Tak ada
orang Lampung yang tak kenal Kota Metro sebagai kota yang majemuk, multi etnis
dan tradisi, tetapi tetap sejuk, ramah-tanpa konflik, nyaman dan bersahabat
untuk dihuni.
Meski Kota
Metro sering dijuluki sebagai daerah tanggung, “kota tak sampai, desa telah
lewat”, namun, hal tersebut justeru
menjadi identitas dan karakter Metro sebagai kota yang masih sangat menjaga
tradisi, saling peduli sesama, kesetiakawanan, dan kesukarelaan serta sikap
gotong-royong yang masih dirawat dengan baik oleh sebagian besar warganya.
Menurut saya, dengan karakter tersebut
justeru Kota Metro berpotensi menjadi kota masa depan, referensi bagi kota-kota
lain di Indonesia bahkan (mungkin) di dunia, dengan syarat penataan Kota Metro
sebagai kota yang ramah terhadap semua kelompok, gedung-gedung bangunan yang
didirikan tidak mengarah kepada upaya mengalienasi kemanusiaan dan kebudayaan
warganya, modernitas yang hadir tidak menggerus tradisi lokal, orang tetap
ramah berinteraksi meski mereka berada di Mall atau Supermarket.
Intinya,
Kota Metro justeru menjadi unggul ketika tetap menjadi kota dengan nuansa desa,
tidak latah dengan pembangunan yang berorientasi pada pendirian beton, tembok
atau gedung-gedung besar nan mewah. Maka, Kota Metro wajib memastikan bisa
menghentikan laju pembangunan Indomaret, Alfamart dan sejenis toko ritel
lainnya termasuk juga harus berani membatasi pembangunan ruko!
Pembangunan
Kota Metro harus diarahkan kepada penataan sendi-sendi perkotaan yang selama
ini masih dianggap masih sulit diakses oleh warga yang berkebutuhan khusus
(disabilitas), seperti kantor-kantor pelayanan publik, rumah sakit hingga
tempat-tempat perbelanjaan, termasuk jalan-jalan utama yang khusus disediakan
bagi kelompok-kelompok tersebut termasuk para pejalan kaki dan pesepeda.
Pembangunan
Kota Metro, harus lebih diarahkan pada penataan dan upaya memaksimalkan fungsi
ruang-ruang publik, ruang-ruang yang memiliki nilai sejarah, ruang khalayak
yang layak sebagai rumah bersama, yang bisa menghimpun warga untuk bisa terus
menerus berinteraksi seperti keluarga.
Membandingkan
Jakarta bisa
bangga sebagai kota Metropolitan yang secara (tak) kebetulan menjadi Ibukota
Negara, di Jakarta juga hadir berbagai simbol-simbol kemajuan dan modernitas,
referensi bagi hampir seluruh ‘gengsi’ di tanah air. Bandung juga bisa bangga
sebagai tempat lahirnya banyak arsitek, referensi desain kota yang modern,
apalagi setelah ditetapkan oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan
Kebudayaan PBB (United Nations Educational, Scientific and Cultural
Organization- UNESCO) sebagai salah satu dalam jaringan kota kreatif UNESCO
Creative Cities Network, dalam kategori Kota Desain Dunia atau City of Design oleh PBB melalui Unesco.
Surabaya juga patut berbangga, karena menjadi kota
Metroplitan kedua setelah Jakarta. Kemegahan bangunan, pesatnya pembangunan,
dan menjadi pusat-pusat keramaian, adalah ‘gengsi’ yang memantaskan warganya
menepuk dada dan berkata “ini Surabaya, Bung!”
Lebih beruntung lagi, kota-kota tersebut adalah
kota-kota yang memang menjadi prioritas pembangunan sejak zaman penjajahan
Belanda, Jepang dan dilanjutkan oleh Orde Baru dengan mengangkut kekayaan di
luar pulau Jawa untuk membangun dan mengembangkan kota-kota tersebut menjadi
lebih maju dan memiliki gengsi, dibandingkan dengan daerah-daerah di Nusa
Tenggara, Sulawesi, Papua, Kalimantan dan Sumatera.
Lantas, apa yang pantas dibandingkan dan
dibanggakan dari kota kecil bernama Metro yang berada di Provinsi Lampung?
Tentu saja tidak adil untuk membandingkan kemegahan bangunan, pesatnya
perkembangan pusat-pusat keramaian, termasuk naif juga, jika membandingkan
kreatifitas warga kota-kota tersebut dengan
warga Kota Metro, dengan ruang dan fasilitas yang perbedaannya sangatlah jomplang.
Namun, menilik Kota Metro sebagai kota yang
memiliki identitas dan karakter sendiri, membandingkan tingkat toleransi,
keramahan, kepedulian dan kegotong-royongan warganya, maka penulis tertarik
untuk mengundang setiap orang untuk menyebutkan deretan-deretan kota di
Indonesia bahkan di dunia dan mendudukkannya sejajar dengan Kota Metro.
Hal ini bukan berarti, penulis menolak untuk tunduk
pada para pakar kota yang mendiktekan definisi dan pengertian sebuah kota yang
maju dan modern, karena sesungguhnya dalam definisi-definisi mereka tersebut
juga terdapat kekhawatiran mendalam tentang perkembangan kota ke arah cities
of sorrow yang akan menyengsarakan kemanusiaan, berubahnya kota metropolis
menjadi miseropolis, megapolis menjadi megapolost. Indikatornya
jelas, warga kota semakin individualistik, hedonis dan konsumtif.
Lalu?
Menata kota, tidak harus diukur dengan terbangunnya
gedung-gedung pencakar langit, lahirnya banyak kemegahan. Pun, tak harus
menolak pembangunan selama itu menjadi media dan alat yang bermanfaat untuk
warga kota. Mal-mal besar dan pasar modern boleh hadir di Kota Metro, namun
yang terpenting pasar tradisional dan usaha kecil tak boleh mati, gedung-gedung
pencakar langit boleh lahir di Kota Metro, tetapi tidak boleh mengisolir
kemanusiaan dan mengalienasi warga kota.
Kota Metro adalah kota yang memiliki nilai
kesantunan dan sikap kegotong-royongan. Terbukti, dua tahun yang lalu, anak-anak mudanya dalam beberapa kegiatan berduyun-duyun
secara sukarela hadir untuk kampanye #SayangiMetro, mereka memungut sampah dan
mendirikan Bank Sampah secara swadaya, membuat lagu dan film sebagai bahan
kampanye peduli lingkungan, memadati ruang-ruang publik dalam event
#MetroRevival berkampanye melawan politik uang, dan semangat itu harus selalu
dijaga dan dirawat.
Mutakhir, ada gerakan #MetroBergeliat
yang selalu support berbagai kegiatan anak-anak
Metro, mempromosikan setiap ada talent
atau potensi muda lokal, ada gerakan #AyoKeDamRaman yang menghidupkan wisata
berbasis warga di Dam Raman, ada musisi yang guyung dalam acara #Rock&Mob
beberapa waktu lalu, dan ada banyak kegiatan warga kota lainnya yang tak
terekam. Intinya Kota Metro itu keren dan hebat, bangga menjadi warga Kota
Metro dengan segala keunikannya yang tak mungkin dimiliki daerah lain.
Membayangkan Kota Metro sebagaimana Singapura
(sama-sama kota kecil), absah dan harus. Singapura setidaknya bisa diteladani dari
dua aspek, yaitu aspek keruangan; yang terdiri dari pembagian ruang kota sesuai
fungsi dan tema, privasi-publik, dan pembentukan identitas ruang, sense of
place (dari space menjadi place) juga inovasi form arsitektur
yang kaya dan kontekstual, dan aspek keterhubungan antar-ruang, yang terdiri dari akses dan sarana transportasi
publik.
Kota Metro bisa dikembangkan pada dua aspek
tersebut, dengan catatan Kota Metro tak boleh berjarak dengan warganya, tak boleh ada gap pembangunan-kemanusiaan. Kota
Metro harus tetap menjadi kota yang nyaman
menjadi hunian dengan interaksi ramah warga kota. Karena Metro bukan Bandung,
Jakarta apalagi Singapura!*
0 Comments: