Hari ini, Bangun tidur menjelang siang, saya cukup
terperanjat begitu membuka facebook dan menyaksikan kawan saya makan beling. Bukan soal kehebatan dan unjuk
kesaktian yang dipertontonkannya lewat video dan diunggah di media sosial
tersebut. Namun, soal ada apa dengan kawan ini, yang saya kenal sabar, tak
aneh-aneh dan tak pernah buat masalah.
Setelah
saya telusuri beragam komentar, ternyata masalahnya adalah soal pro-kontra kehadiran
grab, salah satu ojek online di Kota Metro. Konon, hadirnya grab, banyak merugikan ojek online lokal yang sudah lebih awal hadir di Kota Metro, sehingga pemilik ojek online lokal ini berkirim surat ke Walikota
Metro untuk melarang atau menolak keberadaan grab, gojek dan uber.
Dan, apesnya, dengan dalih belum ada izin dan khawatir terjadi bentrokan,
pemerintah kota secara serempak dengan polres Kota Metro, mengabukan permohoan
itu.
"Alih-alih
menyediakan lapangan kerja, orang yang sudah bekerja saja dilarang. Memang
lebih baik hidup tanpa pemerintah!" Beberapa komentar orang sebagai penyikapan
atas kebikan tersebut. "Apa rakyat suruh makan beling?" Tulis kawanku
tadi, sembari memamerkan videonya sedang makan beling.
Barangkali,
memang kita sedang dalam ujian besar. Di mana ada banyak pejabat yang dibiayai
(dibayar berlipat Upah Minimum Kota), dari retribusi dan pajak rakyat (sebagian
mungkin dari hutang luar negeri juga), untuk mengelola dana pembangunan agar
bisa dinikmati rakyat, tetapi justeri mengelola negara, daerah dan kota justeru
berdasarkan selera sendiri, selera kerabat dekat.
Tak
pernah ada keinginan bertanya sebelum merealisasikan pembangunan, urgensi
(penting dan kemendesakannya) untuk rakyat di mana? Semisal membangun gedung
mewah hingga menelan biaya 41 milyar, menghiasi puluhan atau bahkan ratusan
jembatan dengan lampu dan cat warna-warni, untuk menyebut beberapa amsal,
pembangunan untuk siapa? Hanya untuk penyedap mata sajakah, sementara perut
rakyat tetap kerontang?
Saya
sedikit geli, mendengar sambutan penguasa soal visi kota pendidikan dan wisata
keluarga berbasis ekonomi kerakyatan. Berbusa-busa, sampai ujung bibirnya menyempil warna putih. Barangkali
dia sedang berpikir, masyarakat yang rajin membuat kripik singkong, beternak
lele, membuat geribik dan berbagai kerajinan lainnya, adalah hasil dari visi
kota tersebut, sementara ia justeru mempermudah perizinan tumbuhnya toko-toko
ritel dan ruko di kota ini. Alamak..
Namun, ya
sudahlah. Benarlah senior di sebelah saya yang berbisik, kota ini justeru lebih
bagus tanpa penguasa. Jadi, tak perlu terlalu dianggap ada. Terkesan nihilisme,
tapi begitulah faktanya.
Saya baru
saja menyelesaikan membaca dua buku soal rakyat yang emoh mengandalkan kekuasaan untuk mengaturnya sekaligus tak percaya
kebecusan penguasa, Anarkisme karya
Emma Goldman dan Anarko Sindikalisme
karya Rudolf Rocker. Sebelumnya ada juga ada dua serupa, yang menjelaskan perspektif baru
tentang kata anarkisme, Post
Anarchism yang
ditulis oleh Saul Newman terbit bulan Mei 2016 dan buku kedua adalah Kropotkin
and the Anarchist Intellectual Tradition tulisan Jim Mac Laughlin terbit
pertama bulan Juni 2016.
Selama ini, banyak
orang termasuk awam seperti
saya, memahami anarkis yang selalu diacu
pada aksi kekerasan, termasuk semua aksi anti-keteraturan, melawan tatanan,
sampai memicu kekacauan. Anarkis lalu dipahami sebagai perbuatan merusak,
membongkar plus mengacaukan. Padahal kata anarki yang berasal dari bahasa Yunani,
terdiri dari dua kata, 'an' yang bermakna 'tidak', dan 'arkhos' yang berarti
'pemimpin'. Maka, 'anarkisme' boleh dikata sebagai paham otonom
anti-kepemimpinan.
Bagi Emma Goldman, sikap patah arang warga kota terhadap pemimpinnya yang selalu gagal hadir memenuhi hajat dasar warganya adalah sikap anarkisme, warga berada pada kesadaran akan dirinya sendiri, dan menyatakan negara dan kekuasaan sebenarnya tidak eksis. Terlebih, jika negara justeru disibukkan melampiaskan selera pembangunannya pada ambisi dan syahwat pribadi.
Bagi Emma Goldman, sikap patah arang warga kota terhadap pemimpinnya yang selalu gagal hadir memenuhi hajat dasar warganya adalah sikap anarkisme, warga berada pada kesadaran akan dirinya sendiri, dan menyatakan negara dan kekuasaan sebenarnya tidak eksis. Terlebih, jika negara justeru disibukkan melampiaskan selera pembangunannya pada ambisi dan syahwat pribadi.
Dan, bagi
Saul Newman yang menulis Post Anarchis, anarkisme bukanlah kriminalitas.
Ia bukan jenis kejahatan, melainkan ia adalah ekspresi politik radikal yang
bertumpu pada sikap otonom individu. Sikap ogah menghamba, menolak penghambaan.
Bagi Saul Newman, gerakan anarkisme di seluruh dunia selalu menawarkan gagasan
orisinil
membedah eksploitasi. Seorang yang berpikiran anarkis adalah sosok yang tak mau
tunduk pasrah begitu saja pada hegemoni apapun. Ia selalu bersikap kritis
terhadap dominasi, eksploitasi bahkan terhadap hegemoni yang halus sekalipun.
Maka
melawan, pemerintah yang mengancam keberlangsungan hidupnya karena kehilangan
pekerjaan adalah sikap otonom, sikap anarko yang ogah tunduk. Saya membayangkan, bangunan
kesadaran warga seperti masif, bergerak spontan dan
merata, menjadi
kontrol atas setiap kebijakan pembangunan di sekitarnya, merekam dan memotret
hal-hal yang dirasa pincang, menyimpang, tidak adil bahkan berbau “korupsi”,
kemudian memostingnya di media sosial, tanpa rasa takut, tanpa digerakkan dan
tanpa ketergantungan.
Gerakan
perlawan yang dilakukan secara perorangan tetapi mendapatkan simpati banyak
warga lain, bisa dan akan
menjadi gerakan kesadaran yang massif, hingga waktunya nanti mereka bergerak
bersama, dalam situasi yang sama untuk melawan penguasa yang sama, yang dinilai
dzalim dan lalim. Tak perlu komando, basisnya adalah kesadaran dan gagasan sebagai yang
terpenting dan menjadi ide
besar post anarchism ini, membangun independensi etis, hanya tunduk pada
kebenaran dan kebajikan, ibarat obat, anarkisme ini menjadi sejenis paham
generik anti-otoritarian, emoh
penindasan.
Toh, selama ini masyarakat ada dan tanpa kehadiran pemimpin tetap bisa menjalankan kerja-kerja kesehariannya. Persis seperti yang sering saya dengar dari senior saya beberapa hari lalu dan sering diulang-ulang karib saya, siapapun pemimpinnya, hidup kita toh begini-begini saja. Pernyataan yang menurutku, belakangan ini semakin akrab dengan kehidupan warga kota, khususnya Metro.
Toh, selama ini masyarakat ada dan tanpa kehadiran pemimpin tetap bisa menjalankan kerja-kerja kesehariannya. Persis seperti yang sering saya dengar dari senior saya beberapa hari lalu dan sering diulang-ulang karib saya, siapapun pemimpinnya, hidup kita toh begini-begini saja. Pernyataan yang menurutku, belakangan ini semakin akrab dengan kehidupan warga kota, khususnya Metro.
Hidup kita
toh begini-begini saja, kita tetap harus ke sawah, ke pasar, nguli dan
segala macam kalimat padanannya. Isinya adalah ketidakpercayaan, distrust
sekaligus sindiran atas pemimpin yang tak pernah hadir dalam kehidupan
warganya. Sindiran terhadap pemimpin yang terus memperkaya
diri, keluarga dan kelompoknya yang
diibaratkan sebagai perampok besar. Sindiran kaum anarkis kepada para pemimpin
konyol yang terus berlangsung, yang
membangun dan ingin terlihat maju, tetapi norak!
Begitulah
anarkisme itu berlangsung, dan mudah-mudahan semakin membesar.
0 Comments: