Kota
Metro sebagai "Kota Pendidikan dan Wisata Keluarga" adalah visi
pasangan Paijo, ketika kampanye tahun 2015 yang lalu. Lengkapnya, visi itu berbunyi, “Percepatan Kota Metro Sebagai Kota
Pendidikan dan Wisata Keluarga melalui Pembangunan Ekonomi Kerakyatan yang
Berkualitas, Berkarakter, dan Berwawasan Lingkungan dengan Melibatkan
Partisipasi Publik.”
Jika,
masa kampanye dulu visi itu adalah janji politik, mka tentu sekarang bukan lagi masanya
berjanji, bukan lagi masanya terus menerus membangun citra-citra simbolik,
musim janji dan citra telah berlalu, sekarang adalah waktu mewujudkan
janji-janji itu, masanya kerja nyata, bukti.
Saya pribadi
masih menyimpan
visi itu dengan baik, beserta 6 butir
penjelasannya, 6 misi dan 6 butir garis besar program yang akan dilaksanakan.
Saya, selalu membaca visi itu setiap kali
memiliki kesempatan, karena saya punya meyakini pasangan Walikota dan Wakil Walikota Metro,
tentulah akan berusaha mewujudkan visi yang menjadi cita-cita ideal untuk Kota
Metro itu dalam satu periode kepemimpinannya (tersisa 3 tahun masa jabatan).
Ikhtiar untuk melakukan percepatan
dalam rangka mewujudkan Kota Metro sebagai kota pendidikan dan kota wisata
keluarga, jelas tertulis dengan huruf kapital bahwa pencapaiannya dilakukan
dengan cara (melalui) pembangunan ekonomi kerakyatan yang berkualitas, berkarakter,
berwawasan lingkungan dan melibatkan partisipasi publik. (Visi dan Misi lengkap, baca DI SINI)
Penjelasan yang tertulis di
lembaran visi dan misi tersebut cukup mudah dipahami
dan diingat. "Kota pendidikan dan kota wisata
keluarga," dijelaskan akan selalu memperhatikan beberapa hal berikut: Pertama, pembangunan
ekonomi kerakyatan, artinya visi tersebut akan senantiasa memperhatikan dan
menjadikan ekonomi rakyat sebagai basisnya, persis seperti penjelasan dalam
visi tersebut tentang ekonomi kerakyatan, dengan berusaha meningkatkan
kapasitas dan kreatifitas mereka.
Ini berarti,
kebijakan pembangunan bukan membangun ruko dan toko-toko modern, apalagi
menambah jumlah Indomaret dan Alfamart di Kota Metro, yang justeru bisa
mematikan warung-warung kecil
dan PKL sebagai basis ekonomi rakyat.
Bukan pula mempersulit akses pembeli dengan memindahkan lapak pedagang kecil ke
tempat-tempat yang susah dijangkau, karena lebih bijak dan berekonomi kerakyatan rasanya, jika yang
direlokasi itu adalah toko-toko ritel yang menyerobot trotoar sebagai
lahan parkir.
Kedua, pembangunan berkarakter
sebagaimana penjelasan dalam lembaran visi Bapak juga adalah pembangunan yang
terintegrasi dengan didasarkan pada karakteristik wilayah, sejarah, dan potensi
heterogenitas sosial kemasyarakatan. Entahlah, apakah tulisan di pojok Taman
Merdeka yang konon melahirkan bunyi "I Love Metro" dan pembangunan
Metro Convention Center (MCC) itu adalah pembangunan yang bercitarasa lokal
atau berkarakteristik wilayah, sejarah, dan potensi heteroginitas sosial
kemasyarakatan.
Karena,
bagi saya sederhana saja. Pembanguan di poin kedua ini cukup menata dan merawat
pohon-pohon Mahoni yang berjejer sepanjang Jl. AH. Nasution itu dengan
memperbaiki trotoarnya, menyediakan bangku-bangku panjang, mengatur lapak-lapak
pedagang kaki lima (PKL) dalam persekian puluh meter sepanjang jalan trotoar
tersebut, yang menyediakan minuman dan makanan ringan untuk pejalan kaki, pasti
lebih menarik dan asri.
Bisa juga
dengan melakukan
revitalisasi Sumur Putri di belakang bekas Gedung Wanita, menata lahannya
sembari melengkapinya dengan dokumen-dokumen yang berisi informasi riwayat
sumur bersejarah tersebut, sehingga bisa menjadi salah satu tempat tujuan
anak-anak muda untuk berkumpul sekaligus mengetahui satu titik tempat
bersejarah di Kota Metro pada masa lalu, yang menyimpan banyak cerita.
Sekali
lagi menurut saya, tidak
perlu meneruskan tradisi penguasa sebelumnya yang gemar menghancurkan simbol-simbol sejarah seperti Masjid
Taqwa dan Taman Parkir yang kini jadi Metro Mega Mal yang bukan Mal itu. Jika
pun ingin 'cuci piring' bekas penguasa lalu cukup menata kuliner yang kini
(ketika sore/malam hari) menempati area parkir Pusat Pertokoan Sumur Bandung,
agar lebih indah dan nyaman dikunjungi, bisa dengan membuatkan panggung musik,
soal penyanyi tentu tak perlu khawatir, karena di situ ada puluhan pengamen
yang bisa mengisi panggung tersebut secara bergantian.
Ketiga, berwawasan lingkungan artinya
pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kemampuan dan kesesuaian ruang
dengan memadukannya dengan nila-nilai kearifan lokal.
Apakah
indikator pembangunan yang berwawasan lingkungan itu? Jumlah rumah sakit yang menjamurkah?
Bagaimana dengan rumah sakit yang tak disertai dengan alat dan perlengkapan pengelolaan limbah
medis, layakkah disebut berwawasan lingkungan?
Pun, soal poin kelima tentang upaya
meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui ekonomi kerakyatan. Menjamurnya toko
modern seperti Indomaret dan Alfamart apakah bentuk support terhadap
kesejahteraan rakyat dan ekonomi kerakyatan? Apa yang sudah
diberikan kepada para
pengusaha kripik singkong, kripik tempe, pengusaha geribik, atau pengusaha
kecil lainnya? Apa ada yang serupa Koperasi Melati yang menyediakan pinjaman modal tanpa bunga
kepada pengusaha kecil sebagaimana yang dilakukan oleh Ridwan Kamil,
di Bandung?
Masih ada waktu tersisa tiga tahun, semoga visi “Percepatan Kota Metro Sebagai Kota Pendidikan dan Wisata Keluarga melalui Pembangunan Ekonomi Kerakyatan yang Berkualitas, Berkarakter, dan Berwawasan Lingkungan dengan Melibatkan Partisipasi Publik”, bukan hanya gombal politik, janji-janji manis ketika kampanye.
Masih ada waktu tersisa tiga tahun, semoga visi “Percepatan Kota Metro Sebagai Kota Pendidikan dan Wisata Keluarga melalui Pembangunan Ekonomi Kerakyatan yang Berkualitas, Berkarakter, dan Berwawasan Lingkungan dengan Melibatkan Partisipasi Publik”, bukan hanya gombal politik, janji-janji manis ketika kampanye.
0 Comments: