Pernahkah terpikir, bahwa dalam
kesalahan orang lain ada kesalahan kita, kesalahan karena membiarkannya salah
atau tak mampu membuatnya menjadi benar. Tak ada segala sesuatu yang berdiri
sendiri, selau hadir berpasangan, baik-buruk, miskin-kaya, tinggi-rendah, dan
seterusnya. Pasangan-pasangan tersebut bukan untuk membandingkan mana yang
terbaik, tetapi saling melengkapi, saling menguatkan dan saling memberi
manfaat.
Bila tak ada yang buruk, kemana
yang baik hendak mengajak, andai tak ada yang miskin bagaimana yang kaya hendak
berderma?
Begitulah. eksistensi kemanusiaan
kita selalu diukur dengan sejauhmana kita berguna dan bermanfaat bagi orang
lain, bagaimanapun keadaan dan apapun profesi kita. Orang baik tentu akan lebih
bermanfaat ketika kehadirannya bisa membuat orang yang kurang atau tidak baik
menjadi baik, tak terbayangkan betapa sedih dan tak bergunanya si kaya, tatkala
orang-orang miskin tak lagi mau menerima bantuannya.
Maka, sungguh benarlah seruan Tuhan
yang menegaskan predikat khairu ummah
kepada manusia yang keluar untuk menyeru sesamanya kepada kebaikan (ma'ruf) dan
menghalangi orang lain melakukan kerusakan atau keburukan (munkar), tentu
dengan cara yang hikmah (bijak), nasihat yang baik dan dialog yang santun.
Setiap orang wajib mengambil
peran dan tanggungjawab, selama ia masih mau disebut sebagai sebaik-baik
manusia (khairunnas), manusia yang
dibutuhkan keberadaannya karena banyak memberi manfaat atas sesamanya, ada-nya
membuat bahagia dan setiap orang akan merasakan kehilangan dengan ketiadaannya.
Bukan sebaliknya, sebagaimana
istilah populer di kalangan santri wujuduhu
ka’adamihi, keberadaannya sama dengan ketiadaannya. Realitasnya ada, tapi
sama saja dengan tidak ada. Hidup tapi tak berguna, tidak punya kontribusi
sedikit pun, ada yang menyebut manusia seperti ini manusia mubah, adanya tidak menambah, perginya tidak mengurangi. ada tak
membuat bahagia, hilang tak membuat sedih.
Bahkan, ada yang lebih parah lagi
adamuhu khairun min wujudihi,
ketiadaannya lebih baik daripada keberadaannya. Kehadirannya tidak diharapkan,
bahkan orang lain sangat senang jika dia tidak ada. Sering membuat onar,
menjadi biang kerok dari setiap masalah. Manusia seperti ini, bukan hanya gagal
menjadi penyelesai masalah, melainkan justeru lebih sering ada sebagai masalah yang harus
diselesaikan.
Nah, barangkali takaran
eksistensi kemanusiaan minimalis adalah, jika tak bisa membuat orang lain
bahagia, maka minimal tak membuatnya susah. Jika tak mampu membantu orang lain
menyelesaikan masalahnya, minimal tak menjadi biang kerok yang justeru
memperumit masalah tersebut.
Akan lebih baik, andai setiap kita
sadar, bahwa dalam kemiskinan, kebodohan, kejahatan dan kejelekan orang lain
tertulis tanggungjawab kita masing-masing, maka persoalan umat dari berbagai
segmentasinya akan bisa ditunaikan dan diselesaikan secara baik, karena semua
orang akan lebih banyak bicara tanggungjawab daripada terus menyalahkan dan
mengutuk kegelapan.
Maka, tepatlah kiranya apa yang
disampaikan Rasulullah, bahwa "ketika
kamu melihat sesuatu yang munkar (buruk), maka rubahlah dengan pelukan penuh
kasih, jika kamu tak memiliki kemampuan nasihatilah dia dengan nasihat yang
baik, jikapun engkau tak sanggpup jua, maka doakanlah ia dengan penuh kasih
sayang, semoga menjadi orang baik, tetapi ingatlah, merubah sesuatu hanya
dengan berdoa adalah selemah-lemah iman."
Manusia adalah satu kesatuan yang
utuh, meniadakan dan tak menganggap penting orang lain, sama artinya
menghilangkan bagian-bagian penting kemanusiaan. Tak ada kehidupan yg layak
diamputasi, setiap yg tercipta memiliki hikmah dan pelajaran sendiri-sendiri,
apapun kealpaan manusia, di situ ada tanggung jawab manusia lainnya yg tak
selesai.
Terlalu sering kita menyalahkan
orang lain tanpa mau disalahkan. Suami menyalahkan istri, istri menyalahkan
suami, orang tua menyalahkan anak, anak menuduh orang tua kolot, penguasa
menyalahkan rakyat, rakyatpun terjebak pada krisis kepercayaan terhadap
kekuasaan. Alangkah indahnya, tatkala kita berebut untuk berkata: "Oow...
ternyata ini salahku, ada tanggungjawab yang tak ku tunaikan!!"
Maka tanggungjawab yang tak kalah
pentingnya adalah, mengobati rasa yang "kesemutan" atau bahkan telah
"mati" dengan sekuat tenaga menepuk dan mengagetkannya dengan
kata-kata, "ini tanggungjawabku! keberadaanku tidaklah sama dengan
ketiadaanku!!"
0 Comments: