Belakangan
ini saya seringkali mendengar guyonan lepas beberapa kawan-kawan, "...Jangan terlalu lama main di luar, entar lupa
jalan pulang! Segera kembali ke rumah."
Atau kalimat, "...Jika sudah lelah
bermain, pulanglah ke rumahmu!"
Tentu saja, itu hanyalah ungkapan bercanda kawan satu terhadap beberapa kawan lainnya yang belum menentukan sikap dan pilihannya untuk memilih atau menjadi tim sukses. Seringkali ungkapan serupa juga ditimpakan kepada kawan yang berbeda pilihan dan kebetulan minoritas dalam sebuah kelompok obrolan sesama pegiat politik.
Tentu saja, itu hanyalah ungkapan bercanda kawan satu terhadap beberapa kawan lainnya yang belum menentukan sikap dan pilihannya untuk memilih atau menjadi tim sukses. Seringkali ungkapan serupa juga ditimpakan kepada kawan yang berbeda pilihan dan kebetulan minoritas dalam sebuah kelompok obrolan sesama pegiat politik.
Ala kulli hal,
terlepas dari perbincangan politik, siapapun setuju bahwa tempat terbaik untuk
kembali adalah rumah. Tuhan membuat tamsil
bahwa rumah yang menjadi tempat terbaik untuk kembali adalah darul akhirat, dalam beberapa teks suci
seruan untuk menapaki jalan kembali ke darul
akhirah itu, mesti melalui beberapa anak tangga, bersegera kembali kepada
permaafan Tuhan dan keridhaan-Nya, adalah beberapa anak tangga yang
dipersyaratkan untuk sampai ke dalam rumah sebagai tempat kembali yang
menenangkan itu.
Memaknai
rumah memang tidaklah
sesederhana pengertiannya, apalagi sesedarhana obrolan politik yang padat kepentingan. Ada puluhan penggunaan kata rumah dengan
berbagai makna sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Rumah,
kadang diartikan sebagai tempat tinggal, tetapi rumah tidak selalu bermakna
tempat tinggal, sehingga untuk menegaskannya tak jarang orang kemudian menyebut
rumah tinggal, sebagai cara untuk membedakannya dari rumah-rumah yang ditujukan
untuk kegiatan, seperti rumah makan, rumah baca, rumah duka, rumah ibadah,
rumah jagal atau rumah produksi. Ada juga rumah dengan makna kiasan, seperti
rumah sakit atau rumah tangga, selain kita juga mengenal istilah rumah dinas,
rumah kost, rumah yatim piatu hingga rumah tahanan.
Akan
bertambah banyak lagi pemaknaan tentang rumah ketika dihubungkan dengan
keragaman suku dan budaya Indonesia, masing-masing daerah memiliki bentuk dan
karakter rumah adat, seperti rumah panjang, rumah panggung, rumah gadang atau
dalam lokalitas Lampung, dikenal juga istilah nuwo dan lamban, yang bisa
dimaknai juga dengan rumah, nuwo agung, nuwo budaya, lamban kuning, lamban
sastra dan seterusnya.
Reyner
Banham & Francois Dallegret, menulis a home is not a house. Dalam
bahasa Inggris, home dan house memang dibedakan artinya, mungkin
serupa rumah dan omah. Home biasanya untuk menjelaskan sebuah tempat dimana
kita merasa nyaman di dalamnya, meskipun itu bukan sebuah rumah (bangunan
fisik). Seperti halnya Tarzan yang mengatakan “hutan” sebagai rumahnya (Jungle
is Tarzan’s Home), dan house digunakan jika hal yang dimaksudkan adalah
rumah yang sebenarnya (dan ada bangunan dalam bentuk fisik).
Rumah,
memang bukan lagi secara sederhana bisa dimaknai hunian, tempat tinggal atau tempat
melepas penat, rumah bahkan lebih jauh telah menjelma menjadi identitas baru,
sebagai sekadar properti yang mengunggulkan nilai ekonomi dan mulai
menanggalkan makna psikologis dan filosofis, rumah mulai kehilangan cultural-value
bertransformasi menjadi ecomic-capitalism.
Dulu, kita
masih sering menjumpai rumah panggung yang berjejer dengan bentuk yang sama,
sebuah petunjuk betapa nilai-nilai kebersamaan, egalitarian dan sikap tenggang
rasa begitu terjaga dan dijaga oleh leluhur kita, jika pun si pemilik rumah
hendak memberi sentuhan, biasanya pada isi (bagian dalam) rumah, sisi
interiornya.
Kiwari, sisi
terpenting rumah adalah eksterior, karena hal tersebut terkait dengan
eksistensi si pemilik, identitas dan kelas sosialnya. Tak heran, trend
membangun rumah sering tak mengindahkan lingkungan dan efek resapan air,
mengeksploitasi lahan dan memenuhi ruang-ruang bumi dengan kedok arsitektur dan hunian, rumah adalah pamor dan rasa percaya diri.
Ironisnya,
setelah dibangun rumah-rumah tersebut justeru jarang ditempati para pemiliknya,
mereka lebih banyak menghabiskan waktu di jalan, di kantor dan di tempat-tempat
kerja, berburu materi untuk biaya perawatan rumah, mengumpulkan banyak dana
untuk membongkar dan mendesain ulang, memperindah dan mempercantik kembali,
sehingga tampilan rumahnya tak dinilai orang kurang up to date
(kekinian).
Rumah, yang
lebih banyak ditunggui dan dinikmati oleh pembantu yang dibayar untuk merawat
atau mengasuh anak si pemilik rumah, alih-alih menjadi surga (baiti jannati),
yang ada justeru rumah terkesan memperbudak tuannya untuk merawat dan menjaga eksterior
dan estetikanya.
Modernitas
berhasil menggerus filosofis dan nilai-nilai asasi yang fundamental dari rumah,
bahkan rumah seolah telah kehilangan kesejatian fungsinya. Di titik ini, sangat
penting untuk merenung, menemukan kembali autentisitas di tengah hiruk pikuk
dan kebisingan modernitas, bahwa pada dasarnya filosofi hidup yang paling baik
bukanlah mengambil sebanyak-banyaknya, tetapi mengambil secukupnya dari
dunia/alam, termasuk merenung kembali sembari menggugat, “untuk apa rumah
dibuat mewah dan megah, padahal kita sesungguhnya memiliki jarak secara
psikologis dengan rumah yang kita bangun.”
Meskipun,
tentu saja setiap orang berhak bermimpi, membangun rumah bak istana, sebagaimana
mimpi yang didendangkan Meggy Z, dalam lagu “Gubuk Bambu”.
Di dalam
gubuk bambu/Tempat tinggalku/Di sini kurenungi nasib diriku
Di dalam gubuk bambu/Suka dukaku/Di sini kudendangkan sejuta rasa
Kuhapuskan derita dan air mata/Kunyanyikan selalu lagu ceria
Kupasrah dan berdoa/Tak putus asa/Suatu saat nanti/Nasib berubah
Kucing pun menari/Mengajak ku bercanda/Hati riang membuatku bahagia
Siang dan malam/Aku membanting tulang/Demi untuk hidup di masa depan
Aku yakin dan ku percaya/Nanti si gubuk bambu jadi istana.
Di dalam gubuk bambu/Suka dukaku/Di sini kudendangkan sejuta rasa
Kuhapuskan derita dan air mata/Kunyanyikan selalu lagu ceria
Kupasrah dan berdoa/Tak putus asa/Suatu saat nanti/Nasib berubah
Kucing pun menari/Mengajak ku bercanda/Hati riang membuatku bahagia
Siang dan malam/Aku membanting tulang/Demi untuk hidup di masa depan
Aku yakin dan ku percaya/Nanti si gubuk bambu jadi istana.
Meggy Z,
mungkin juga kebanyakan orang menganggap bahwa istana adalah tempat yang lebih
menjanjikan kebahagian daripada gubuk bambu. Tetapi, baiknya kita juga
mengingat istana Versailles yang megah dan mewah milik Marie Antoinette di
Prancis, siapa sangka justeru Marie lebih senang tinggal disebuah gubuk yang
bernama Hameu de la Raine, gubuk
itulah yang justeru menjadi tempat istirahat bagi Marie dari kehidupan istana
yang melelahkan.
Gubuk Hameu de la Raine, yang dulunya menjadi bagian
dari halaman Istana Versailles, kini terpisah dengan istana dan harus ditempuh
dengan kereta karena jauh, adalah tempat Marie menghabiskan waktu berhari-hari.
Di gubuk tersebut juga terdapat tulisan ‘rumah merenung Marie Antoinette’. Tak
ada yang tahu pasti, apa yang direnunginya, entah merenungi diri sebagai pengkhianat
cinta suaminya dan mata-mata sebagaimana yang dituduhkan kepadanya adalah
misteri yang tak pernah terpecahkan hingga kini.
Namun,
paling tidak Marie dan gubuknya Hameu de
la Raine mengajarkan kepada kita, bahwa bukanlah istana yang melainkan
tempat yang nyaman, a home is not a house, tempat merenung dan tempat kembali menyemai
asa dan kebahagiaan. Rumah adalah mikro kosmos dari sebuah keluarga, semua (?)
pasti (ingin) pulang ke rumah induk, rumah leluhur, tempat berkumpul, di mana
harmonis, rindu dan cinta dibangun.
Di ata
segalanya, rumah yang di dalamnya senantiasa ada cinta, rindu, harmoni,
kesetiaan dan kemanusiaan sebenarnya dalam kehidupan ini adalah nurani, di mana
kesempitan bisa berubah menjadi kelapangan, gubuk menjadi istana.
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
Comments
Post a Comment