Anak-anak usia sekolah menengah
pertama itu dengan santai menghisap dan menyemburkan asap di rumah penduduk
dekat sekolahnya. Tak ada rasa canggung, meski beberapa orang tua
memperhatikan, bahkan saat guru mereka lewat tak ada rasa sungkan apalagi takut,
tetap jojong merokok, mereka terlihat
sangat mahir dan terbiasa.
Pemandangan seperti menjadi
pemandangan yang tak asing, terjadi setiap hari setiap kali saya mengantar anak
sekolah.
Salah? Tentu saja tidak, di era
generasi milenial di mana kenyamanan dan kebebasan harus dinikmati secara
terbuka sebagai hak, di mana orang tua dianggap kolot ketika masih memegang teguh tradisi nenek moyangnya soal
sopan santun dan menghormati dan orang tua tiba-tiba menjadi ikut menjadi
milenialis (sebutan untuk pengikut era milenial) dengan rasa bangga melihat
anaknya yang masih usia sekolah dasar sudah bisa membawa sepeda motor, dan
merasa anak-anaknya baru menjadi "laki-laki" ketika pandai berkelahi
dan tentu saja merokok.
Salah? Sekali lagi tidak! Ketika
sekolah sudah kehilangan fungsinya, karena dirampas otoritasnya oleh para orang
tua atau wali murid, untuk memberikan hukuman kepada siswa-siswa yang melanggar
aturan sekolah. Dan, sekolah sudah mulai lumpuh perannya untuk mencerdaskan,
bahkan hanya sekadar untuk mendapatkan nilai bagus. Sehingga harus memasrahkan
siswa-siswanya untuk percaya dan memilih tempat-tempat les, kursus dan bimbel
ketika akan menghadapi ujian kelulusan, apalagi hendak menanamkan kemandirian,
sopan-santun dan moral.
Salah itu, ketika kita sudah
kewalahan mengatasi tuntutan anak yang menginginkan ini dan itu. Ketika anak,
sudah membuat kita malu karena sudah mulai mencuri untuk memenuhi kebutuhan
rokoknya. Ketika anak sudah mulai meninggikan suaranya berlipat-lipat lebih
tinggi dari suara kita sebagai orang tua, ketika gagal memenuhi keinginannya
membeli sepeda motor dan hape yang mahal yang menurutnya menjadi ukuran
'kegagahan'nya sebagai generasi milenial.
Salah itu ketika kita mulai
menyalahkan diri sendiri dan meratapi nasib, ketika anak sudah tak lagi hanya
sekedar menghisap rokok, menjerit dan merintih-rintih dengan bulir-bulir
keringat yang menderas dari setiap pori-pori kulitnya karena sakau, candu.
Ketika kita mulai mencari kambing
hitam dan menuding orang lain sebagai biang kerok dari keterpurukan moral anak
kita, menuding sekolah tak bertanggungjawab, menuding anak kita salah bergaul,
teman-temannyalah yang merusak kehidupannya, dan kita tidak pernah bertanya
"di manakah kita saat itu, ketika anak-anak belum separah itu, belum
menjadi anak yang durhaka yang berani membentak-bentak orang tuanya, sebelum anak-anak
itu belum menghisap obat-obatan yang akhirnya menghilangkan kewarasannya?"
Salah itu ketika kita menganggap
sekolah sudah tak berhasil mendidik anak-anak kita dan mulai melirik pondok pesantren
sebagai pelarian, seolah-olah pondok pesantren hanyalah pantas sebagai tempat
terakhir sekolah anak kita, itupun karena sekolah-sekolah umum sudah tak mampu
mendadani moralnya, pesantren adalah tempat anak nakal.
Kita seringkali abai, bahwa
sekolah bukanlah faktor tunggal yang bisa membentuk cara pikir, cara ucap dan
sikap anak kita, ada masyarakat di mana si anak bergaul-bermain, ada keluarga
di mana si anak kembali, keluarga tempat mengadu, curhat dan melepas penas, dan
kita gagal memaksimalkan peran dan fungsi, baik sebagai anggota masyarakat yang
wajib peduli bukan hanya kepada anak kita tetapi juga kepada anak orang lain,
maupun sebagai keluarga yang mestinya menjadi tempat nyaman untuk bercerita,
berkeluh kesah, dan berbagi masalah si anak.
Kita terlalu sering tuna-kepedulian
untuk mengajarkan anak dengan tindakan, kita hanya tahu bahwa pelajaran bagi
anak itu adalah memarahinya dengan kata-kata yang membuatnya terluka.
Barangkali teramat sedikit orang tua mengajarkan anaknya bersyukur dengan
belajar berbagi mendatangi orang-orang susah, anak-anak yatim dan para
anak-anak usia sekolah di lampu-lampu merah. Bahwa, ada banyak di luar sana
orang yang bernasib jauh lebih buruk dari keadaan si anak.
Barangkali tak ada yang
mengajaknya anaknya berjalan, kemudian membebaskan anak-anak itu memberikan
penilaian terhadap anak-anak seusianya yang merokok, yang kebut-kebutan di
jalan padahal belum punya SIM. Mengajak anak-anaknya ke Lapas Narkoba dan
pusat-pusat rehabilitasi dan membiarkan anaknya memahami langsung apa dampaknya
mengonsumsi obat-obatan terkutuk itu.
Barangkali kita terlalu sering melihat,
ada banyak pendidik dan orang tua yang suka meminta anak-anak berderma dengan
mengumpulkan sebagian uang jajannya untuk disumbangkan ke panti asuhan, tetapi
kita jarang melihat pendidik yang mengajak anak-anak itu terlibat berbagi,
sehingga bisa tersambung rasa simpati dan empati.
Ada banyak pelajaran pada setiap
tempat dan waktu dalam kehidupan yang bisa mengguggah kesadaran, untuk
bersyukur, berempati dan bersimpati. Ada banyak cara untuk mengajarkan kebaikan
dan kebenaran kepada anak, dengan mengajak mereka melihat dan menilai
kehidupan, mengerti hal-hal buruk dan akibatnya seandainya hal buruk itu mereka
yang melakukan.
Untuk bisa paham sakitnya dampak
dari ucapan mencaci dan sikap buruk kepada orang lain, sebenarnya tak perlu
banyak membaca buku dan menghabiskan waktu di bangku sekolah, cukup kita
memosisikan diri sebagai korban yang terkena dampak dari cacian dan perilaku
buruk itu.
Selain pesantren, sungguh saya
memang lebih percaya kehidupan di luar institusi pendidikan formal untuk bisa mengajarkan
nilai dan moralitas. Sekolah itu adalah kehidupan itu sendiri, bukan
sekat-sekat ruangan kecil yang lebih sukses menjadikan kita picik dan kerdil
justeru dengan selalu merasa lebih pintar.
0 Comments: