Awal tahun 2018, Senin (1/1/2018)
menjadi perjalanan terpanjang selama seminggu aku berada di Jogja. Jam 10 pagi,
dijemput Rizaul Insan, aktifis progresif asal Pulau Sepanjang yang kini meniti
karir sebagai konsultan di sebuah NGO di Bogor mengajakku berkeliling ke beberapa
tempat. Selain aku dan Rafi, ada Ibrahim yang menjadi guide sekaligus sebagai driver, ada juga Chaves (saya tak paham
betul apakah ana asli atau panggilan saja) bersama seorang temannya.
Tengkleng Gajah, menjadi tempat
perhentian pertama kami. Awalnya, saya bertanya-tanya, kok bisa rumah makan tersebut
menyediakan daging gajah, padahal di Jogja tak ada gajah dan bukankah gajah
binatang yang dilindungi?
Itulah istimenya Jogja, di sini
ada nasi kucing, ada pula tengkleng gajah, meski sebenarnya yang dijual bukan
daging gajah tetapi daging kambing, Begitu penjelasan Uung, panggilan akrab
Rizaul Insan. Istimewanya lagi, rata-rata makanan dan minuman di Jogja juga
terkenal murah.
Selepas dari Tengkleng Gajah, kami
pun melanjutkan perjalanan ke Kopi Klotok. Warung Kopi Klotok Pakem ini berada
di dekat areal persawahan namun masih dekat dengan permukiman penduduk.
Bangunan utama berbentuk joglo limasan kuno. Dengan menghadap ke arah
utara, sesuatu yang tidak biasa karena biasanya joglo limasan menghadap ke
arah selatan atau membelakangi Gunung Merapi.
Setelah berbelok ke jalan gang
Warung Kopi Klotok, aku sudah melihat kepadatan luar biasa, mobil-mobil
berderet memanjang, memenuhi separuh jalan, kami juga harus memarkir mobil di
belokan menuju jalan keluar, kurang lebih 500 meter jauhnya dari area warung.
Padat.
Menurut beberapa pengunjung,
Warung Kopi Klotok tak pernah sepi terutama di akhir pekan dan musim liburan.
Bersyukur kami masih kebagian
tempat duduk di bagian belakang menghadap area pesawahan, meskipun harus antri
beberapa saat. Tempat duduk kami, selalu menjadi pilihan pavorit pengunjung,
karena selain menghadap area pesawahan, jika cuaca tak mendung seperti saat
kami berkunjung kali ini, kami juga bisa menyaksikan keindahan Gunung Merapi.
Nama kopi klotok sendiri dari model penyajian yang sederhana.
Kopi bubuk dimasak dalam panci panas tanpa air. Setelah beraroma
sedikit gosong barulah disiram air hingga mendidih. Dari proses tersebut
munculah nama klotok yang berasal dari bahasa Jawa nglotok atau
mengelupas. Proses mengelupasnya kopi adalah saat air disiramkan ke panci
yang lengket dengan kopi yang dimasak tanpa air tadi.
Kopi klotok menjadi favorit
karena rasa pahit yang pas. Rasa kopi tentunya berbeda dari kopi yang
hanya diseduh dengan air panas, walaupun bubuk kopi yang digunakan sama.
Memasak kopi hingga mendidih tentunya menambah aroma kopi semakin kuat. Kopi
klotok adalah pamor tersendiri bagi warung sederhana. Penyajian sederhana
membuat segelas kopi klotok dihargai juga dengan harga murah meriah.
"Seperti kopi kuda di Metro, Lampung!" Jelas Admin Metro Bergeliat,
yang mengaku sudah pernah juga beberapa kali berkunjung ke Warung Kopi Klotok.
Sayang cuaca tak terlalu
bersahabat, gerimis turun sebelum benar-benar hujan deras mengguyur sekitar.
Pengunjung pun segera masuk ke bagian dalam rumah Joglo. Tak lama, kami pun
harus segera bergeser dan melanjutkan perjalanan, karena hari juga telah menjelang
sore.
Kami pun akhirnya melanjutkan
perjalanan, arah memutar kembali menuju pulang. Melewati UII, UGM dan UIN.
Tapi, kami tak segera pulang, mobil pun diarahkan ke parkir Kopi Joglo.
"Lebih dikenal Joglo Kopas," jelas Ibrahim.
Hal yang istimewa dari Kopi
Joglo, tempat duduk yang berbentuk sofa bisa di-booking senilai 10 hingga 15 ribu, dan tempatnya bisa dikuasai sampai warung kopi
tutup, bahkan bisa digunakan sebagai tempat tidur.
"Banyak mahasiswa tidur di
sini, dengan modal 10-15 ribu dan segelas kopi mereka mulai siang hingga pukul
4 pagi, menghabiskan waktu di sini." Ujar Uung yang diaminkan Ibrahim.
Di Kopi Joglo, kami pun akhirnya booking dua tempat sekaligus, karena
beberapa teman akan datang. Aktifis senior seperti Om Imam, Momo, Kholid dan
Yogo, serta beberapa yang lain kawan
dari Uung, Chaves dan Ibrahim ikut bergabung. Kami pun berdiskusi berbagai
tema, mulai soal gerakan hingga lingkungan.
Tak terasa, jarum jam telah
menunjuk Pukul 01.00 dini hari. Rafi yang sedari awal tak terlibat dalam
obrolan kami terlihat mulai suntuk. Aku pun pamit lebih awal. Dihantarkan
Ibrahim, diperjalanan saya mendengarkan Ia bercerita bagaimana sejarah kopi
tumbuh hingga menjadi tren di
kalangan mahasiswa.
"Dulu, tak banyak orang suka
kopi di Jogja, mungkin yang dikenal hanya Kopi Jos, tapi kopi tersebut tak
terlalu akrab di lidah mahasiswa daerah, terutama mahasiswa dari Jawa Timur.
Hingga akhirnya, Badrun, Mahasiswa UIN (dulu IAIN) berinisiatif membuat warung
kopi."
Ide membuka warung kopi,
tiba-tiba muncul begitu saja dalam pikiran Badrun. Diawali dari kebiasaannya nongkrong di
Blandongan sambil menikmati kopi, kopi yang dibawa dari daerahnya, Gresik, dan
dinikmati bersama teman-temanya. Waktu itu sekitar tahun 2000.
Kopi Blandongan yang dirintis
Badrun, saat ini terletak di Jalan Sorowajan Baru No. 11, Desa Sorowajan Lama,
Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Lokasi ini adalah lokasi ketiga Blandongan.
"Kopi Blondongan adalah
perintis, semua kopi di sini hampir semuanya mengikuti jejak Blandangan, dari
Blandonganlah semunya belajar dan akhirnya tempat kopi di Jogja menjamur,"
cerita Badrun.
Begitulah tradisi aktivitas
meminum kopi di Jogja membuka jalan bagi sebuah budaya yang telah dikenal di
tempat lain. Sebuah aktivitas yang kemudian menjalin interaksi orang-orang yang
barangkali tak pernah bertemu sebelumnya. Lebih penting lagi, Badrun dan
kawan-kawannya di Blandongan, telah membuka jalan bagi tradisi "ngopi"
tersebut. Dan, saya harus berterimakasih, karena jasanya itu, berkesempatan
mencicipi berbagai jenis kopi, dari Kopi Jos yang fenomenal itu ketika
berkunjung ke Malioboro, atau Espresso Double di Kopi Negeri Jurgen, V-60 di
Coffe Legend, Kopi Klotok di Warung Kopi Klotok hingga Arabica Toraja di Joglo
Kopi.
Terimakasih buat adik sekaligus
sahabatku dari pulau, Rizaul Insan yang telah bersedia menemani, mengajak dan
bertemu para aktivis yang progresif. Ternyata masih banyak anak-anak pulau yang
membanggakan karena kecintaannya pada buku dan pengetahuan.
Salam buat kawan-kawan.
Comments
Post a Comment