Jagad teater di
Kota Metro sedang bergeliat. Barangkali kalimat itulah yang cukup refresentatif
untuk bisa menjelaskan eksistensi teater di Kota Metro belakangan ini. Setelah
sukses dengan gelaran Sendratasik (seni, drama, tari dan musik) bertajuk
"Putri Sumur Bandung" di Cafe Mama, pada tanggal 10 Desember 2017
yang lalu, semangat untuk terus menggelar pementasan seakan tak bisa
dihentikan.
Kali ini, acara yang dijuluk Performing Art kolaborasi Sendratasik 16 dan 17 yang mengangkat tema "Nguri Uri" digelar dari tanggal 22 hingga 23 Januari 2018, di Balai Kelurahan Mulyojati. Tak tanggung-tanggung acara tersebut menampilkan 5 (lima) pementasan sekaligus, Cintaku, Cintamu Bukan Cinta Kita, Asmoro Singo Barong, Bhineka Tunggal Ika, Jimat Mbah Tejo dan Jaka Tarub, dirangkai juga dengan pagelaran Parade Tari Nusantara, Tari Saman dan Tari Gambong.
Pementasan
"Sumur Putri Bandung" yang mengangkat historitas lokal Kota Metro,
tentang sumur bersejarah yang dulu menjadi sumber mata air, sumber kehidupan
warga Kota Metro dan sekitarnya, memang sukses menyita perhatian publik. Ada
banyak komentar, apresiasi positif dan harapan gelaran teater akan dilaksanakan
rutin di kota bervisi pendidikan ini.
![]() |
Pementasan Putri Sumur Bandung (10/12/2017) |
Acara pementasan
yang pertama kali digelar di cafe dan ruang terbuka, menjadikan kawan-kawan
pegiat teater dari berbagai kalangan, perguruan tinggi, sekolah hingga
komunitas warga itu, menjadi pionir yang berhasil membawa pementasan teater
melompat keluar dari ruang-ruang tertutup dan eksklusif. Teater hadir ke
hadapan publik dengan sarat pesan, menyampaikan kritik secara santun untuk
perubahan kota, meninggalkan wasiat bahwa untuk melahirkan sejarah baru, tak
perlu harus menghancurkan sejarah lama.
Sosok Putri
Kahyangan yang muram dan sedih, karena sumur tempat biasa ia mandi dan bersenda
gurau, kini tak terurus. Mengirimkan pesan kepada penguasa dan pengambil
kebijakan agar tak abai melibatkan hati dan nurani kala menggalakkan
pembangunan, hingga tak ada luka, tak ada kesedihan yang menimpa siapapun
makhluk di muka bumi ini.
Pamflet Performing Art |
Kini, para
seniman yang turut ambil bagian dalam pementasan Putri Sumur Bandung tersebut
menggelar kembali pentas di ruang publik, di Balai Kelurahan. Meski, barangkali
tak seserius garapan pementasan pertama, karena pentas kali ini adalah bagian
dari ujian semester mata kuliah seni, drama, tari dan musik di Sekolah Tinggi
Ilmu Keguruan (STKIP) Dharma Wacana Kota Metro, tetapi paling tidak pementasan
ini adalah bagian dari spirit dan keberanian dari para pegiat panggung drama
dan teater untuk tampil lebih inklusif,
di depan publik.
Teater tak boleh
hidup dan berputar-putar di sekitar para pegiatnya saja. Ada banyak hal yang
bisa dilakukan dan disampaikan, melalui panggung-panggung kesenian hatta hal-hal yang kelompok lain kadang
tak mampu melakukannya.
"Teater tak
boleh terkungkung dan terkekang, teater harus merdeka. Ada banyak banyak
permasalahan masyarakat Indonesia yang layak menjadi naskah menarik, yang harus
terus disuarakan!" Kata Rachman Sabur, kala waktu.
Andika
'Gundoel' Akan Pentaskan Monolog Topeng
"Hidup
adalah kepalsuan. Sedangkan topeng adalah alat untuk mengekspresikan kepalsuan."
Begitulah Andika Gundoel Septian, pegiat teater yang menjadi sutradara dalam
pementasaran Putri Sumur Bandung, Desember lalu menyatakan ketertarikannya
untuk kembali menyutradarai "Monolog Topeng" karya Rahman Sabur ini,
sekaligus menjadi aktornya.
Rencananya,
Monolog Topeng ini akan dipentaskan tanggal 10 Februari 2018 mendatang di Cafe
Mama. Pemuda gondrong yang akrab disapa Gundoel ini telah mempersiapkannya
jauh-jauh hari. Bolak-balik memastikan tempat dan menatanya menjadi artistik
untuk kepentingan pementasan adalah bagian persiapan penting yang dilakukannya.
Sekali lagi,
Gundoel berusaha untuk membawa teater ke ruang publik. Mengemasnya secara apik
dan layak ditampilkan di tempat nongkrong seperti Cafe. Untuk menghindari kesan
murah dan minimnya apresesiasi, pertunjukan teater Monolog Topeng ini
rencananya akan dibebankan biaya bagi penonton senilai 25 ribu rupiah. Sebuah
angka kecil sebenarnya untuk sebuah karya besar, yang butuh latihan, keseriusan
yang melibatkan rasa dan karsa.
Teater hadir di
ruang publik, tentu memiliki banyak makna. Bukan sekadar hiburan dan
pertunjukan, tetapi selalu menitipkan pesan, tak melulu soal tontonan tetapi
juga tuntunan, di dalamnya ada kritik yang diiring musik. Maka, berterimakasihlah
kita, karena geliat teater yang merambah ruang publik, bisa menikmati hiburan
yang asyik tanpa perlu panik.
0 Comments: