Membaca buku Hiper-realitas
Kebudayaan karya Yasraf Amir Piliang mengharuskanku berefleksi, apakah
dunia sekitar ini nyata dan apa adanya? Gerak laku, aku, kamu, kita dan
orang-orang yang kita temui setiap hari hatta
orang terdekat sekalipun, apakah gerak dan lakunya autentik, atau hanya sekadar
seolah-olah autentik?
O, tentu saja kita harus percaya bahwa orisinalitas
sikap itu selalu lahir dari laku-laku yang tanpa pamrih, termasuk pamrih untuk
diakui sebagai tanpa pamrih. Memberi tanpa harus meminta kembali, atau berharap
balasan diberi, melakukan kebajikan tanpa harus berharap diperlakukan bajik,
karena tugas kita adalah memberi, berbuat kebajikan, bukan meminta dan menuntut
kebajikan, apatah lagi sampai memaksa orang lain memberi dan berbuat baik
kepada kita.
Tapi, benarkah segala sikap masih asli tanpa
kepura-puraan, tanpa bohong, tanpa topeng? Benar kecuali yang tak benar.
Apakah kebenaran memerlukan pengakuan, baru bisa
dikatakan kebenaran? Apakah kebajikan perlu dideklarasikan sehingga baru
menjadi bajik? Apakah kebenaran dan kebajikan menjadi tidak benar dan tidak
bajik, jika tak diakui sebagai kebenaran dan kebajikan? Apakah segalanya memang
harus divoting, sehingga jumlah terbanyak yang menjadi penentu benar atau
tidak, bajik atau tidak bajik?
Ada banyak sikap kita atau tontonan lelaku manusia
di sekitar kita, yang selalu mengiklankan kebajikan dan kehebatannya? Tanpa
kita sadari, ini sebenarnya penegas keraguan kita terhadap 'hebat' dan
'baik'nya diri kita, sehingga tak puas rasanya jika kehebatan dan kebaikan itu
tak diaminkan koor oleh orang lain.
Tingginya tingkat kebutuhan terhadap pengakuan orang
lain itulah, yang membuat kita rela membayar mahal, bukan hanya dengan banyaknya
materi tapi juga dengan mengorbankan separuh kewarasan, merendahkan orang lain
hanya untuk diakui tinggi, menyatakan orang lain goblok, hanya untuk terlihat
pintar, mengatakan kelompok lain intoleran hanya agar diakui bahwa kita toleran
dan demokratis, bahkan tak jarang kita 'berpura-pura' merendah hanya untuk
sekadar butuh pengukuhan memiliki ketinggian pekerti.
Aku teringat apa yang pernah ditulis oleh Fukuyuma,
dalam The End of History and The Last Man,
bahwa kini memang ada
banyak realitas sosial yang semu, realitas yang seolah-olah , seolah-olah
demokratis, seolah-olah partisipatif, seolah-olah sejahtera, seolah-olah maju
dan modern tetapi isinya kropos dan kosong.
Jean Baudrillard dalam buku Galaksi
Simulacra mengistilahkannya sebagai "all that is
real becomes simulation”, semua yang nyata adalah simulasi. Namun, tentu saja itu adalah
pandangan nihilisme, yang tak perlu diimani, cukup diposisikan sebagai perapian
untuk menghangatkan nalar agar lebih cair dan jernih memandang realitas
kebudayaan kini.
Menurut Jean Baudrillard, Simulacra
yakni fenomena yang tak
lebih dari sekadar iring-iringan tiruan
atau model-model realitas yang tidak berkaitan sama sekali dengan realitas
sesungguhnya, atau dalam istilah Yasraf Amir Piliang sebagai momentum di mana kebenaran (truth) diambil
alih oleh kebenaran-kebenaran yang bersifat fiktif, retoris dan palsu (pseudotruth),
di dalamnya perbedaan antara benar dan salah, kenyataan dan ilusi dibuat
menjadi samar-samar, kebenaran tidak bisa lagi dibedakan dengan topeng kebenaran."
Kita bisa bayangkan, penguasa yang
sebenarnya lebih layak dicurigai menyimpang karena mengelola uang rakyat, bisa setiap saat menuding
rakyatlah yang layak
dicurigai bahkan dituduh sebagai sumber
kejumudan, kekumuhan dan keterbelakangan dari sebuah kota, seolah-olah rakyat yang tidak menyetujui program
pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah adalah anti kemajuan dan bisa
dituding sebagai anti pembangunan.
Padahal kan wajar saja rakyat bertanya,
pembangunan itu untuk siapa? Kok rasa-rasanya warga kota tak terlalu perlu
gedung seharga 41 milyar, lagian toh kalau
butuh memang kuat sewa? Warga butuh trotoarnya bagus, drainasenya tidak tersumbat supaya tak banjir ketika hujan deras.
Tapi,
membangun yang tak terlihat wah meski
norak itu sepertinya tak afdhal. Dunia sudah
terlanjur dibentuk
oleh permainan citra (game of image), retorika serta trik pengelabuan
informasi. Menggunakan topeng-topeng kesucian ketika berada di tempat suci,
kedok-kedok kerakyatan ketika berada di tengah-tengah rakyat, kamuflase
demokrasi ketika berada di tengah massa. Sok lugu dan bego jika diprotes, tetapi
sebenarnya cuek dan masabodo dengan
keluhan rakyat!
"Persis
seperti bandot tua!" Aku, kaget, entah suara darimana. Jarum jam di
depanku menunjuk ke angka 11.51 malam. Aku tak percaya hantu, tapi aku percaya
ada banyak topeng. Itulah salah satu alasan, pada tanggal 10 Februari nanti,
aku pasti duduk di bagian depan menyaksilan si Gundoel memerankan "Monolog
Topeng" di Cafe Mama.
Tapi,
sebelum menyaksikan pertunjukan tersebut, saya ingin menyampaikan bagaimana
topeng-topeng di sekitar kita memproduksi citra-citra palsu melalui tiga
mesin.
Pertama, mesin simalacrum (simalacrum
machine). Mesin yang memproduksi model realitas yang sepintas tampak nyata.
Realitas disembunyikan di balik citra realitas (image of reality),
sehingga antara “model” dan “kenyataan” tak dapat lagi dibedakan,
bersembunyi di balik topeng.
Bahkan,
jika diperhatikan baik-baik, tak jarang justeru topengnya malah lebih
tampan daripada orang di balik topengnya, tak percaya datang saja tanggal 10
Februari, pada acara serap aspirasi atau musyawarah perencanaan pembangunan, agar
tahu bagaimana daftar belanja (shopping
list)kekuasaan yang seolah-olah disusun sangat demokratis itu cover-nya lebih baik dari isinya, kalau
ke Cafe Mama datangnya jangan lupa membawa uang di dompet minimal 35 ribu, agar
bisa menonton Monolog Topeng.
Kedua, melalui mesin kepalsuan (pseudo
machine). Mesin ini memproduksi iklim kepura-puraan (pseudo) atau
seolah-olah (as if), biasanya hal ini sering terjadi dalam dunia
pertelevisian kita, artis A seolah-olah ribut dengan artis B, kepentingannya
untuk menaikkan rating, atau menarik perhatian penonton untuk mengikuti
sinetron atau film tertentu. Nah, di kota kita mesin
kepalsuan ini bisa dilihat dari fenomena penetapan zona bebas korupsi atau pembentukan “saber pungli” sehingga
pesannya sampai ke publik di kota ini tak ada korupsi, seolah-olah memang tidak ada
pungli.
Ini sama
seperti kelakuan kawanku, untuk mengaburkan suara kentutnya biasanya dia akan bicara dan tertawa
lebih keras. Seakan-akan ia semangat terlibat dalam diskusi, padahal, mulai
dari urusan seragam sekolah, setoran proyek, setoran untuk posisi jabatan
tertentu hinga posisi kepala sekolah dia kentutin.
Ketiga, yang tak kalah
berbahayanya. yaitu mesin
disinformasi (disinformation machine). Mereka memproduksi distorsi informasi
dan informasi yang dipelintir (twisting of meaning). Jadi mereka akan
tampil di media dengan kesan yang sangat baik, sembari mengancam mendia-media
yang kritis dengan ancaman stop berlangganan, stop iklan! Maka tambah jadilah
dunia dibuatnya jungkir balik
Namanya
penguasa, mereka punya segalanya untuk bisa selalu mencitrakan diri positif,
baik, suci dan demokratis.
0 Comments: