Ya, saya telah menyetujui untuk
secara berkala mengunggah ulasan buku-buku di situs ini (rilis.id). Saya penggemar buku-buku apa saja.
Alangkah tidak afdolnya manakala buku-buku itu sekadar terserak-serak, kalau
bukan, terpenjara di rak-rak. Buku-buku ialah harta kekayaan penting di rumah
saya. Mereka adalah teman-teman setia.
Ya, saya telah menceritakan ke
beberapa kawan, pun saya tampilkan pula kisah itu ke buku saya, Bagaimana
Saya Menulis (terbitan Penjuru Ilmu, 2017) bahwa pada 2007, hujan lebat
terjadilah. Lalu ketika saya tiba di rumah suatu malam, saat listrik sudah
padam, buku-buku itu sudah banyak yang mengambang. Imajinasi saya melayang ke
Baghdad di masa lalu. Ketika tentara Mongol mengobrak-abrik perpustakaan
sedemikian rupa membuang banyak buku, sehingga hitamlah seisi sungai karena
tintanya.
Buku yang terkena banjir bandang
itu, ribuan. Malam itu saya merenung. Tiba-tiba, seolah-olah, buku-buku yang
masih tersisa angkat bicara, “Anda ini kan penulis, tetapi mengapa belum ada
buku yang ditulis? Ayo manfaatkan aku, sekarang! Aku ingin masuk ke dalam buku
yang kau tulis!”
Mengakomodasi desakan teman-teman
buku saya itu, akhirnya saya mengalah. Saya berupaya keras untuk menulis buku.
Supaya semua bisa terakomodasi, maka tema buku itu kepemimpinan politik. Dan,
senanglah para pangeran Pandawa, Kiai Semar dan anak-anak Punakawannya, bahkan
pun si pendekar dari Gua Hantu, karena tokoh-tokoh komik itu masuk dalam buku
saya, Menjadi Pemimpin Politik (terbitan Gramedia, 2009) dan
diperkaya kembali dalam terbitan barunya, Wawasan Kepemimpinan Politik (terbitan
Penjuru Ilmu, 2017 dan 2018, yang terakhir ini edisi sampul tebal).
Berkelana di dunia buku itu tak
kalah menarik dengan mendaki gunung, mancing di pinggir pantai atau hal-hal
menyenangkan lainnya. Buku-buku memberi informasi, memancing gagasan-gagasan,
mengembarakan imajinasi-imajinasi tak terkira. Langsunglah kita setuju dengan
perkataan Mohammad Hatta, “Aku rela di penjara asalkan bersama buku, karena
dengan buku aku bebas.”
Jadi, buku, dalam kacamata Bung
Hatta yang kutubuku itu, ialah sarana pembebasan. Pembebasan yang dimaksud bisa
jadi terkait erat dengan proses pendalaman. Buku-buku itu tak sekadar memberi
informasi-informasi, tapi juga disertai ulasan-ulasan sedemikian rupa, sehingga
selain membuka cakrawala juga mengajak berpikir, menggali kedalaman.
Ya, memang tidak semua buku
mengajak pembacanya menggali kedalaman, tetapi sekadar diajak berputar-putar di
atas permukaan. Ia bergerak di ranah hiburan. Tak mengapa. Sebab buku-buku itu
juga sarana hiburan. Apakah Anda pernah mendengar konsep membaca sebagai
hiburan, “reading for pleasure”?
Betapapun sebuah buku mengajak berputar-putar di atas permukaan, tetapi ia
tetap meninggalkan sekeping imajinasi, selintas ajakan yang menyeret ke proses
pendalaman.
Buku ialah bentuk tulisan yang
lebih “serius” ketimbang bentuk tulisan lain yang ringkas-ringkas. Buku ialah
tindak lanjut dari sebuah gagasan yang diletupkan melalui tulisan-tulisan
singkat. Misalnya, kalau kita baca karya legendaris Samuel P. Huntington, The
Clash of Civilization, terlepas dari kontroversialnya buku itu, ia bermula dari
tulisan singkat. Dari kolom yang dikembangkan menjadi artikel di jurnal. Dari
artikel di jurnal diperluas, kalau bukan, diperdalam menjadi sebuah buku.
Para aktivis pergerakan nasional
kita tempo dulu ialah mereka yang bergerak di dunia gagasan. Menulis
kolom-kolom atau artikel-artikel ringkas di surat kabar atau majalah berkala,
mereka punya tradisi berpolemik. Buka saja lagi arsip Polemik Kebudayaan
(1935-1940) antara Sutan Takdir Alisjahbana dengan yang lain. Atau polemik-polemik
lainnya, antara Bung Karno dan Pak Natsir merespons perkembangan Turki Usmani
pasca-Perang Dunia I, misalnya.
Mereka juga menulis buku-buku,
kan? Tanyakan kepada para pelajar, siapa yang mengarang Islam dan
Sosialisme? H.O.S. Tjokroaminoto, kan? Lantas, artikel-artikel Bung Karno
terkumpul dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi. Si Bung juga menulis
buku-buku lain, bahkan pun naskah drama. Pak Natsir pun membukukan
artikel-artikelnya itu ke buku Capita Selecta.
Bung Hatta, tentu tak sekadar menulis
artikel “Demokrasi Kita” di majalah Pandji Masjarakat pada 1960.
Sjahrir pun tak sekadar menulis pamflet “Perjuangan Kita”. Bahkan Bung Hatta
pun perlu menyelami, bukan soal-soal ekonomi koperasi dan demokrasi ekonomi
semata-mata, tetapi juga Alam Pikiran Yunani.
Mereka, dan masih banyak lagi
intelektual politisi sezaman, ialah orang-orang yang mengalir di sungai buku.
Bahkan Bung Hatta pun membaca novel-novel Karl May. Bung Karno merasa perlu
meminjam buku-buku dari teman Belandanya untuk menyusun pledoi “Indonesia
Menggugat”. Agus Salim, ah, sang mentor itu juga manusia buku.
Generasi milenial zaman kita
barangkali segera angkat bicara, “Janganlah diromantisir terus yang begitu itu,
toh mereka lahir dan berkiprah ketika internet belum ada, mereka tak mengenal
kata hoaks apalagi post-truth!”
Generasi milenial zaman kita akan
bilang bahwa kalau Bung Karno, Bung Hatta, dan yang lain-lain itu hidup di
zaman sosial media sekarang, apakah ya mereka masih berketak-ketik menulis
artikel, apalagi menulis buku-buku? Yang lain, mungkin juga akan bilang, apakah
ya mereka mau menderita sebagai pejuang, kalau hidup lagi di zaman kita?
Saya tidak mau membawa lari ke
imajinasi-imajinasi yang hadir dari pertanyaan-pertanyaan lazim seperti itu di
masa kita. Para tokoh politik sekaligus penulis artikel dan buku-buku itu hidup
pada masanya: masa ketika media massa cetak memainkan peran sangat penting
sebagai penyalur gagasan-gagasan.
Pemimpin, pejuang, orang-orang
besar, hidup terikat pada masa dan tempat. Hanya imajinasi cerpenis A.A. Navis
atau wawancara imajiner Christianto Wibisono-lah segala kemungkinan muncul.
A.A. Navis pernah mempertemukan tokoh-tokoh besar dunia dan lantas mereka
berkonferensi di surga membahas masalah-masalah kemanusiaan. Sedang Christianto
Wibisono pernah mengembangkan kolom “Wawancara Imajiner dengan Bung Karno”.
Yang perlu kita tangkap ialah,
memang menulis buku merupakan perjuangan untuk mencari kedalaman. Googling penting
di zaman kita, tapi harus dalam konteks pendalaman, bukan pendangkalan. Saya
berimajinasi, kalau saja salah satu tokoh kita di masa lalu itu muncul lagi di
zaman kita, maka dia akan menegur anak-anak generasi milenial itu, “Hai, jangan
suka yang serba permukaan saja! Jangan jadi generasi sepintas lalu! Jangan jadi
generasi yang malas menyelami kedalaman! Mengalirlah ke dunia buku-buku!”
Penulis : M. Alfan Alfian
*Tulisan ini sebelumnya rilis di
rilis.id, secara berkala setelah naik di rilis.id, tulisan yang terkait dengan
buku yang ditulis oleh M. Alfan Alfian akan diunggah juga di sini.
0 Comments: