matahari yang hampir terbenam, tak sedikitpun ia mau menoleh, sama sekali tak
berkenan walau sekadar menggeser bola matanya ke arahku.
Aku menghitung ini adalah pekan
ketigabelas, dia melalui senja setiap hari di pinggir pantai, artinya telah 3
bulan lebih Masitoh melakukan pekerjaan sia-sia yang ia sebut cara menikmati
rindu itu. Dan tepat, pada pekan ketiga belas inilah, aku mengajaknya bicara.
Hening.
Menjengkelkan!
***
"Apakah kau pikir langit dan
bumi, siang dan malam tak saling mencintai? Barangkali jawabannya tidak, tapi
biarlah. Toh, banyak orang yang menganggap cinta itu harus seperti laut dan
pantai, seperti bara dan api, cinta haruslah bersama, rindu mestilah bertemu,
tetapi bagiku tidak!" Masithoh bertanya sekaligus menjawabnya seolah ia
tak perlu jawabanku.
Wajahnya basah karena percikan
air laut yang menghempas akar pohon tempat biasa ia duduk menikmati senja.
"Menikmati rindu. Senja itu biasa
saja. Ada ngilu yang lebam membiru karena rindu. Debur ombak memberi getar pada
hati yang kesemutan, menguji apakah ia masih ada rasa ataukah telah mati
rasa." Masithoh mengoreksi setiap pernyataan yang menyebutnya menikmati
senja.
"Jodoh, rezeki dan ajal
adalah takdir Tuhan, setiap ciptaan memiliki pasangan, rezeki dan ajal. Itu
pasti!" Kali ini Mashitoh mempersilahkanku duduk di sampingnya.
"Apakah itu berarti setiap
orang akan bertemu jodoh atau pasangannya?" Tanyaku
Aku menghirup aroma tubuhnya yang
terseret angin, aroma bedak yang terbuat dari beras yang ditumbuk bersama
kunyit dan daun asam, kemudian dikeringkan. Bedak yang sama persis digunakan oleh
para gadis dan ibu-ibu di pulau ku untuk melindungi wajah mereka dari sengatan
matahari.
"Tidak mesti," jawabnya
setelah beberapa menit membiarkan pertanyaanku menggantung.
"Kok? Bukankah Tuhan telah
menciptakan pasangan masing-masing?" Tanyaku, sembari berharap ia
memberiku ruang.
Gadis misterius ini benar-benar
menarik perhatianku, dan menyita setiap ingatanku. Sehingga kadang aku seperti
gila, mengharapkan sepanjang waktu adalah senja.
Telah puluhan senja habis untuk
mengamati dan menikmati kebiasaanya menyendiri di bawah pohon yang menjorok ke
laut. Duduk mematung, sesekali berdiri dan melempar batu-batu kecil ke tengah
laut, sampai akhirnya aku hadir untuk menemani kesendiriannya. Tak ada yang
berubah dari sikapnya, tetap dingin. Entah dia senang atau malah terganggu
dengan kehadiranku, sama sekali tak bisa ditebak.
"Kok diam?" Aku kembali
bertanya.
"Apakah siang dan malam,
timur dan barat itu pasangan?" Ia balik bertanya.
"Tentu saja," jawabku,
"Apakah mereka harus
bertemu?"
Aku terdiam, hening.
Aku tersudut pada ruang yang
gelap, tak ada cahaya .
Dermaga untuk melabuhkan rasa, seperti
titik hitam di tengah laut jauh, seperti ada namun tiada.
"Banyak orang mencintai
menganggap yang ia cintai adalah miliknya, ia menguasai. Relasi yang terbangun
adalah relasi yang pincang, superior-subordinat. Dan, kaum perempuanlah yang
sering menjadi subordinat itu. Untuk itu, terkadang cinta mengharuskan untuk
melepas." Nadanya tegas.
"Ini
soal sikap, bagaimana cara merespon setiap keadaan. Gelombang bisa jadi sangat
buruk, ketika ia disikapi sebagai halangan melaut, menjadi berbeda ketika kita
menyikapinya sebagai isyarat untuk rehat melepas penat dari kesibukan mengejar
dunia sesaat. Begitupun memilih untuk sendiri, tak selalu buruk dan tak berarti
tak memiliki cinta." Masithoh terus bicara tanpa mengalihkan pandangannya
dari laut.
"Mencintai
bukan soal bersama atau tidak, tapi soal bagaimana kita memosisikan cinta atas
setiap kebaikan dan keburukan orang yang kita cintai, kemudian menentukan
pilihan," lanjutnya.
Ombak yang menghantam batu karang menjadi musikalisasi bagi
setiap kata-kata Masithoh, kata-kata yang turut menghantam bagian terdalam dari
ruang hati sunyi penuh harap, kemudian roboh menjadi keping-keping pesimis nan
mengiris.
"Apakah
kau yakin perempuan yang akan kau sunting nanti sebagai pendamping, benar-benar
akan kau posisikan sebagai pendamping atau sebaliknya akan jadi pelayan mu?
Apakah kau pikir bertemu itu sekadar untuk menuntaskan rindu, menikah itu hanya
soal menamatkan keperawanan atau menegaskan keperkasaan? Berapa banyak cinta
yang susut bahkan luntur karena telah bersama, jadi kenapa kita tidak mencoba
untuk tidak bersama dan membiarkan rindu tetap membiru, membiarkan cinta menua tanpa
harus bersama?" Pertanyaannya terasa menghantam lebih keras.
"Lepaskanlah apa yang paling
kamu cintai kepada mereka yang sangat memerlukan, begitulah kamu peroleh
kebajikan dirimu," kalimat yang diucapkannya tepat ketika matahari tersisa
separuh, waktu yang menjadi isyarat bahwa dia juga akan segera pulang
meninggalkan pantai.
***
"Siapakah jodoh Maryam si
perawan suci? Jika memang takdir pasangan itu harus berjodoh dan bersanding
bersama? Bukankah Isa juga tak pernah menikah?" Mashitoh membuka
pembicaraan di senja ke tigapuluh enam. Senja terakhir sebelum akhirnya ia
hilang dan aku benar-benar kehilangannya.
Masithoh hilang, meninggalkan
kesan sekaligus pesan bahwa mencintai itu, tak berarti memiliki apalagi
menguasai.
Aku tak pernah menanyakan di mana
dia tinggal, orang-orang pulau juga tak bisa membantu menjelaskanya. Dia
benar-benar hilang seperti di telan laut.
Kini aku
hanya meneruskan kebiasaannya, mematung sendiri di bibir pantai ini. Mengenang
setiap celotehnya soal Laila dan Majnun, tentang Rabi’ah al Adawiyah, tentang
Isa Al Masih yang memilih men-jomblo hingga
meninggal, atau sesekali tentang Kartini yang menurutnya "mengorbankan
diri" untuk menjadi isteri.
Telah ku genapi hingga 48 minggu
keberadaan Masithoh di tepi pantai ini, sendiri. Aku meragukan apakah ia benar-benar
pergi atau hilang, seperti aku meragukan apakah ia benar-benar ada dan pernah hadir
di sini. Namun, aku menjadi nyaman merawat rindu, mengenang kebersamaan kala
senja, menghirup wangi aroma rambutnya yang tertiup angin. Meski tak yakin itu
nyata atau maya.
Metro, Medio 2017
@r_ummah1001
Nice |o|
ReplyDeleteMakasih, sudah berkenan berkunjung.
Delete