Manusia yang hidup di dunia ini, menurut Mbah
Klontong adalah akal. Sebab kalau tak mempunyai akal, tentu namanya bukan
manusia. Mungkin jadi namanya Obrok-Obrok atau Ojlok-Ojlok atau Kcak Kcrik atau
apalah namanya.
Akal yang sesungguhnya bagi sang Mbah tidak lain
dan tidak bukan ialah Manusia itu sendiri. Sebab katanya sedikit garang,
manusia yang indentik dengan akalnya itu, adalah adanya kebahagiaan, adanya
kebimbangan, adanya keragu-raguan dan adanya ketidakpuasan.
Seperti petatah petitih yang pernah aku dengar
ketika aku masih kecil dahulu. Ini juga tersiar dari mulutnya Mbahku sendiri,
jelas Mbah Klontong meyakinkan. Seingatku, pada suatu siang ia pernah berkisah
yang intinya adalah manusia berperan utuh terhadap akalnya. Apa sebab begitu?
Tanyanya sendiri. Ya sesungguhnya setiap peristiwa hidup memang membutuhkan
akal yang bukan akal-akalan. Karena, tegasnya, banyak sekali orang-orang yang
berbincang tentang kemelaratannya, sementara di lain pihak ia bercokol dengan
kenistaan di atas penderitaan yang dicincang pergolakannya sendiri. Artinya, ia
masih meragukan dirinya sendiri dikarenakan ia di persimpangan antara melarat
yang sangat sekarat.
Lalu, manusia itu selalu saja berangan-angan,
padahal angan-angan itu tak pernah sampai. Maka bercucuranlah keringatnya
sia-sia. Seterusnya, bermainlah akalnya, lalu dibaringkannya tubuhnya yang
lelah itu, kemudian ia terlelap pasrah. Dan ternyata apa yang dibayangkan itu
jauh dan bahkan sangat jauh dari kemampuannya sendiri. Justru sang akal itu
belum menyadarinya secara utuh. Bahkan, katanya spontan, sangat terang mimpiku
dalam hidup, nyataku terpenggal oleh dusta, dan dosa tertawa begitu riuhnya.
Sehingga aku, katanya, menjadi lupa berteriak histeris. Kemudian, katanya lagi,
ia memukul bulan yang jauh sebegitu dekatnya, nah yang dekat justru dilihatnya
sangatlah jauh.
Ternyata, ungkapnya lagi, aku telah alpa mengisi
hidup. Kemudian aku terdiam. Sedangkan akal-akal yang lain justru tak mampu
melupakan kealpaannya, akan tetapi terus-menerus bertanya di atas tanya. “Aku
kian bingung bahkan limbung seribu bahasa,” geramnya.
Pada siang yang lain, sang Mbahku melanjutkan
kisahnya, katanya; Kerapkali kita menyenandungkan kebisingan, merangkul daki
kata semusim, meluruhkan gejolak-gejolak nadi, dan barangkali untai melodi
membabi melodi, nyeri dan nisbi pun serasi, mencangkul hati, dialoqsi bernilai
hakiki, tinggi tak harus dimaki ataupun dicela caci. “Inilah tembang kehidupan
yang selalu gaduh serta sumbang, mungkin begitukah kehidupan itu, cucuku?”
Kerut keningnya terlihat seolah bertanya padaku. Sangat mengguncang.
Aku mendengarnya pun tak habis kamus. Kehidupan
ini Mbah, kataku, bagaikan bingkai kasih yang terjalin sangat erat mengikat,
dan asmara berkobar seolah bara membara di dada tegarku, walau kesumat waktu
terjerat sakral, nikmati sajalah Mbah? Nikmatilah dengan sungguh-sungguh, sebab
ia sangat suci dalam pertautan hati atas rasa kita berbagi kasih!
Sang Mbah melompong bodoh. Namun ia tak habis
akal, sebab ia tahu bahwa akal adalah manusia yang berakal, katanya dalam hati.
Kemudian ia menjawab; Ini alibi yang mengatasnamakan burung pipit yang
menggericit di dahan rapuh tanpa daun. Sebab musabab apa ia begitu? Ya pada
saat itu Papa dan Mamanya jarang sekali pulang kekandang, paling-paling
sekenanya saja. Pada hal mereka semua, anak-anaknya, merengek dalam isak
tangis, dalam rengek membatin oleh belas kasih. Namun apa yang terjadi! Ketika
mereka beranjak berusia ranum, mencari pelindung walau tak setara Papa dan
Mamanya, justru mereka semua kepingin pula mengikuti sejarah cerminan Papa dan
Mamanya itu. Mereka akhirnya sama dan sebangun, jarang pulang ke kandang.
Sebab, katanya lirih, lembaran waktu dan kamus masih utuh di kepala
masing-masing, anak-anak ranum itu melebarkan kamus serta mengikuti kemana
angin berhembus. Apa boleh buat. Crit…. crit… cit… cit…. simphoni anak pipit
mencari kasih, mencari cinta kepada Papa dan Mamanya, minta dahaga dalam
hidupnya, minta suaka dan terus-menerus mengericit.
Aku tersenyum mendengarkan celotehnya walau tanpa
menghiraukan suasana zaman yang terus bergerak dan terus kian beranjak, tanpa
arah namun aku tetap saja buta warna ‘tuk menterjemahkan apa-apa saja yang
telah dikatakan sang Mbah.
Yang jelas pikirku, hidup ini adalah
bayang-bayang kematian, dan ketertakutan bertemu Tuhan. Adalah terhitung akan
perbuatan yang selalu membuatku kelimpungan. Sebab, desir hatiku berkata; Hidup
mati itu tetap kembali kepadaNYA – Yang Maha Pencipta Alam sekalian kehidupan
berikut makhluk-makhluknya. Begitulah silih berganti mengenai kehidupan ini.
Atau, kataku pada Mbah; Untuk menghidupi dan lalu mengharungi ombak kehidupan
ini, adalah bagaikan air yang tak berbatas, jauh nun di muka bahari, kanan dan
kiri, tanpa sisi, dan kita berada di tengah-tengahnya. Hendak ke mana tujuan
tergantung angin yang berputar di anjungan. Walau terkadang oleng kemudi,
kemudian tenang, oleng dan tenang begitulah layaknya mengharungi, menghidupi,
menjumpai dan menyudahi kehidupan itu. Begitu kehidupan ini silih berganti,
tegasku!
Mbah bersemangat, mukanya rada memerah, dan ia
bertanya; Ini soal bencana, katanya, kemelut yang silang tindih bumi gegap
gempita, bencana jangan ditanya lagi. Adakah kesadaran di bawah sadar yang
sangat tegar? Sedangkan makelar-makelar berdesakan, sedangkan stress tak
tertanggulangi, edan! Pekiknya padaku.
Jangan begitu, Mbah…. memang kita sadari bahwa
arus zaman bagaikan simphoni dengkur yang terlelap nyenyak, bait dan frase tak
tentu tangis dan menegur kemiskinan, ya berlombalah kita menjaring bola, di
ujung masa berganti cuaca, terlena kita nantinya berkepanjangan. Lalu pada
kenyataannya kita akan tertawa geli, atau malah nantinya kita disebut tak
waras? Walau kita tak mundur untuk persepsi yang tak jelas seperti itu,
jelasku.
Itu belum berita langka, cucuku. Yang langka itu
coba kau camkan; Tahyul…. syirik…mendua, itulah menggelitik fenomena, tersiar
berita-berita langka, itu boleh jadi dikarenakan dinding zaman masih ditumbuhi
oleh bisul-bisul naïf, kesucian malah dilumuri kemunafikan, dilulur rayuan
pulau kehidupan nyata. Nanti, dan apabila dinding meretak yang disalahkan
adalah fundamen utuh tanpa tiang penyanggah. Tangisan, katanya tak berarti
secukupnya, poros dari keadilan belum juga merata, terancam kita oleh siasat
keguguran maknanya nyawa, induvidu-induvidu berdiri sendiri, tak ambil perduli,
beginilah rentanya zaman itu!
Benar kata pepatah kuno, Mbah…. lanjutku, untuk
menggapai sesuatu selalu saja terbawa arus dari segala penjuru arus. Baik dan
buruk laksana tujuan di batas kemana arah haluan. Benar-benar kata pepatah
kuno; Sesuaikanlah dirimu apabila masuk ke sarang macan sekalipun, apakah kamu
setuju menggapainya?
Lah iya…. kebahagiaan itu tanpa batasan wahai
cucuku, maka jangan mencarinya di atas batas, sebab bahagia tanpa batas itu
sangat berbahaya dan cara mencarinya lupakanlah syeitan segala kedurjanaan,
justru tunduk runduklah kita kepada Tuhan, sebagaimana cara atas pinta-pintaNYA.
Caranya sangat sederhana, wahai cucuku;
Amalkanlah sebuah prolog panjang, bisikan dan wahyu, lalu mainkanlah
dialog-dialog tentang peristiwa methafor, kukuhkan dunia dari segala cita dari
segala cinta dan cipta, kungkungkanlah sebuah kamus dan berbagai kemungkinan
itu, laporkanlah kepada kewajiban, Iman yang tangguh bicarakanlah langsung
dengan atau kepada TUHAN. Bahwa kita menyadari kehidupan yang dianugrahkannnya,
agar kita khusuk pula walau melakukannya tanpa zikir berkepanjangan. Maka, bersepakatlah
penuh persepsi. Kesadaran itu klenik, menyadari itu fenomena, bersepakatlah
penuh persepsi lalu jadikan diri suci tabula rasa, kriteria tanpa preteks,
terjangkan genus pietas kepada diri sendiri! Uhhhcg!
Nah yang sulitnya Mbah, kita-kita yang hidup ini
selalu saja menjunjung kata benci. Sampai batas penantian yang tiada ujung,
tiada pangkal dari kebosanan, membahana dendam dera membathin sukma, memurkai
sederab peristiwa-peristiwa sua demi sua. Lalu, selalu saja kita berujar, benci
aku padamu!
Ya sadarilah bahwa sesungguhnya kita akan lebur
wahai cucuku. Pada saatnya bumikan hancur, pada saatnya badai menggempur, pada
saatnya dunia telah luka, pada saatnya hari kiamat tiba, siapakah penghuni alam
semesta? Merenunglah, cucuku, bisikkan dalam khayal nyata, azal sesungguhnya
sudah mengikuti diri, berbaktilah kepada perintah yang kuasa, sebab hidup ini
sementara adanya, hidup ini ibaratkan indekost, pahamkah kau?
Mbah, orang-orang selalu berkata apa yang
dikehendaki oleh kita, orang-orang juga berkata apa saja suka duka kita,
adakalanya mencemoohkan kita, mungkin kita dan ia juga, berikut iri dan dengki
di sana-sini pesat bagaikan cendawan, juga dalam prestasi karir maupun
kedudukan, baik pribadi maupun penyakit cemburu yang tak pernah puas-puas itu.
Maka, untuk sementara, kita sebut saja orang-orang itu adalah penyakit dan
penyakit itu adalah orang-orang yang tak memiliki akal. Nah itu pun apabila
sepi dan resah menghampiri.
Lihat buktinya, Mbah….bencana di mana-mana. Hiruk
pikuk dan huru-hara, propaganda, memperkosa dan diperkosa haknya, walau
hingar-bingar yang reaksinya memutar, bahkan diputar penuh kelakar. Bencana di
mata hati kita sudah….ia bergelayut dalam segala pundi-pundi. Noktah ini!
Cucuku… nafas yang tiada tentu denyut dan
berhentinya, maafkanlah segala semboyan yang masih simpang siur silih berganti.
Mengalir sajalah…larutlah kita seperti air yang mengalir itu, tiada henti
mendekap ketentuan serta lebih baik atau sebaiknya kita berbuat tidak ada kata
pasrah, bukan pasrah mendarah daging, sadari itu dan pahami arus kuat aliran
air yang mengalir itu. Karena, bagaimanapun juga, nanti, pada saatnya, kita
juga akan tergila-gila oleh kenikmatan waktu. Pada hal, yang kita lihat itu tak
cantik rupawan, akan tetapi karena di wajahnya ada bintang, ada kemenangan dan
ada yang kita suka, justru bayangkanlah bintang dari segala bintang yang
tercantik, kalau perlu yang ultra cantik. Sebab disegala penjuru dunia ini,
masih ada lagi yang terpenting dari yang sangat penting. Maka bersatulah kita,
bersabarlah kita, anggaplah nyanyian semata, bak seindah pelangi yang
membentang dan semanis senyummu kau warna warni juwita.
Kita akan rindu, cucuku….kita akan cemburu
cucuku….kita akan mampu. Justru bersatulah dalam hidup yang abadi, nanti,
apapun yang akan terjadi. Semua kita pikul bersama, setuju!
Ya…aku setuju, Mbah….namun malam ini suasana
sungguh sepi mencekam, bahkan sungguh mengerikan sekali, Mbah. Dengar…. mari
kita dengarkan suara jangkrik yang memelas mengundang tanya. Dan dengkur kuli
bangunan yang nyenyak pulas di samping kerenda hemperan tanah wakaf. Lihat
juga, Mbah…ada beberapa nasib yang melepas penat, lelah dan penat tuk lusa ia
membingkai waktu, dan sebahagian properti malah terlihat tambal sulam dan
mereka menggenggam sekarung cita-cita. Lalu, ke esok harinya, mereka terbangun
dalam arena pagi yang sungguh hening, kemudian mereka tergelonjak dalam pekik
si jantan yang menggema bertalu-talu.
Sejak temaram mereka di ambang pintu tanya, tak
jarang tercabut nyawa tragis mengerikan, begitulah tantangan kehidupan itu
dilaluinya, Mbah. Walau siang dan malamnya ada pula yang bersemedi, menangis
yang tak pula cengeng merintih akan nasibnya masing-masing, begitu prihatinnya
nafas-nafas ini? Tidak, mbah… justru mereka berjuang untuk bumi sekalian alam. Mereka
bercermin dari keutuhan hidup yang ada. Mereka adalah beberapa nafas mengaduk
reaksi kepada pertiwi, sungguh berbudi dari berjudi atau mencuri hak-hak orang
lain. Sungguh…. ini hakikinya sebuah peradaban sekaligus kepribadian duniawi.
Selain itu kita sendiri yang tahu. (Harian Waspada, 1 Juli 2012)
Ady Harboy Pekerja Seni –Budaya dan Praktisi Media
0 Comments: