Enam bulan lagi, reformasi genap berusia duapuluh tahun. Tahun 2018 mendatang Lampung memilih gubernur dan beberapa kabupaten memilih bupati, disusul pemilihan legislatif dan pemilu presiden tahun 2019, setidaknya empat kali sudah perjalanan demokrasi liberal berlangsung, namun demokrasi tidak memberi dampak apapun terhadap kehidupan dan kesejahteraan rakyat.
Apakah ini menjadi penanda
kebenaran pernyataan Soekarno ketika berusaha menyatukan Nasionalis, Agama dan
Komunis (Nasakom) untuk melawan imprealisme Barat, bahwa demokrasi Barat hanya
menjamin kebebasan warganya dalam bidang politik, dan tidak berlaku di bidang
ekonomi?
Tengoklah Kota Metro, telah tiga
kali memilih langsung pemimpinnya. Bukannya lebih baik sebagaimana slogan yang
sering diteriakkan semasa kampanye, Untuk
Metro Lebih Baik! Kehidupan rakyat kian terpuruk, pengusaha kecil makin
menciut di tengah kepungan ritel dan ruko.
Barangkali, menjadi rakyat yang
baik itu harus pandai merawat kesetiaan,
harapan dan kepercayaan terhadap demokrasi, bahwa di dalamnya ada jalan menuju
kesejahteraan, setiap pemimpin baru selalu ada asa baru, meski nyatanya hingga
kini demokrasi hanya bergerak dalam batasan formal elektoral-prosedural.
Mengapa bisa begitu? Karena
interpretasi dan perspektifnya tak kekinian, apalagi menyebut nama Soekarno, old banget!
Bayangkanlah, di kota ini, alangkah
entengnya kekuasaan merobohkan dan menegakkan gedung dengan anggaran milyaran, membongkar dan membangun nama Taman Merdeka dan
membangunnya kembali dengan biaya ratusan juta, tetapi teramat sulit membangun sense of crisis, alih-alih mampu
menegakkan harkat-martabat dan kesejahteraan warga kota.
Ketika dikritisi, maka akan balik
bertanya, "warga atau rakyat mana yang gagal kami sejahterakan? warga mana
yang kami tak pernah hadir di tengahnya?" Jika sudah begitu, maha benarlah
penguasa dengan segala tafsirnya, bahwa istri, anak, kakak, adik, menantu,
besan, kerabat dan seluruh kroninya juga adalah rakyat!
Namun, rakyat tetap tak boleh
apatis, harus tetap fasih mengeja demokrasi yang dinarasikan sebagai hal ideal
untuk memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan, berdasarkan prinsip
persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai
pemilik kedaulatan, yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat, rakyat
harus tetap lantang membaca "kedaulatan tertinggi ada di tangan
rakyat!"
Jika pun menemukan realitas
terbalik, maka teruslah meneguhkan hati dan merapal mantra "ini tidak
jahat, Cinta. Ini hanyalah
cobaan!" Demokrasi adalah sistem ideal, sistem laraiba fihi dalam istilah Caknun, tak pantas untuk diragukan.
Jika kebetulan demokrasi belum
bisa membuktikan dirinya berhasil sebagai penjaga hak-hak individu, masih
sering melahirkan silang sengkarut pendapat antar individu bahkan kelompok yang
berujung pada pengeliminasian kelompok lemah dan minoritas, keputusan bersama
dalam iklim mufakat digunakan sebagai lobi-lobi untuk melanggengkan kuasa,
menekan mereka yang tak dominan dalam kemelut hegemoni, maka anggaplah itu sekadar
khilaf demokrasi yang bersifat sementara.
So, biarkanlah penguasa yang
memperkenalkan dan selanjutnya memaknai kesejatian demokrasi, tak perlu sedu
sedan apalagi memendam dendam kesumat yang tiada henti? Hentikanlah
perdebatan-perdebatan tak penting soal pembangunan untuk siapa, siapa yang
berhak atas ruang kota, apalagi mengkritisi kebijakan pemerintah atas nama
rakyat, karena akhirnya engkau akan terdiam ketika ditanya, "rakyat yang
mana?" Sekali lagi biarkanlah penguasa menafsirkannya sendiri!
Biarkanlah setiap rezim
menjalankan konsepsi birokrasi pemerintahan berdasarkan watak rezimnya, biarkanlah
bongkar pasang pembangunan itu, anggap saja itu permainan lego. Tak perlu kita lelah mempertanyakan soal pembangunan Nuwo
Intan yang belum digunakan tapi sudah butuh dana rehab itu? Apalagi soal font di sudut Taman Merdeka itu, karena
selalu ada jawaban atas setiap pertanyaan bukan?
Bukankah, ada atau tiada
pemerintah, kita juga tetap hidup dan mengurusi hidup sendiri?
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: