Sebenarnya agak risih menggunakan
istilah pelacur ini, karena terkesan diskriminatif sebagian besar orang masih
meniilai bahwa pelacur itu identik dengan kelompok sosial tertentu, seakan-akan
pelacur adalah soal jual beli kenikmatan yang berhubungan dengan daging semata.
Padahal jika mau ditelusuri maknanya, pelacur terkait erat dengan aktivitas
menjual diri atau menjual kehormatan yang dapat dilekatkan ke siapa saja, tanpa
terjebak pada satu jenis kelamin dan satu aktivitas.
Selama ini banyak orang memahami pelacur
adalah perempuan sundal yang menjual tubuhnya dengan bayaran tertentu untuk
dinikmati lelaki hidung belang, dan biasanya dinilai sebagai kasta terendah
dari kelompok masyarakat yang memegang teguh tata nilai dan agama.
Teramat jarang orang mau susah payah
memberi interpretasi berbeda semisal bahwa pelacur dan pelacuran sebenarnya bukanlah
hal yang lahir di ruang hampa, ada banyak faktor yang melatari kehadirannya,
dari mulai ekonomi, politik hingga kekerasan budaya patriarkhi, apalagi berani
mempersepsikan bahwa pelacur itu bisa juga profesi lain para politikus,
aktifis, pejabat atau siapa saja.
Barangkali kita semua sepakat
bahwa pelacuran adalah aktifitas nikmat yang nir-moral, tetapi pelacur atau sundal
tak bisa dimaknai semata sebagai perempuan buruk kelakuan, tak adil rasanya karena
tak mungkin ada pelacur perempuan jika tak ada pelacur laki-laki, tak mungkin
bisa menyebut wanita tuna susila (WTS) jika tak ada pria tuna susila (PTS).
Seperti yang ingin saya sampaikan
dalam Kopi Pagi ini, aku ingin aku ingin
memaknai pelacuran sebagai sesuatu yang tidak melulu sebuah aktifitas yang
melibatkan dua kelamin berbeda, pelacuran juga bisa jadi menjual kehormatan
diri dengan nilai terendah (materi).
Ada fakta dan sisi penting yang menarik
diungkap dari kisah pelacur dan pelacuran, yakni soal cara kerja kenikmatan,
cara kerja instan dengan penghasilan yang lumayan menggiurkan. Bahwa ada banyak
manusia tanpa kerja keras, cukup modal tebal muka yang membuatnya tak memiliki
rasa malu, melacurkan dirinya baik sebagai penjual isu, mengeksplotasi isu-isu
kemiskinan, atau bahkan menjadi tikus-tikus got bagi kawan-kawannya. Kerja
melacurkan diri yang justeru berbanding terbalik dengan para perempuan yang
sering dituding sebagai pelacur, dimana mereka tetap harus kerja keras,
memasarkan dan menjual tubuh sendiri, karena mereka paham tanpa itu mereka tak
bisa
berharap mendapatkan pelanggan dan konsumen
elit dan high class.
Ironisnya, terkadang konsumennya
adalah para 'pelacur' berdasi yang tak memiliki harga diri itu, justeru
dianggap terhormat dan sering dihormati.
Fenomena melacur ini bisa terjadi dalam ragam bentuk, melacur politik, melacurkan idealis, hingga benar-benar melacur dengan cara mengangkang. Pelacur politik biasanya marak menjelang hajat politik, para politikus yang menanggalkan prinsip dan kehormatannya adalah salah satu contoh pelacur politik, jika dalan konteks aktifis biasanya terejewantah dalam sikak aktifis yang sok kritis, tapi seringkali hanya kedok, topeng dan kepura-puraan.
Fenomena melacur ini bisa terjadi dalam ragam bentuk, melacur politik, melacurkan idealis, hingga benar-benar melacur dengan cara mengangkang. Pelacur politik biasanya marak menjelang hajat politik, para politikus yang menanggalkan prinsip dan kehormatannya adalah salah satu contoh pelacur politik, jika dalan konteks aktifis biasanya terejewantah dalam sikak aktifis yang sok kritis, tapi seringkali hanya kedok, topeng dan kepura-puraan.
Orang seringkali juga melacurkan
idealisme karena biasanya tak tahan lapar dan menderita dalam kemiskinan terus
menerus, menjadi penjual isu kesana-kemari. Ada banyak orang yang merasa tak
perlu kerja keras untuk mendapatkan materi, bahkan tak sedikit juga orang yang
melacurkan agamanya untuk kepentingan perutnya.
Orang-orang seperti ini
sebenarnya telah di sindir Tuhan dalam Kitab Suci, "Janganlah engkau menjual
ayat-ayat Tuhan (kebenaran) dengan nilai yang rendah/sedikit (materi)."
(Qs. al Maidah : 44).
Ibnu Katsir menjelaskan ayat di
atas dengan makna, janganlah kalian mengambil dunia, dengan sengaja
menyembunyikan penjelasan, informasi, dan tidak menyebarkan ilmu yang
bermanfaat kepada masyarakat, serta membuat samar kebenaran. Agar kalian bisa
mempertahankan posisi kepemimpinan kalian di dunia yang murah, rendah, dan
sebentar lagi akan binasa.(Tafsir Ibnu Katsir, 1/244).
Menunggangi agama untuk
kepentingan duniawi, mengabaikan kebermanfaatan kepada masyarakat hanya untuk
kepentingan perut samalah halnya dengan melacurkan nilai-nilai kebenaran,
melacurkan agama.
0 Comments: