
Judul tulisan ini bukan menyangsikan keberadaan jutaan orang yang
berprofesi guru, dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA)
atau bahkan Perguruan Tinggi (PT). Pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini
hanyalah refleksi kecil, ketika kini guru dimaknai sekadar sebagai pengajar di ruang
kelas, menyampaikan pelajaran sesuai silabus dan kurikum, tanpa terbebani untuk
selalu menjaga laku dan tuturnya, baik di sekolah maupun di masyarakat, guru yang
tutur lakunya menjadi
rujukan, digugu dan
ditiru.
Dulu, ketika saya masih sekolah dasar, guru bagi
saya adalah sosok yang super, melebihi segala kehebatan yang dimiliki orang tua
saya, yang hanya
bisa membaca dan menulis dengan terbata-bata, bahkan bukan
hanya saya dan murid-murid lainnya, para orang tua kami pun ikut
menganggap guru sebagai sosok sempurna, layak diidolakan karena memiliki
pengetahuan, moral dan akhlak yang baik melebihi masyarakat umumunya, tingkah laku nan
santun, tutur kata yang
sopan, hingga
cara berpakaian yang rapi.
Guru saya, sangat jarang terlihat memakai celana pendek di ruang publik di hampir segala keadaan, kecuali ketika ia berolahraga
atau melakukan aktifitas yang tak memungkinkan memakai celana panjang. Para
guru perempuan rata-rata menggunakan kebaya atau baju kurung, rok panjang atau rok yang
menutupi lutut, ketika para guru perempuan itu memakai celana pastilah juga celana longgar, bukan
yang ketat apalagi semacam leging
seperti celana zaman now yang membentuk lekukan bokong, paha dan betis.
Guru, memberikan jam tambahan untuk murid-muridnya di sore hari
dengan riang dan penuh keakraban, tak ada biaya tambahan apapun. Guru akan
sangat merasa bersalah dan gagal, ketika sebagian murid-muridnya tinggal kelas (tidak
naik), sekaligus
memiliki perasaan bersalah yang sama, ketika murid-murid naik kelas padahal si
murid dianggap belum mampu untuk naik kelas.
Masa itu, memang belum tak
ada tempat les atau lembaga bimbingan belajar yang bisa mengganti peran dan
fungsi guru. Tidak seperti saat ini, mereka yang memiliki uang lebih banyak,
bisa mengikuti les dan bimbingan belajar di luar sekolah, belajar kepada para
instruktur di tempat-tempat bimbel untuk memecahkan kisi-kisi soal yang akan
diujikan, sehingga yang tak mengikuti les dan bimbel karena keterbatasan biaya,
bisa dipastikan tak akan pernah bisa lebih cerdas dan berprastasi daripada mereka yang mengikuti les dan bimbel.
Zaman memang telah berubah. Lajunya sedemikian cepat, bukan
hanya metode, gaya dan fasilitas belajar yang berubah, makna guru juga mengalami
pergeseranpesat, guru
bukan lagi sosok yang mesti digugu dan ditiru, tak ada lagi beban menjadi sosok
teladan yang mengharuskan guru menjaga sikap dan ucap di luar kelas. Guru
hanyalah guru ketika berada di sekolah, guru adalah pekerjaan yang menyesuaikan
jam kerja dan nominal gaji.
Di luar sekolah, ibu guru muda adalah cewek seksi yang
kekinian. berkaos ketat
dan bergaya alay.
Bukan hal yang mengagetkan pula, ketika melihat
fenomena guru yang nyambi
menjadi pengusaha, berbisnis buku pelajaran, menjadi joki yang bertugas
menyebar kunci jawaban ketika ulangan, atau guru yang memiliki pekerjaan
sampingan sebagai pengusaha catering dengan pasar utamanya adalah para
murid. Guru seperti ini menganggap sekolah adalah pasar yang menjanjikan,
membuka ruang mengembangkan bisnis dan usaha-usaha baru, bisnis pakaian, bisnis
makanan, bisnis seminar dan pelatihan, bisnis hiburan dan permainan hingga
bisnis paket wisata pendidikan.
Al hasil, produknya adalah murid-murid yang kehilangan rasa hormat
dan sopan-santun kepada gurunya. Jika kita masih menganggap tabu dan kurang
ajar, para murid yang seenaknya merokok di depan gurunya, berkacak pinggang,
membentak dan memukul gurunya, maka mestinya bertanyalah apakah mereka benar-benar
guru.
Barangkali kita merasa aneh dan heran, ketika ada murid SMA yang dengan santai menggoda ibu gurunya yang cantik, seksi dan modis. Tapi, begitu memperhatikan si ibu, jangan-jangan kita malah berubah pikiran bahwa : “ibu guru memang pantas digoda”.
Momentum 25 November 2017 ini, semoga menjadi momentum refleksi dan merenung, bukan hanya untuk mengingat jasa-jasa para guru dulu, melainkan juga melakukan evaluasi mengapa ada pergeseran nilai dalam pendidikan kita, karena jika murid nakal tak mungkin menyalahkan pedagang di pasar, pastilah murid kencing berlari karena guru kencing berdiri!
Barangkali kita merasa aneh dan heran, ketika ada murid SMA yang dengan santai menggoda ibu gurunya yang cantik, seksi dan modis. Tapi, begitu memperhatikan si ibu, jangan-jangan kita malah berubah pikiran bahwa : “ibu guru memang pantas digoda”.
Momentum 25 November 2017 ini, semoga menjadi momentum refleksi dan merenung, bukan hanya untuk mengingat jasa-jasa para guru dulu, melainkan juga melakukan evaluasi mengapa ada pergeseran nilai dalam pendidikan kita, karena jika murid nakal tak mungkin menyalahkan pedagang di pasar, pastilah murid kencing berlari karena guru kencing berdiri!
Selamat Hari Guru Nasional!
Rahmatul Ummah
Murid SD Tahun 1985-1990
0 Comments: