Malam itu, bulan maksimal menyinarkan cahayanya di pulau
kami. Suasana menjadi terang. Selepas Isya, orang-orang pulau yang biasanya
sudah berada di balik selimut, justeru memenuhi depan rumah masing-masing,
anak-anak berkejaran hingga tengah. Sebagian mereka bermain lelembotan,
petak umpat. Sebagian lagi bebentengan.
Pulau kami akan lebih ramai lagi, jika tersiar kabar akan
terjadi bulan enta rau, gerhana bulan. Meskipun ada mitos yang
dibangun, bahwa raksasa bernama rau akan keluar dan memakan bulan, tak
sedikit pun menyurutku orang-orang pulau untuk menunggu dan menyaksikannya.
Puncaknya, saat bulan sedikit demi sedikit dimakan rau (tertutup cahanya),
orang-orang pulau secara serentak akan membunyikan apa saja yang ada di sekitar
mereka. Ibu-ibu akan mengambil alu, dan menumbuk lesung sehingga menimbalkan
irama bertalu-talu yang teratur, sedangkan bapak-bapak akan membunyikan
kentongan yang terbuat dari batang bambu besar. Anak-anak segera di minta masuk
ke dalam rumah, dan dalam sekejap pulau kembali menjadi gelap dan hening.
Namun, malam itu bukanlah malam gerhana bulan. Enci
(sebutanku untuk Bapak) menyuruhku tak tidur terlalu larut malam. Biasanya
menjelang pagi, sekira sejam sebelum subuh, bulan purnama sudah condong ke
sebelah barat. Jika Enci menyuruhku buru-buru tidur, itu berarti ia punya
rencana mengajakku nyulu, mencari ikan dengan menggunakan tombak.
Nyulu sebenarnya, tidak hanya dilakukan oleh orang pulau
kami menjelang subuh, selepas isya, atau menjelang tengah malam juga bisa. Ada
yang biasanya mengajak keluarga dan anak-anaknya, ada juga yang berangkat
bersama teman-temannya.
Kegiatan nyulu di pulau kami, dulunya tak menggunakan
sampan atau perahu kecil, hanya berjalan sesekali menyelam dan membidik ikan dengan
senapan ikan yang dibuat secara tradisional. Ikan yang disulu, juga
biasanya agak beda dengan ikan yang biasa dipancing, seperti sunu, bilaus,
kutambak dan beberapa ikan lain, meski beberapa diantaranya tetap sama. Dari
kebiasaan nyulu itu jugalah aku paham, bahwa ikan yang diperoleh malam hari di
pulau kami, ternyata lebih gurih dan lezat daripada ikan yang dipancing di
siang hari.
***
Ketika bulan tengah asyik menyelinap di antara
serombongan awan tipis, cahanya tampias menembus pohon-pohon pisang dekat
rumah, membuat suasana penghujung malam menjadi temaram. Sementara suara
jangkrik terputus-putus mendengar suara kaki penduduk pulau yang telah terjaga
dan baru akan memulai aktivitas melaut. Enci telah menyalakan janno pet, petromaks,
menyiapkan senapan ikan, tombak, ember dan sebuah sarappo, kacamata
untuk menyelam yang dibuat dari kayu dengan kaca sisa dari kaca lemari atau
jendela yang sudah tidak terpakai, bertali karet ban bekas, sehingga menyerupai
seperti kacamata tukang las.
Aku membawa ember dan sebilah tombak ikan. Menuruni
tangga dan berjalan di belakang Enci. Di kejauhan sebuah cahaya bergerak ke
arah laut, seperti kunang-kunang. Itu pasti tetanggaku yang akrab dipanggil
Jelli, aku lupa nama aslinya. Sosok dengan perawakan sedang tapi berotot itu
tengah bersiap diri menenteng perkakas lengkap, bersama lampu senter di
tangannya, dia adalah pelaut ulung.
Jelli, lebih sering menghabiskan waktunya di tengah laut.
Bangun sebelum subuh, untuk pergi menyulu. Pulang menjelang subuh, mandi dan segera
ke langgar dekat rumah. Selepas subuh ia biasanya langsung mengurus
beberapa peliharaan ternak milik beberapa orang di pulau kami yang dipercayakan
kepadanya untuk diurus. Setelah semua urusan ternak itu selesai, ia pasti
langsung bersiap kembali ke laut hingga menjelang magrib. Begitulah seterusnya,
hingga akhirnya ia meninggal.
Meninggalnya juga di laut. Suatu hari ia ikut perahu
bersama rombongan untuk nebbe ke Bungin,
gundukan pasir putih yang hanya muncul saat laut surut. Letaknya, lumayan jauh
dari pulau kami. Ia meninggal ketika perjalanan pulang, tepat tengah malam. Ketika itu, ombak lumayan besar,
sehingga membuat penumpang yang kelelahan memilih untuk tidur di dalam lambung
perahu. Menurut perkiraan mereka, Jelli yang saat itu hendak kencing di bagian
belakang kapal terjatuh dan tak ada yang tahu, mereka baru sadar setelah
perjalanan hampir tiba di pulau kami dan Jelli tidak ada, perahu berputar
haluan, mencari Jelli yang terjatuh, namun sayang, jasad Jelli tak juga
ditemukan hingga kini, bertahun-tahun setelah kejadian itu.
"Dengan siapa? Mau ke arah mana nyulunya?" Tanya Enci menggunakan bahasa Same, begitu kami
berhasil menyusul Jelli, tepat ketika tiba di pantai.
"Saya ke arah utara saja," jawab Jelli.
"Hati-hati, banyak kiampau dan kaleppo!"
Teriak Enci, mengingatkan bahwa laut pulau kami bagian utara memang banyak
binatang laut yang berbisa seperti kaleppo,
binatang yang cangkangnya seperti batu dan memiliki bisa mematikan, banyak
juga kiampau, ikan paru yang ekornya
juga sangat berbahaya.
Kami pun akhirnya berpisah, kami menyusuri tepi laut yang
airnya hampir surut. Ada beberapa cahaya lampu yang tersebar hampir di setiap
titik pinggir laut, pastilah para warga yang juga sedang melakukan aktivitas
nyulu seperti kami.
Dari pertengahan bulan hingga akhir bulan hijriyah, laut pulau
kami di sepertiga malamnya memang ramai dengan para panyulu. Ada yang pergi nyulu
untuk mendapatkan ikan dalam jumlah besar, seperti Jelli, hasilnya untuk
dijual. Ada juga yang seperti Enci, sekadar untuk memenuhi lauk keluarga dalam
sehari.
Begitulah bagi sebagian warga pulau kami, aktivitas nyulu bukan sekadar sampingan tapi bisa
juga menjadi aktivitas utama.
Tapi bagi anak-anak seperti aku, aktivitas nyulu ini adalah ajang refreshing. Turun
ke laut, ikut merasakan hangat air laut
begitu badan terendam dan dingin luar biasa begitu keluar dari air, adalah
keberkahan tersendiri. Kaki bergumpal menjamahi lumpur laut sehingga sepatu
'khusus' untuk melaut seringkali tertinggal, tertanam di lumpur akan menjadi
kesan tak ternilai. Tapi, harus hati-hati, lumpur biasanya tempat yang
disenangi kiampau, maka cara terbaik dan
aman adalah mengambil bekas tapak kaki Enci.
"Berjalan di gelapnya malam menumbuhkan naluri
kemandirian, melangkah waspada akan menjadi terbiasa menghadapai kesulitan
dalam hidup. Terbiasa dan terlatih mengangkat dan meletakkan kaki kembali pada
tanah berlumpur di dasar laut, adalah latihan hidup, bahwa pulang dan pergi,
mengangkat dan menapakkan diri di bumi mana saja, punya cara, punya etika dan
harus hati-hati!" Begitu Emak mengajarkan maknanya.
Bukan hal yang mudah memang aktivitas nyulu, butuh badan yang kuat untuk
menahan dingin, butuh kejelian dalam melihat ikan tangkapan, perlu fokus untuk
menghunjamkan tombak. Mungkin hasil tangkapan nyulu tak seberapa, tapi perburuan adalah usaha melihat dan
menemukan peluang dalam tradisi nyulu itulah
yang menjadi lebih berharga untuk dinikmati.
Bagi banyak orang, barangkali malam adalah tempat untuk melepas
penat setelah seharian mengarungi hidup yang berat. Tapi bagi panyulu, malam adalah waktu untuk terus
mengintip dan berburu rezeki. Panyulu
mencipta ruang baru di setiap bibir laut, setiap teluk, bahwa laut bukan hanya
soal samudera luas, tapi lebih dari itu, ada tradisi dan ada banyak kearifan di
sana.
Langit malam semakin berpendar kemerahan, sebentar lagi
fajar segera tiba. Lamat-lamat dari kejauhan suara tilawah telah terdengar dari pengeras suara langgar, rupanya Jelli
telah pulang duluan.
Lantunan itu memberi isyarat kepada kami untuk bergegas
mengakhiri aktivitas nyulu. Langit
fajar menuju pagi persis di pertengahan bulan ini menjadi saksi. bahwa hasil bukanlah
yang utama bagi Jelli, ia tetap harus pulang menjalankan tugasnya sebagai
penyeru untuk membangunkan orang-orang agar datang ke langgar, menunaikan salat subuh.
Hasil nyulu diserahkan
pada istri, disisihkan sebagian untuk
menjadi lauk, dan sisanya ditawarkan kepada tetangga tetangga atau warga pulau
yang tak memiliki lauk, dibarter dengan kelapa, telur atau hasil bumi yang
lain. Hasil nyulu tetap bisa dinikmati siapa saja.
Jelang Magrib (malas baca dan edit)
Metro, 21/1/2018
0 Comments: