Dua puluh satu tahun yang lalu, aku
pernah bercita-cita untuk menimba ilmu di sini, di Jogjakarta. Kala itu aku
baru saja menyelesaikan pendidikan pesantren. Namun, jalan hidup menakdirkan
lain. Keluarga lebih senang jika aku pergi ke Lampung, karena ada beberapa
kerabat yang lebih dulu menetap di Lampung, tepatnya di Kota Metro, menjadi alasan
utama aku harus belajar di kota tersebut. "Ada yang menjaga," begitu
alasan orang tuaku.
Kini, cita-cita untuk belajar di
kota yang dikenal sebagai kota pelajar ini kembali menggelora, meski bukan untuk
aku lagi tentunya, melainkan Rafi, anak sulungku, generasi yang secara tidak langsung telah
memosisikan diri sebagai penerus mimpi-mimpiku, setidaknya sebagai awalan, mimpi
untuk belajar di kota ini.
Rabu sore, pertama kali kami sampai
di Jogja. Rafi yang baru pertama kali datang ke Jogja sudah menegaskan
kecocokannya dengan kota ini. Tiba sore hari, malamnya ia sudah tak sabar
diajak jalan, malam aku mengajaknya untuk nongkrong di Blandongan, tempat para
mahasiswa dan aktivis Jogja sekitar berkumpul menghabiskan malam, sekadar
ngobrol atau nonton film. Keesokan harinya kami jalan-jalan ke Malioboro dan
sekitarnya, malamnya kembali nongkrong hingga dini hari di Legend Coffee, semua dinikmatinya tanpa mengeluh.
Hari Sabtu, (30/12/2017) aku baru
mengajaknya melihat sekolah di mana ia akan menimba ilmu, Muhammadiyah Boarding School (MBS) Prambanan, sebelum memutuskan
untuk menuliskan namanya di formulir pendaftaran, sengaja ku minta salah
seorang ustadz untuk menemani mengecek kondisi asrama, kelas dan lingkungan
MBS, sekaligus menjelaskan berbagai jadwal kegiatan dan aktivitas, dengan
niatan agar tak ada penyesalan dan keluhan ketika kelak ia menjalani studinya
di sini.
Setelah selesai keliling, kembali
ku pastikan apakah ia tak ingin mengubah niatnya? Dengan yakin ia menjawab,
cocok dan ingin segera mengisi formulir pendaftaran, meski sudah dijelaskan konsekuensinya
ia tak bisa langsung ikut belajar di kelas 1 SMA, karena harus ikut kelas
penyesuaian (takhassus) selama satu
tahun, menurutnya tertunda setahun bukanlah masalah.
Usai pendaftaran, aku mengajaknya
untuk jalan-jalan ke Candi Prambanan, sengaja membiarkan berjalan sendiri,
masuk ke dalam candi, sedang aku menungguinya di luar.
Malamnya, tanpa menunjukkan rasa lelah, kami
kembali nongkrong di Kopi Negeri Jurgen hingga menjelang pukul 02.00 dini hari, bertemu kawan-kawan
aktifis dari berbagai latar belakang, FMN, PMII dan HMI. Ia menyimak setiap obrolan
kami, meski ku tahu pasti tak satu pun dari obrolan kami yang dipahaminya,
karena tentu saja obralan kami, bukan obrolan yang lazim dikonsumsi anak usia
14 tahun, namun tetap saja ia menyimak, tak menunjukkan rasa jenuh apalagi
terlihat mengantuk.
Selepas nongkrong, dan kembali
pulang ke tempat oom (paman)-nya,
sebelum tidur dan sebelum menulis catatan ini, aku kembali bertanya, bagaimana
dengan Jogja? Ia hanya menjawab singkat, keren.
Aku tak seberapa paham kedalaman
jawaban keren yang terlontar dari mulutnya itu, aku hanya tahu ia suka dengan
suasana Jogja, dan tentu saja aku menyukai jawaban itu. Hanya itu!
Jogja adalah mimpi masa laluku.
Kini, kembali ke kota ini dengan mimpi baru. Aku berharap ia banyak belajar
tentang banyak hal.
Aku sengaja tak ingin banyak
menanggapi, ketika ia berkomentar soal plang
penunjuk arah yang bisa ditemui di sepanjang jalan Malioboro hingga Tugu
Jogja, dan membandingkannya dengan plang di
Kota Metro, kota tempat ia lahir. Aku tahu, ia sering mendengarku protes soal
penguasa di kota kami yang miskin apresiasi nilai-nilai lokalitas.
Di hari kedua, ia mengulang
komentarnya tatkala kami berkunjung ke Taman Pintar, "Andai di Kota Metro,
shopping dibuat kayak Taman Pintar
ini, dan setiap tulisan-tulisannya dikasi aksara Lampung." Komentarnya.
Aku hanya tersenyum dan segera mengajaknya ke halte Trans Jogja, karena hari telah
hampir gelap.
Jogja adalah gudang kreativitas.
Biarlah ia belajar sendiri, mengapa penting mengapresiasi kebudayaan dan
nilai-nilai lokalitas. Kenapa kreativitas menjadi lebih penting dari segala
materi yang sering mengecoh orang untuk terus berlomba-lomba mengumpulkan dan
menumpuknya. Biarlah ia belajar menemukan jawaban atas segala penasaran dan
tanya yang menumpuk di kepalanya.
Jogja, aku yakin akan memberinya
lebih, tak sekadar gelar kelulusan dan pengetahuan, tetapi juga pengalaman.
Terimakasih buat kawan-kawan,
Rizaul Insan mantan Ketua Cabang FMN Jogjakarta, kawan-kawan dari UIN, anak
pulau dan aktivis PMII yang gagal aku ingat namanya, kawan-kawan HMI dari
Lampung yang kuliah di Jogja, Ikram kerabat yang menyediakan tempat bagi kami. Meskipun aku tak yakin apa yang kalian sampaikan tak semuanya bisa dicerna anakku,
M. Rafi Rausyan Fikri, tapi setidaknya telah berhasil membuatnya penasaran dan
banyak bertanya.
0 Comments: