Tanggal 7 Februari 2018, sore
hingga malam barangkali adalah jam-jam yang paling menegangkan bagi anakku,
Muhammad Rafi Rausyan Fikri. Pagi di tanggal 8, sebelum ia berangkat ke
sekolah, ia sempat berkomentar bahwa pengumuman kelulusan tes masuk Pondok
Pesantren Modern (PPM) Muhammadiyah atau Muhammadiyah
Boarding School (MBS) Jogjakarta belum keluar. "Belum ada, saya cek di
laman facebook MBS Jogja." Serunya
sembari pamit berangkat.
Jam 13.00, tanggal 8 Februari aku
mencoba masuk ke alamat website resmi
milik MBS Jogja, tetapi gagal, server
error, mungkin karena banyaknya pengunjung web. Aku berusaha
menghubungi pihak MBS melalui telpon dan mendapatkan informasi pengumuman
kelulusan sudah diposting di web resmi MBS. Aku mulai cemas, alamat web tetap tak bisa diakses, pemberitahuan
resmi melalui pesan pendek (SMS) ataupun telpon juga tak kunjung ada.
Tepat pukul 15.20, Rafi pulang. Ia
memberi tahu alamat laman facebook
MBS, dan setelah dicek, dugaanku benar, tak ada namanya, hanya ada 28 nama di
kelas takhassus.
"Tak lulus,"
kata-kataku singkat. Tak sanggup menatap wajahnya, yang berdiri di sebelahku.
Ia terdiam, sebelum akhirnya masuk ke kamar tanpa sepatah kata pun.
Kecewa? Tentu saja, aku pun
nyaris tak percaya. Aku cek kembali hingga beberapa kali, tetap saja tak ku
temukan namanya. Suasana rumah sunyi, tak ada yang berani berkata apapun, semua
mungkin memiliki pikiran yang sama, khawatir setiap perkataan akan menyakiti.
Aku paham benar, bagaimana Rafi
memiliki tekad yang kuat untuk bisa masuk MBS, tiga bulan sejak ia mengutarakan
niatnya melanjutkan sekolah di luar Lampung dan ingin masuk sekolah semi
pesantren itu, ia menunjukkan keseriusan belajar, belajar tahsin dan menyetorkan
hafalan al Qur'an setiap hari, bukan hanya itu ia juga menunjukkan sikap yang
lebih dewasa meski umurnya baru 14 tahun, seolah hendak meyakinkan kami bahwa
ia bisa hidup mandiri saat jauh dari orang tua.
***
Akhir Desember 2017 yang lalu,
adalah pertama kali aku mengajaknya ke Jogja. Aku sebenarnya ingin mengajaknya
keliling ke beberapa sekolah , agar ia bisa memilih yang benar-benar cocok di
hatinya. Namun, setelah ia mendengar cerita dan mendapatkan informasi tentang
beberapa sekolah di Jogja, ia memantapkan untuk memilih MBS untuk kami
kunjungi, tanggal 30 Desember, setelah keliling melihat kelas dan ruang asrama,
termasuk setelah bertanya tentang jam belajar, kegiatan ekstrakurikuler dan
hal-hal lain, ia dengan mantap mengisi formulir pendaftaran.
Kembali dari Jogja paska
pendaftaran itu, ia semakin menunjukkan semangatnya. Dua buku dibelinya,
sebagai bahan belajar persiapan tes masuk. Aku tak paham materi tes masuk MBS apa
saja, aku hanya bilang paling hanya soal pengetahuan dasar agama Islam, tentang
sirah nabi atau tentang pengetahuan seputar rukun Islam, saat ia bertanya
perkiraan soal yang keluar saat tes masuk.
Selama sebulan, ia mempersiapkan
diri.
Tanggal 3 Februari kami berangkat
ke Jogja untuk mengikuti tes. Esoknya, lepas subuh ia sudah bersiap. Kami pun
berangkat, tak ada persiapan khusus, hanya sebuah mushaf al Quran dan satu map berkas persyaratan. Pukul 12.00 kurang
beberapa menit, semua proses tes, baik tes tulis maupun tes wawancara usai
sudah, kami kembali ke tempat Ikram, adik sepupu yang menjadi tempat tinggal
kami selama di Jogja.
Dalam perjalanan pulang, iseng ku
tanyakan proses tesnya, "alhamdulillah,
semua lancar. Paling agak susah Bahasa
Inggris-nya, baca al Quran-nya mendapat komentar bagus dari ustadz," jawabnya yakin.
MBS sekali lagi adalah pilihannya
sendiri, aku hanya membantu memberikan informasi tentang beberapa sekolah.
Jadi, sangat wajar ia begitu bersemangat dan yakin dengan usaha yang telah ia
lakukan selama masa persiapan tes.
"Ayah, apa bedanya sombong
dengan optimis?" tiba-tiba ia bertanya menjelang tidur.
Tentu saja pertanyaan tersebut
berhubungan dengan keyakinannya bakal lulus dan diterima di MBS Jogja.
"Sombong itu terlalu yakin
dengan kemampuan diri sendiri dan mengabaikan faktor lain di balik
keberhasilan, orang sombong biasanya senang bertepuk dada atas sukses yang
diraihnya. Sedangkan optimis itu, percaya dan yakin akan berhasil, tetapi
biasanya selalu mengucap insya Allah,
orang optimis selalu meyakini ada faktor lain selain dirinya sendiri, terutama
ke-Maha Pemurah-an Allah di balik keberhasilan itu, orang optimis ketika
berhasil tak menepuk dada dan sesumbar, ketika tak berhasil pun tak terpuruk,
meskipun kecewa tapi cepat bangkit!" Aku berusaha menjelaskan.
"Kalau pesimis?"
tanyanya kembali.
"Pesimis itu tak punya
harapan, tak punya keyakinan. Sudah merasa gagal sebelum mencoba, orang pesimis
adalah orang-orang yang kalah sebelum berperang!" jawabku.
"Aku termasuk optimis dong, Insya Allah lulus dan diterima di
MBS." Ia tetap bersemangat dan penuh keyakinan.
"Amiiin....!" Aku
mengamini harapannya.
***
Empat hari setelah kami kembali
dari Jogja, ternyata harapan dan keyakinan itu tak sesuai kenyataan. Aku yang
selalu menyemangatinya tiba-tiba juga kehilangan semangat. Tulisan yang hampir
rampung tentang "Ke Jogja A(nak)ku Kembali", tulisan yang ku tulis
dengan harap dan yakin, bahwa ia akan menjadi pelanjut cita-citaku yang kandas untuk
belajar di Jogja, segera ku hapus.
Harapan dan keinginan itu pupus
begitu selesai membaca pengumuman, rumah sunyi. Aku pura-pura fokus membaca,
meski tak sebaris pun dari berlembar halaman yang telah ku balik nyangkut di memori otakku.
Rafi pun tak keluar dari kamar,
hingga Bunda-nya menyuruhnya makan.
Barangkali ia merasa gagal membuktikan
bahwa ia mampu, atau barangkali seperti ucapannya beberapa waktu lalu yang
sempat ku dengar "aku takut tak
lulus, padahal ayah dan bunda sudah mengeluarkan biaya yang tak sedikit."
Ia takut membuat kami kecewa.
Kami memang dalam kondisi tak
memiliki uang saat hendak berangkat ke Jogja, beruntung ada kawan yang bermurah
hati memberikan pinjaman.
Dalam hitungan beberapa jam, aku
memang sangat kecewa, tapi bukan soal kesulitan memperoleh biaya-biaya itu, aku
kecewa karena tidak bisa membantunya maksimal untuk belajar di sekolah yang menjadi
idamannya.
Move On
Hingga menjelang tengah malam,
sembari menulis ini. Aku berusaha mengingat nasihat-nasihat yang pernah ku
sampaikan kepada Rafi. Bahwa, terkadang apa yang kita pilih, menjadi idaman dan
menurut kita adalah paling baik, tak selalu menjadi jalan terbaik untuk
ditempuh, barangkali ketaklulusan itu adalah isyarat.
Tak ada alasan untuk
menyalahkannya yang telah belajar dan berusaha maksimal, lebih-lebih
menyalahkan nasib dan berburuk sangka atas rencana di luar keterbatasan sebagai
manusia, berburuk sangka atas rahasia-rahasia semesta, rahasia dan rencana Allah.
Toh, selain pintu MBS yang telah tertutup, ada banyak pintu-pintu sekolah lain
yang masih terbuka lebar.
Tak ada alasan sebenarnya untuk
kecewa apalagi marah, terhadap anak yang masih polos berumur kurang dari 15
tahun. Lebih-lebih ia sudah menunjukkan sikap yang melampui usianya, meyakinkan
orang tuanya bahwa ia bisa mandiri dan bisa bersikap dewasa, bukan dengan
kata-kata tetapi lewat perilaku. Bukankah memang masih ada banyak sekolah dan
pesantren yang memiliki sistem pendidikan yang tak kalah baik. Dan, sekarang
juga masih semester pertama, ada waktu yang masih sangat panjang untuk bisa
memilih dan mencoba.
Tak lulus di MBS, bukan berarti
harus memilih pendidikan yang levelnya berada di bawah MBS, ada Pondok Modern
Darussalam, Gontor, Ponorogo ada Pesantren Al Ishlah, ada Pesantren Al Irsyad,
dan masih ada ratusan sekolah dan pesantren yang lain, yang rekam jejaknya
terverifikasi melahirkan lulusan-lulusan berkualitas.
Aku berharap, esok Rafi akan
membaca tulisan ini. Dan, ia akan tetap merawat semangatnya, menjaga
cita-citanya, karena cita-cita itu bukan soal tempat di mana ia harus belajar
tetapi soal bagaimana berproses dan melabuhkan mimpi-mimpinya secara
bertanggungjawab. Aku berharap, ia akan selalu berbaik sangka dengan
rencana-rencana terindah dari Tuhan, dan segera mengalihkan konsentrasinya dari
satu pintu yang tertutup kepada puluhan pintu-pintu yang masih terbuka, dan
segera memantapkan niat untuk kembali mencoba mendaftar dan ikut tes.
Ada banyak contoh dan bukti,
orang yang berkali-kali gagal mencoba, justeru sukses dengan pilihan
terakhirnya, dan mereka yang benar-benar gagal adalah mereka yang berhenti
mencoba.
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: