Pada sebuah kesempatan, seorang
kawan mengajukan pertanyaan, apakah Tuhan itu statis atau personal? Di saat yang sama, di hadapan saya tergeletak
sebuah buku yang juga penuh pertanyaan. Mampukah agama hidup tanpa kebebasan,
imajinasi, fantasi, inovasi dan kreativitas sama sekali?
Belum sempat saya memikirkan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu, dia sudah menyodorkan sebuah buku The God Delusion karya Richard Dawkins.
Sebuah pertanyaan sederhana yang
sangat mengusik. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah banyak membuat orang
yang malas berpikir, berputus asa kemudian menghukumi mereka yang bertanya,
sebagai sesat, tak bertuhan, kafir dan tudingan-tudingan lain, manifestasi dari
ketidakmampuannya menjawab soal-soal yang diajukan itu.
Apa pentingnya pertanyaan tersebut?
Pertanyaan balik bernada sinis dari beberapa orang.
Tentu bagi saya sangatlah penting,
untuk mengetahui bagaimana sebenarnya kita mempersepsikan keyakinan dan cara
meyakini Tuhan.
Apakah Tuhan setelah menciptakan
alam semesta dan isinya, menciptakan manusia dan segenap potensinya, menurunkan
aturan-aturan, kemudian setelah itu Tuhan bersemayam di 'arsy dan hanya menonton sepak terjang ciptaan-ciptaan-Nya dalam
menjalani kehidupan? Ataukah Tuhan masih terlibat mengintervensi perjalanan
kehidupan makhluk-Nya?
Sekitar 20-an tahun yang lalu, di
pulau saya, seorang penganut fatalisme pernah tertangkap melakukan perbuatak
tak senonoh terhadap seorang perempuan, dan dengan entenngnya ia berdalih,
bahwa apa yang ia lakukan tersebut adalah 'keinginan' Tuhan, karena tak mungkin
ia bisa melakukan sesuatu yang Tuhan tak restui.
Saya tentu saja tak ingin terburu-buru
menjawab, dan kawan tadi juga tak memaksa saya untuk memberikan jawaban yang ia
inginkan. Kami akhirnya berdiskusi tentang pengalaman keagamaan, perjalanan
spritualitas dan hal-hal yang dialami bersama orang-orang beragama di sekitar
kami.
Ada banyak hal yang diimani, yang
seringkali membuat kita menghukumi keyakinan orang lain sebagai sesuatu yang
salah, atau bahkan keyakinan-keyakinan yang justeru membatasi gerak,
sedikit-sedikit haram dan tak boleh, sebuah keimanan yang justeru melahirkan
rasa was-was, membangkitkan emosi dan mengundang kemarahan, padahal semestinya
iman mampu memberi rasa aman, menciptakan kedamaian, keselamatan dan kasih
sayang.
Lantas, muncul pertanyaan
kembali, sebenarnya beragama untuk apa dan siapa? Pertanyaan pragmatis
tersebut, seakan-akan menggugat iman, tentang kemampuan menuhankan Tuhan,
tetapi di sisi lain, justeru gagal memanusiakan manusia.
Jika sedikit mau jujur,
seringkali agama beragama seperti itu didasarkan pada persepsi, imajinasi
personal, ilusi atau tepatnya delusi. Keinginan-keinginan personal yang diklaim
sebagai keinginan Tuhan. Mempersepsikan keshalehan-keshalehan dengan
simbol-simbol, seolah-olah Tuhan sangat mencintai simbol-simbol itu, padahal
berkali-kali Nabi menyampaikan pesan suci, bahwa Tuhan itu tak melihat jasad
dan penampilan (simbol), melainkan Ia melihat hati yang suci dan amal nan
bajik.
Tak terasa, lebih dari tiga jam
kami berdiskusi, Saya izin menjeda diskusi untuk menunaikan salat, tetapi ia
pun pamit untuk menjemput keluarga. Sebelum kami, berpisah kami menyepakati
satu hal, bahwa terkadang penampilan itu perlu, tetapi bukan untuk Tuhan,
melainkan untuk membantu sesama, agar tak terus-menerus merendahkan,Sisanya
kami berjanji untuk terus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas,
dan sewaktu ngobrol bareng lagi,
untuk sama-sama menemukan kesejatian beragama, yang tak hanya didasarkan pada
semangat dan imajinasi personal.
Setiba di rumah, di sore yang
gerimis itu, saya membolak-balik kembali Tema
Pokok al Qur'an-nya Fazlur Rahman, Menalar
Tuhan karya Frans Magnis Suseno dan catatan-catatan hariannya Ahmad Wahib, Pergolakan Pemikiran Islam.
Saya membaca dan merenungkan
kembali, apa yang dimaksudkan Tuhan sempurna
kreatif oleh Rahman. Menangkap dan merekontstruksi cara pikir dan
merasionalisasi kembali apa yang ditulis oleh Romo Franz sebagai petunjuk
adanya Tuhan, di halaman 146 - 149 di bukunya itu. Sekaligus berusaha memahami
secara obyektif, kegenitan dan kenakalan-kenakalan pertanyaan yang dilontarkan
Ahmad Wahib.
Mengajukan pertanyaan balik untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, apakah kejadian-kejadian yang sedang
berjalan di alam semesta ini terjadi kebetulan? ataukah itu menjadi bagian dari
kreativitas Tuhan?
0 Comments: