Mestinya, Kota Metro untuk semua
warga Kota Metro, yang memberikan hak dan kewajiban setara atas semua warganya.
Jika kota bervisi pendidikan ini
lebih butuh perpustakaan daerah refresentatif tetapi yang dibangun adalah Metro
Convention Centre (MCC), maka sebenarnya visinya apa dan bangunan itu untuk
siapa? Warganya, para pedagang miskin yang butuh ruang berjualan yang nyaman
tetapi yang digiatkan adalah izin pembangunan ruko untuk para pedagang bermodal
besar dari luar, lantas kota sebenarnya untuk siapa?
Ruang publik yang semestinya bisa
menjadi ruang milik publik, tempat warga kota berinteraksi dan bermain, tetapi
kenyataannya ruang publik yang ramai telah berbayar, bayar parkir dengan tarif
suka-suka, dan ironisnya sama sekali tidak memberikan jaminan keamanan pada kendaraan
yang diparkir. Jadi, ruang publik itu sebenarnya milik siapa?
Jika benar Kota Metro untuk semua
warganya, maka semestinya kota ini menyediakan fasilitas yang bisa
dinikmati oleh semua kasta, kelas dan kelompok sosial, miskin dan kaya. Si kaya
difasilitasi jalan yang mulus, si miskin yang tak punya kendaraan disediakan
trotoar yang layak untuk berjalan kaki. Faktanya, trotoar malah diserobot menjadi
tempat parkir,
dibongkar dan diratakan.
Bagaimana mungkin berdiri rumah
sakit sebagai ladang bisnis baru di tengah pemukiman padat penduduk, tanpa
pengolahan limbah yang memadai, sehingga limbahnya mencemari sumur-sumur warga,
jika kota ini benar-benar ramah dan bersahabat
serta tak mengabaikan kesehatan lingkungan.
Idealnya, pemimpin kota ini mampu
mewujudkan apa yang disebut oleh David Harvey dan Edward Sojo sebagai keadilan
ruang (spatial justice). Ruang kota
adalah hak dan kebutuhan semua warga. Tindakan peminggiran warga baik secara
langsung dan tidak langsung seperti memberikan kemudahan izin untuk pendirian,
ruko, Alfa Mart dan Indomaret yang berdampak PKL gulung tikar, rumah sakit yang
limbahnya mencemari sumur, usaha-usaha besar di pinggir jalan utama yang
merampok trotoar, adalah bentuk ketakadilan ruang, ketidak adilan kekuasaan.
Lantas, kota ini sebenarnya untuk
siapa? Realitas, bagaimana perusahaan-perusahan besar, perbankan, toko, rumah
sakit, dealer, dengan gampang berdiri dan menghabisi ruang-ruang publik yang
menjadi hak publik, penguasaan ruang publik dengan komersialisasi, hinga
perebutan ruang-ruang strategis seperti simpang dan perempatan jalan, adalah
jawabannya!
Memang, perebutan ruang kota
adalah sesuatu yang tidak mungkin bisa dihindari. Secara hakikat, ruang adalah
sesuatu yang terbatas, tetapi begitu banyak kelompok membutuhkan ruang untuk
kepentingan masing-masing yang seringkali tidak dapat berdiri secara bersamaan.
Sehingga konsekuensi yang muncul adalah akan terdapat kelompok-kelompok yang
kalah dalam perebutan ruang. Mereka akhirnya tidak mendapatkan ruang kota yang
layak, dan tentu saja kelompok-kelompok yang kalah itu adalah mereka yang
secara ekonomi dan politik lemah.
Kota Metro yang terlihat asri dan
nyaman, tak pernah memproduksi begal, maling, dan tukang palak, jangan-jangan
justeru memendam kebengisan yang ditunjukkan secara tidak langsung lewat cara
membegal trotoar milik pejalan kaki, membunuh secara perlahan warga dengan
mencemari air bersih mereka dengan limbah medis. Menggorok pedagang kecil,
dengan cara memberikan kemudahan akses berkembangnya toko-toko modern, tanpa
mempertimbangkan dampak.
Jangan-jangan.
Lantas, beranikan kita mengajukan
pertanyaan, kota ini sebenarnya untuk siapa?
0 Comments: