Keadilan tidak bisa dipersepsikan
dengan memberi gelanggang yang sama terhadap pemilik sabuk putih dan hitam,
kemudian membiarkan mereka bertarung dengan aturan yang sama. Seperti halnya, keadilan
ekonomi tidaklah mungkin bisa dimaknai dengan memberi ruang yang sama terhadap
para pedagang kecil dan pedagang dengan modal besar.
Seumpama, pemerintah menyediakan
ruko, kemudian mempersilahkan para pedagang untuk menyewa dan mengisinya, tanpa
ada keringanan buat pedagang kecil. Hanya ada pilihan, jika tak sanggup
pilihlah lapak yang posisinya agak ke dalam dan kurang strategis sesuai dengan
kesanggupan menyewa.
Sama pula dengan kebijakan
merelokasi pedagang kaki lima (PKL), baik yang di pasar kopindo, seputaran
rumah sakit, atau sekitar taman kota atau ruang publik lainnya, tapi membiarkan
pedagang-pedagang bermodal besar terus berdagang dengan alasan mereka memiliki
tempat legal, tidak mengganggu pengguna jalan, ketertiban dan kebersihan, tidak
menimbulkan kekumuhan dan alasan 'seolah-olah' logis lainnya.
Merelokasi PKL pedagang pakaian,
tetapi membiarkan pedagang pakaian bermodal besar atau mengusir PKL yang
berjualan makanan, tetapi membiarkan rumah makan besar sama halnya secara tidak
langsung berpihak kepada pedagang bermodal besar. Mengapa? Karena, PKL tidak
direlokasi saja sudah kalah bersaing soal pelayanan, isi toko dan kelengkapan
stok lainnya, kemenangan mereka paling-paling hanya soal harga yang selisih
seribu atau dua ribu rupiah lebih murah.
Apatah lagi ketika mereka diusir
dan dijauhkan dengan konsumen, berlipat-lipatlah kekahalan mereka. Dan itulah
bentuk nyata kebijakan yang menguntungkan pedagang bermodal besar itu, ketika
konsumen "dipaksa" lebih memilih pedagang terdekat.
Lantas bagaimana kebijakan
relokasi yang adil itu? Salah satu contohnya adalah, relokasi harus
diberlakukan untuk semua pedagang, tak boleh ada satupun pedagang yang tinggal
di area yang hendak dibangun, sehingga konsumen tak bisa memilih.
Misalnya, semua pedagang
direlokasi ke pasar cendrawasih, pedagang bermodal besar di tempatkan di bagian
paling atas dan pedagang kecil ditempatkan di bagian bawah? Loh, itu tak adil?
Adil bahkan sangat adil, pedagang yang memiliki modal besar, dengan modal yang
mereka miliki bisa membuat tokonya lebih menarik untuk dikunjungi meski berada
di tempat yang lebih jauh, hal yang tak mungkin bisa dilakukan oleh pedagang
kecil sehingga mereka harus ditempatkan di lokasi-lokasi strategis yang mudah
dijangkau.
Perebutan ruang publik yang
selalu memosisikan PKL sebagai pihak yang bersalah dan kalah, selamanya tak
akan pernah memberi jalan keluar yang adil. Maka, tak perlu saling tuding dan sok heran, kenapa tak pernah tercapai
"ketertiban" seperti yang pemerintah harapkan dari ikhtiar
penertiban, selalu ada perlawanan yang melahirkan kegaduhan dan disharmoni.
Bukankah disharmoni lahir dari gesekan yang tak tak teratur, akibat peraturan yang
selalu garang ke bawah tetapi jinak ke atas, sangar terhadap rakyat kecil
tetapi merunduk pada pemilik modal?
Hari ini, Senin (23/10) pedagang
kecil itu akan menuntut haknya dengan turun ke jalan, sebagai salah satu
ikhtiar mereka untuk bertahan, bukan semata bertahan tak mau direlokasi, melainkan
lebih dari itu, bertahan untuk tetap hidup. Mereka tak ingin kehilangan
pelanggan yang bisa berakibat pada matinya usaha mereka.
Barangkali, aksi protes mereka tidak
bisa membuat pemerintah yang terlanjur keras kepala untuk meninjau
kebijakannya, apatah lagi mereka tidak memiliki akses langsung pada pembuat
kebijakan, mereka hanya dianggap penting dan berguna ketika mendekati pemilu
sebagai pendulang suara, partai politik atau politisi acap kali mengklaim sebagai
pembela dan pelindung mereka, lewat janji-janji manis di masa kampanye mereka
dininabobokan sebagai kelompok yang akan dibela.
Namun, penguasa perlu ingat gerakan
protes bukanlah gerakan nir-makna. Ada banyak pesan yang hendak disampaikan
selain dari isu yang mereka suarakan dan perjuangkan, pesan lainnya adalah
perlawanan! Gerakan ini punya tujuan jelas, jejaring luas, dan manajemen aksi
yang baik, terlebih jika didukung oleh mahasiswa. Para pemrotes harus
mengorbankan waktu kerja atau waktu belajar (mahasiswa), demi meraih sesuatu
yang mereka anggap sebagai jalan untuk melakukan perubahan sosial atau
mendapatkan keadilan.
Mereka telah menginvestasikan
waktu dan energinya guna menarik perhatian publik, yang pada gilirannya
mendorong adanya penyelesaian. Jejaring antar-individu yang mempunyai perasaan
serta pandangan sama harus bisa terjalin secara berkesinambungan. Tidak
terputus oleh agenda pribadi, tapi niscaya tetap tersambung kepentingannya
antara satu dengan yang lain. Tiap individu dalam gerakan protes biasanya
saling berbagi kisah dan alasan kenapa mereka harus dan rela ikut dalam gerakan
tersebut.
Jadi, jangan pernah anggap sepele
gerakan rakyat kecil ini. Jika hari ini mereka sedikit jumlahnya, mungkin mereka
hanya butuh solidaritas yang lebih solid, berjejaring lebih luas. Jika kau tak
percaya, maka silahkan berbuatlah sewenang-wenang terus menerus, gusur mereka
yang berjualan di ruas jalan dekat Rumah Sakit Umum (RSU) Ahmad Yani, usir
mereka yang berjualan di Taman Merdeka, bubarkan mereka yang membuka lapak di
sepanjang jalan Cut Nyak Dien dan Agus Salim, Pasar Kopindo, karena mereka
semua menyalahi peraturan yang kau sebut dengan Perda itu!
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo. Penyuka Serial Wiro Sableng.
0 Comments: