Islam hari ini lebih sering tampil sebagai pasar ketimbang sebagai
agama yang memiliki makna, nilai, dan spritualitas. Islam digandrungi karena
kepentingan-kepentingan transaksional. Di Musim politik, kegandrungan
menggunakan simbol-simbol Islam terlihat dari hilir-mudik politisi tampil di
forum-forum pengajian, keliling masjid menjadi penceramah, menggunakan atau memakai baju koko, kopiah yang akrab dan lekat dalam
benak awam sebagai muslim yang baik.
Di wilayah politik, sebenarnya bukan hal baru menjadikan agama
sebagai tunggangan kepentingan, dalam sejarah dunia modern bahkan di Barat yang
dinilai demokrasinya lebih maju, sebagaimana ditulis oleh Alexis de Tocqueville
dalam buku Democracy in America, agama masih memegang peranan sentral
dalam demokratisasi.
Di Kota Metro, ketika musim Pilkada 2015 yang lalu, hampir semua
calon melibatkan sentimen keagamaan untuk meraih simpati pemilih, bahkan ada calon
yang rela menerobos pekat dan dingin subuh, dari masjid ke masjid menghadiri
salat berjama’ah yang berlanjut pada kuliah tujuh menit (kultum) si
calon dengan dalih dakwah, tetapi begitu selesai perhelatan politik itu,
selesai pulalah dakwah subuh dari masjid ke masjid tersebut.
Di ranah lain, institusi keagamaan seperti MUI juga sering
terlihat mengeluarkan fatwa yang tak bisa dilepaskan dari kepentingan pasar,
seperti penerbitan label produk hijab halal, hingga seruan-seruan para
ulama untuk penggunaan produk obat herbal dan larangan menggunakan obat kimia
atau obat-obatan kimiawi yang mengandung alkohol.
Logika pasar dengan menggunakan agama sebagai instrumen terbukti
efektif di tengah pemeluk agama yang mengutamakan dan terkonsentrasi pada
simbol-simbol, seolah merek-merek dengan label Islam menjanjikan pahala dan
surga, karena menilai kegiatan-kegiatan tersebut adalah ibadah.
Untuk memahami logika agama pasar ini, Greg Fealy dan Sally White menyajikannya
secara menarik dalam buku Ustadz Seleb: Bisnis Moral dan Fatwa Online
yang diterbitkan oleh Komunitas Bambu. Greg dan Sally mengungkap maraknya
layanan islami yang dijadikan lahan bisnis yang sangat menggiurkan dan
menguntungkan, mengungkap peran agama di dunia global kontemporer, teknologi
baru informasi yang mengalir cepat, pola-pola perilaku islami telah berubah
secara dramatis, termasuk siapa pemain-pemain utama yang menjungkirbalikkan
logika beragama.
Politik dan Pasar Islam
Politik
menjadi momentum strategis untuk menggelar jualan (pasar) Islam. Berbagai acara
dan banyaknya kemunculan para
syaikh, habaib, dan ustadz-ustadz selebritas di panggung-panggung politik, selain dangdut, wayangan, tiba-tiba shalawat juga menjadi jualan yang
dilapak secara maraton, laris manis bak pasar malam keliling.
Dangdut diserang sebagai tak bermoral,
jualan bokong dan calon yang menggunakan medium kesenian rakyat itu seakan
'moralitas'nya lebih rendah dari 'moralitas' calon yang gemar bershalawat. Moral
ditakar dengan simbol-simbol agama yang diperoleh secara instan dan temporer.
Pada titik ini, ayat-ayat dan simbol agama telah terjebak di pusaran pasar.
Bukan hanya tampak pada
laku para calon slengean,
binal dan urakan
yang tiba-tiba menjadi islami, tetapi juga
pada laku akrobatik para ustadz, habaib, dan
syeikh dan kyai yang terlibat di kontes-kontes politik berlabel pengajian agama yang mengabdi pada nominal bayaran. Sungguh,
menjadi benalu yang menggunakan agama sebagai alat jualan politik, mencari keuntungan dengan jubah
dan dalil, tanpa konsistensi keteladanan dan akhlak.
Membajak agama sebagai penyedia legitimasi di tengah menumpuknya
berbagai persoalan struktural mendorong elit agama untuk mengambil dalil agama apa
saja yang bisa melegitimasi keadaan untuk membangun gaya hidup agamis secara
simbolis dan verbalistik. Konsekuensinya, ajaran agama direduksi sedemikian
rupa sehingga ia kehilangan spiritnya yang berwatak membebaskan dan berpihak
kepada kaum mustadhafien menjadi pengabdi pasar dan memihak pemodal yang
menindas.
Menurut Umaruddin Masdar, penulis buku Gus Dur Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis Keagamaan, perspektif kesejarahan dan sentuhan humanitarianisme hilang dari pemahaman dan penafsiran ajaran agama. Agama tidak lagi bisa menjadi salah satu alat analisis sosial, tetapi memunculkan sikap umat yang cenderung apolitis, apatis, dan individualistis, bahkan cenderung hedonis dan konsumtif. Elit tak lagi bisa menjadi rujukan, fatwanya tak didengar. Pilihan politiknya bukan lagi terkait trackrecord benar-salah melainkan pada jumlah bayaran.
Menurut Umaruddin Masdar, penulis buku Gus Dur Pecinta Ulama Sepanjang Zaman, Pembela Minoritas Etnis Keagamaan, perspektif kesejarahan dan sentuhan humanitarianisme hilang dari pemahaman dan penafsiran ajaran agama. Agama tidak lagi bisa menjadi salah satu alat analisis sosial, tetapi memunculkan sikap umat yang cenderung apolitis, apatis, dan individualistis, bahkan cenderung hedonis dan konsumtif. Elit tak lagi bisa menjadi rujukan, fatwanya tak didengar. Pilihan politiknya bukan lagi terkait trackrecord benar-salah melainkan pada jumlah bayaran.
Akibatnya, para
calon yang terpilih dari hasil politik seperti ini, meski dilegitimasi oleh para kyai, ustadz, habaib dan
para ulama tidak menjamin tampil sebagai pemimpin yang
memiliki
kepekaan dan kepedulian terhadap
rakyat yang kelaparan, dahaga dan kurang tidur, yang selama mereka kampanye didekati dan dihidangkan mimpi-mimpi, pemimpin terpilih selalu saja tak memiliki
jiwa kesetiakawanan sosial, selalu
berganti wajah, yang awalnya care, sering
keluar masuk pasar, turun ke sawah dan membaur dengan rakyat miskin dan
mengakrabi simbol-simbolnya menjadi pemimpin yang congkak, doyan menggusur, dan
mengangkangi anggaran, alih-alih ingat dosa, rakyat dan para habib, syeikh, dan
ulama pun tak lagi dilirik.
Dalam kondisi seperti ini, rakyat sesungguhnya merindukan keberanian moral para elit dan tokoh agama untuk bersikap dan
berpihak kepada kepentingan rakyat guna mewujudkan keadilan dan kemaslahatan
bersama bukan pada elit
politik dan pemodal,
karena sampai kapanpun tak mungkin agama bisa didefinisikan secara
personal-individualistis, tanpa merujuk pada sikap mayoritas pemeluk agama dan
elitnya.
Tatkala agama yang diwakili elitnya hanya bekerja kepada
kepentingan pasar, sesungguhnya agama telah berubah dan menjelma menjadi agama
pasar, yang pasrah bongkok kepada modal, dan elit. Dan para ulama, habib, syaikh, ustadz/ustadzahlah yang
berkontribusi besar terhadap stigma buruk agama tersebut, dan pastilah mereka akan diminta porsi
pertanggungjawaban lebih besar daripada umat yang mengikutinya.
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: