Film serial The X-File, dalam salah episode
bercerita
tentang Agen Fox Mulder yang berkhayal
didatangani oleh sosok Genie, jin
perempuan yang cantik, yang memberinya satu permintaan untuk diwujudkan, kemudian Mulder meminta agar
dunia senantiasa aman, damai dan tentram, tanpa perselisihan, intrik politik
dan perebutan kekuasaan.
Dengan
tersenyum si jin cantik mengangguk
dan berkata, “all done”. Saat itu juga Fox Mulder merasakan ketenangan dunia
setenang-tenangnya. Tiada lagi perbantahan dan perselisihan, tiada lagi perebutan
kekuasaan. Segalanya jadi hening sehening-heningnya.
Mulder kemudian berlari ke jalan, tiada didapatinya seorang manusiapun, segalanya senyap.
Tidak ada lagi yang kebut-kebutan di jalan, tidak ada pula lagi yang merasa
terancam dengan kebut-kebutan itu dan tidak ada lagi sumpah serapah.
Kisah Mulder
dalam The X-File ini bisa dimaknai seolah
menanamkan pesimisme tentang kedamaian, ketentraman dan keamanan yang hari ini
semakin langka didapat, hanya ada dalam khayalan Mulder dan bisa diwujudkan dengan menghilangkan semua
manusia.
Lantas,
apakah itu berarti keadilan yang bisa melahirkan rasa aman, tentram dan
damai itu hanyalah
persepsi, sehingga kita harus dengan terpaksa mengamini, persepsi adalah
persepsi, dan realitas adalah realitas. Adil itu hanyalah ide, bukan kenyataan!
Barangkali,
kita memang tanpa harus menonton seri film The
X-File ini telah terlanjur pesimis terhadap kehidupan, sehingga terkadang
tanpa sadar kita terpancing untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai
tujuan. Menggadaikan suara ketika pemilu, menyuap untuk mendapat pekerjaan, bermuka
manis terhadap pejabat yang korup dengan harapan bisa kecipratan rezeki, dan
berbagai sikap lainnya yang sebenarnya bertentanngan dengan hati nurani, tetapi
terpaksa dilakukan karena pesimis.
Kita
pesimis untuk mendapatkan wakil rakyat atau pemimpin yang baik, saking terlalu sering dibohongin,
sehingga menjual suara daripada tak mendapatkan apapun. Kita pesimis bahwa
kepandaian dan kecakapan tak cukup menjadi modal untuk mendapatkan pekerjaan,
sehingga terpaksa menyogok atau memakai jasa 'orang dalam'. Kita pesimis tanpa
menjilat tak mungkin karir naik atau bisa berdekatan dengan kekuasaan.
Jika
begitu, maka tak berlebihan kiranya Soe Hok Gie menitip pesan untuk
berhati-hati dengan mereka yang terjangkiti sifat pesimis dan apriori, karena
lawan idealisme itu adalah apriori dan pesimisme. Orang yang terjangkiti sifat
pesimis, tak akan pernah lagi percaya bahwa memegang teguh kebenaran dan
idealisme itu bisa menjadikannya sukses dan survive,
sehingga mereka cenderung tak canggung melacurkan diri dan idealismenya.
Apalagi
setiap hari kita memang sering dipertontonkan ketakadilan. Mereka yang penjilat
dan bermuka manis lebih sukses dari mereka yang melakukan kritik dengan tulus
terhadap atasannya. Penguasa dan pengusaha yang korup dan jahat tetapi kaya
raya karena korupsi lebih dihormati daripada penguasa dan pengusaha yang jujur
tetapi memiliki materi terbatas.
Para
pejabat korup, meskipun telah menggunakan rompi oranye tetap dianggap lebih
mulia daripada petugas kebersihan, tukang sapu jalanan yang menggunakan baju
berwarna sama.
Memang
teramat susah untuk mengatakan
hidup ini adil,
ketika bertemu penguasa yang hidup serba enak dan dibiayai rakyat, menghabiskan
waktu-waktunya di ruang ber-AC, menutupi dan memoles wajahnya dengan kosmetik
yang serba mahal, menggunakan pakaian mahal dari merk-merk terkenal, sedangkan
rakyatnya setiap hari tak peduli panas terik dan deras hujan, pergi membajak
sawah dan menanam
bibit padi, membersihkan, merawat dan menaburinya pupuk mahal yang dibeli
dengan berhutang, kemudian saat musim panen, ia juga harus menerima resiko
gagal panen, karena banjir akibat hutan yang digunduli pengusaha serakah atau padinya diserang hama wereng.
Sementara
penguasa yang tiran, hidup dalam kesenangan dan kemewahan, kemudian mati tetap
bergelimang kesenangan, dengan warisan yang tak akan habis dimakan anak cucunya hingga tujuh
turunan.
Apakah benar adanya summum jus, summa injuria, keadilan yang tertinggi adalah
ketidak-adilan yang terbesar sebagaimana ungkapan Cicero yang terkenal itu, atau
ungkapan serupa lainnya bahwa summa lex summa crux? Barangkali,
Iya. Aliran positivisme mempercayai bahwa keadilan yang tertinggi adalah
ketakadilan tertinggi pula. Namun menurut Satjipto Rahardjo, keadilan itu
terlihat bagaimana seseorang melihat hakikat manusia dan seseorang memperlakukan
manusia.
Jadi, keadilan itu bukan soal timbangan yang seimbang dan serba
materialistik melainkan erat terhubung dengan nilai, kemanusiaan dan nurani. " Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap
dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau
enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa
yang kamu kerjakan." (Qs. Annisa;
135).
Adil bukan semata soal materi, adil adalah tawazun, keseimbangan. Adil mencipta
ketenangan dan kenyamanan, sedangkan berlimpahnya materi tak menjamin
melahirkan kebahagiaan sejati, bisa jadi semu dan menipu.
Bukankah untuk sampai ke puncak, harus menempuh jalanan
mendaki? Lantas, mengapa untuk sampai ke puncak kebenaran dan keadilan engkau
justeru pesimis dengan pendakian?
Teramat naif, jika mendamba tegaknya keadilan tetapi di
sisi lain kita menggadaikan idealisme, permisif dengan transaksi jual beli
suara, mengaminkan penyuapan dan menjadi menjadi penjilat untuk bisa survive. Pesimisme terhadap tegaknya
keadilan sama halnya berhenti menjadi manusia yang memiliki nurani.
Comments
Post a Comment