Melanjutkan tulisan saya soal
membangun kota adalah kebutuhan warga bukan kebutuhan pengunjung dan tulisan
berjudul Persekongkolan Menggusur Warga Miskin dan PKL Metro Melawan, berikut
ini saya akan tunjukkan beberapa fakta perjalanan bagaimana pedagang kaki lima
(PKL) dan rakyat kecil itu lemah dan tak pernah benar!
Dulu sekali, sekitar tahun 1998
ketika kali pertama saya tinggal di Kota Metro, saya masih sering melihat pedagang
klontongan yang berjualan menggunakan gerobak di Simpang Kampus, juga ada
penjual sate, warung-warung kecil yang berjualan sembako dan kebetulan saya mengenal
beberapa orang di antara mereka. Namun, setelah berdiri toko ritel nan megah Alfamart
di antara mereka, satu persatu dari mereka gulung tikar, tak ada protes. Semua senyap!
Saya yang ketika itu masih
semester awal, juga tak pernah bertanya kemana mereka dan bagaimana nasib
mereka. Saya hanya berpikir, setelah Alfamart itu berdiri, "Wow keren,
kota ini sedang berbenah! Kota sedang hendak memanjakan warganya berbelanja,
dengan fasilitas lengkap dan nyaman."
Saya senang dan barangkali itu juga
mewakili perasaan mayoritas warga kota yang lain. Tak peduli dan tak pernah mau
tahu bagaimana nasib dan perasaan para pedagang kecil yang satu persatu lapak
mereka telah tutup. Setelah beberapa tahun kemudian, saya sempat bertemu dengan
salah satu pedagang kecil yang berjulan rokok di Simpang Kampus tersebut telah
berubah profesi menjadi tukang becak, yang mangkal di depan Chandra. ketika
ditanya, kenapa tak lagi berjualan, jawabnya singkat: "Sepi!"
Kimari, becaknya juga sudah tak pernah terlihat lagi di antara satu dua buah becak
yang masih bertahan di depan lapak-lapak para pedagang VCD bajakan Kompleks
Pertokoan Sumur Bandung, mungkin dia telah beralih profesi lagi dengan alasan
yang sama, sepi! Bagaimana tidak, serbuan industri kendaraan bermotor roda dua
dengan uang muka murah membanjiri setiap pojok kota, bagai kiriman air dari
puncak yang menggenangi Jakarta, tak terbendung, Dealer sepeda motor berdiri di
mana-mana dengan promo menggiurkan.
Kembali ke soal ruang kota, dulu lekat
dalam ingatan saya (tolong luruskan jika salah, karena saya tak menyimpan bukti
fotonya), tak ada lapak PKL di jalan antara Shopping Center dan Pasar
Cendrawasih, jangankan di jalan, di halaman pasar Cendrawasih yang kala itu
masih menjadi area parkir, salah satunya tempat ngetem mobil Taxi warna kuning, tak ditemukan satu pun ada lapak
PKL.
Hingga akhirnya, ada rencana
pembangunan Metro Mega Mall (M3), sebuah program mercusuar penguasa pada waktu
itu. Beberapa lapak yang terbuat dari papan dan karton ditegakkan di bahu-bahu jalan
antara Shopping-Cendrawasih termasuk juga di halaman pasar cendrawasih yang lapang
itu. Tiba-tiba sekeliling Taman Parkir ditutup dengan seng, Pohon besar di
tengahnya dirobohkan. Jalan tembus ke jalan utama, Jendral Sudirman ditutup,
termasuk jalan yang mengitari Taman Parkir tersebut.
Kala itu, saya dan mungkin juga
beberapa warga yang bego-nya sama
dengan saya, dengan mulut ternganga senang bukan kepalang hanya berseru
"Wowwww...! Kotaku sebentar lagi punya Mal, bukan hanya Mal biasa, tetapi
Mega Mal!" Maklum membayangkan area yang terbentang dari depan Jl. Jendral
Sudirman hingga belakang ke Pasar Pagi sungguh sangatlah luas, apalagi bangunan
itu ditinggikan hingga tujuh atau 10 lantai. Dahsyat. Mega Mal bung!
Tak ada protes terkait dengan
penutupan jalan dan ruang publik Taman Parkir itu, semua mulus, jika pun ada
protes, paling hanyalah riak-riak kecil soal pro-kontra penunjukan pihak
pengembang dengan seluruh rentetan "cai bucai" yang menyertainya,
kemudian protes itu pelan-pelan hilang, mungkin telah menguap hingga ke Arsy Tuhan sana, terarsipkan menjadi
catatan baik-buruk pembuat kebijakan, yang akan mereka terima nanti, entah
dengan tangan kanan atau tangan kiri. Itu pun, jika mereka percaya hari akhir.
Jadi, sedikit menguak
lembar-lembar ingatan dan kesadaran kita bersama, bahwa sungguh yang
memfasilitasi pertama kali para pedagang kecil untuk menggunakan ruang publik
seperti bahu jalan, tempat parkir adalah penguasa? Dan itu tak salah apalagi
disebut sebagai masalah, itu kebijakan yang sangat bijak! Kenapa sekarang para
PKL itu salah dan bermasalah, karena penguasa dan pemodal sedang berencana dan
memiliki kebijakan baru yang kebetulan bertentangan dengan kebijakan lama,
sehingga kebijakan lama harus direvisi! Mengapa rakyat kecil harus menjadi korban?
Masa bodo!!
Kawan-kawan tahu kan, maksudnya apa? Sudahlah, nanti kita
renungkan sendiri-sendiri.
Tak perlu mikir aneh-aneh, soal kenapa bekas bioskop shopping yang sudah berpuluh tahun dibiarkan terbengkalai, atau soal bioskop Metropol Chandra yang sekarang alih guna? Bagaimana izin HGB-nya?
Diam aja!!! Yang selalu salah itu rakyat!
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo, Penyuka Karya Bastian Tito, Freddy S dan Mira W
0 Comments: