Entah apa
yang ada di benak Pemkot Metro, bukan hanya merubah wajah Lapangan Samber
menjadi terlihat 'modern' dan 'estetik', tetapi juga mengganti nama Lapangan
Samber menjadi 'Samber Park'.
"Bagus
sih, tapi kok terkesan norak dan tak
paham sejarah! Barangkali pemerintah senang dengan nama yang berbau
istilah-istilah Inggris, makanya lebih senang dan pede menggunakan dan memperkenalkan istilah-istilah asing daripada
memperkenalkan nilai-nilai lokalitas dan daerah sendiri," ujar Jerry yang
diaminkan oleh kawan-kawannya beberapa waktu lalu saat nongkrong bersama beberapa komunitas.
Jerry
juga menjelaskan, sebagaimana yang ia dengar dari penuturan orang dan neneknya bahwa
keberadaan Lapangan Samber tersebut melibatkan peranserta banyak orang, bukan
hanya warga yang tinggal di sekitar lapangan, melainkan juga warga lain banyak
yang ikut iuran membeli tanahnya.
"Kebutuhan
akan lapangan desa ketika itu sangat mendesak, termasuk kebutuhan untuk
pemakaman. Makanya, banyak warga yang terpanggil untuk urunan. Jika tak salah
ingat kuburan pertama di TPU Samber tersebut yang berada di bawah pohon besar
itu," Jerry mengisahkan.
Tertarik
untuk mengetahui sejarah Lapangan Samber, saya pun berusaha menelusuri beberapa
catatan lama sembari berusaha menghubungi beberapa orang tua yang tinggal tak
jauh dari Lapangan Samber, salah satunya adalah Mbah Jo dan beberapa narasumber
lain.
Lapangan Samber sebelum berubah wajah menjadi "Samber Park" |
“Samber ini
milik Desa, sebelum akhirnya diserahkan ke pemerintah Kota,” Lelaki
tua bernama Mbah Saijo
(90)itu membuka
cerita tentang Samber, tempat yang menjadi nama Lapangan dan Tempat Pemakaman
Umum (TPU/Kuburan).
Nama Samber
cukup akrab di kalangan masyarakat Metro, bukan hanya karena posisinya yang
berada tepat di tengah-tengah Kota, tetapi juga karena Samber, khususnya Lapangan
Samber telah menjadi pusat berbagai aktifitas. Hampir setiap acara konser atau
event yang melibatkan orang dalam jumlah besar, selalu digelar di Lapangan
Samber, seperti konser, festival hingga acara-acara resmi pemerintahan seperti
upacara, peringatan ulang tahun Kota Metro, Metro Fair dan MTQ.
“Samber ini
sebenarnya lebih lebar dari yang sekarang, bentuknya persegi, termasuk kini
yang menjadi lokasi sekolah, MIN (dulunya SDN 6) dan SDN 4 adalah lokasi
Samber,” tutur Saijo yang akrab disapa Mbah Jo, seraya berjalan tertatih
menggunakan tongkat, mengajak saya berbincang di halaman depan rumahnya yang mepet badan jalan.
Saya
menyodorkan dua bungkus rokok kretek kesukaan Mbah Jo. Mbah Jo tinggal berdua bersama
istri di pojok dekat Kuburan Samber, menghuni
rumah yang hanya berdinding papan yang nyaris lapuk. Sesekali dahi Mbah Jo
berkerut, menandakan ia sedang berusaha keras mengingat kejadian-kejadian masa
lalu.
“Dulu hidup
sangat susah, sudah bagus sehari itu bisa makan nasi sekali, lebih sering kita
hanya makan onggok. Samber ini tanah bengkok yang dimiliki desa,
menjadi tempat penduduk bercocok tanam, menanam singkong dan jagung, mereka
bebas menikmati hasilnya.” Cerita Mbah Jo setelah beberapa saat terdiam.
“Saya sudah
lupa bagaimana prosesnya, hingga tanah kuburan ini menyempit dan dibangun
rumah-rumah pemukiman di atasnya, yang saya ingat tanahnya lebih luas dari yang
ada saat ini,” lanjutnya.
Mbah Jo juga
mengaku tak ingat lagi tentang asal muasal penamaan nama Samber untuk Lapangan
dan Kuburan Samber.
“Sudah tak
ingat lagi, tapi bisa saja dikaitkan dengan banyak cerita. Salah satunya, dulu
pernah ada anak-anak main bola di Lapangan depan kuburan, kemudian meninggal
kesamber bola, mungkin juga nama Samber itu dari itu,” ujar Mbah Jo seraya tertawa
seolah tak yakin.
Hal serupa juga dituturkan Sauki (56) tukang
servis sepeda dan motor, yang telah puluhan tahun membuka bengkel di pojok
lapangan samber, kenapa
kuburan dan lapangan
tersebut dinamakan Samber?
"Mungkin
karena dekat dengan kuburan? Atau bisa jadi saat babat alas ada yg kesamber
geledek kali," cerita Sauki (56) sambil bercanda.
Namun,
menurut penjelasan Tato Gunarto, mantan Anggota DPRD Kota Metro bahwa penamaan
Samber memiliki latar belakang sejarah.
“Saya yakin
ada yang melatarbelakangi penamaan samber untuk kuburan dan lapangan Samber,
dulu pernah diceritakan oleh kakek dan orang-orang tua, sayang saya sudah tidak
ingat persis ceritanya, nanti saya telusuri lagi, mudah-mudahan ada yang masih
ingat,” ungkap Tato.
Memang tak
banyak orang-orang yang paham persis cerita di balik penamaaan Samber, baik
untuk lapangan maupun kuburan. Orang-orang tua yang pahampun telah banyak
berpulang.
![]() |
Polisi cilik sedang latihan di Lapangan Samber |
Kini
Lapangan Samber sebagai salah satu lapangan tertua di Kota Metro, hanya tampak
seperti lapangan biasa, ramai setiap hari untuk latihan baris-berbaris
anak-anak sekolah, praktik olahraga sekolah-sekolah yang ada disekitarnya,
menjadi tempat penyelenggaran festival, konser bahkan event-event besar
Pemerintah Kota, seperti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ), atau upacara untuk
memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) Kota Metro.
Kuburan
Samber, yang kini telah penuh tersebut, juga tak banyak orang yang paham
sejarahnya. Meski hampir semua orang-orang tua mengakui bahwa luasnya telah
berkurang, selain digunakan untuk lahan sekolah sebagian juga digunakan warga
untuk membangun pemukiman.
“Sebenarnya
ada banyak cerita, cuman kita juga takut salah, karena sekarang susah untuk
membuktikannya. Tapi seingat saya, lokasi yang saat ini menjadi lokasi Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) termasuk lahan kuburan. Bahkan, beberapa orang mengakui
saat menggali lubang di atas lahan itu menemukan beberapa tengkorak manusia,” Ujar Mbah Sum, pemilik
Warung Pojok yang menurut penuturan beberapa orang, kakeknya adalah angkatan
pertama dari proyek kolonisasi Belanda, dan salah seorang penyuplai logisti
(makanan) untuk gerilyawan melawan Belanda.
Orang-orang
yang bertempat tinggal di sekitar lokasi tersebut juga mengakui bahwa meskipun
sekarang menjadi tempat belajar (MIN), tetapi tempat tersebut masih terasa
angker.
“Serem,
sering terdengar suara-suara aneh,” Ungkap Susi, sambil menunjukkan ekspresi
ketakutan.
Lapangan Samber memang sangat banyak
menyimpan cerita kegetiran masa lalu, kepedihan dan beratnya perjalanan hidup.
Lapangan Samber menjadi saksi bagaimana kreatifitas tumbuh dan menemukan
ruangnya, Lapangan Samber juga menjadi saksi banyaknya transaksi bisnis haram,
Lapangan Samber adalah titik bertemu kejelataan dan kemewahan, dan Lapangan
Samber adalah simpul akrabnya kebaikan dan kejahatan.
“Sebelum diberi penerangan, lapangan Samber ini gelap
gulita, bukan hanya transaksi kejahatan terjadi di sini, tetapi praktik mesum
juga sering di lakukan di lapangan ini saat malam hari,” Ujar Tato Gunarto
Namun, selain hal-hal negatif
tersebut, Tato juga menjelaskan bahwa sesungguhnya, dulu banyak juga aktifitas-aktifitas positif dilakukan di Lapangan Samber,
seperti panjat dinding (climbing),
para pembuat mural mengapresiasikan
kreativitasnya dengan melukis dinding pagar, para penyuka BMX melakukan
latihan, dan kegiatan-kegiatan positif lainnya.
“Termasuk banyak event nasional maupun lokal di
laksanakan di Samber, konser Musik, festival, pasar malam keliling, atau
hajat-hajat daerah seperti MTQ dan ulang Tahun Kota,” ungkap Tato.
Seiring perkembangan waktu dan perubahan status Metro
menjadi Daerah Otonomi Baru (DOB) serta pergantian kepemimpinan, Lapangan Samber akhirnya berubah fungsi, tidak lagi berfungsi sebagai
lapangan bola semata, lambat laun aktifitas
olahraga juga mulai berkurang, sarana panjat dinding juga telah menghilang,
berganti dengan jejeran warung-warung semi permanen, yang berderet memanjang di
sebelah Selatan, Barat dan Timur lapangan.
Di sebelah Timur berderet warung-warung tenda menutupi
lukisan mural yang menghias dinding-dinding MIN dan SD Teladan, warung-warung
tersebut menjual berbagai jenis makanan dan minuman seperti mie, ketoprak, nasi
goreng, kopi, wedang jahe dan jus buah, ada yang buka sejak pagi hingga malam,
ada juga yang baru buka menjelang malam hingga dini hari. Sebelah Barat
lapangan, meski lebih sedikit jumlahnya, juga terdapat beberapa warung tenda
yang berjualan jenis makanan dan minuman serupa.
Sebelah Selatan Lapangan Samber, tepat seberang jalan
Tempat Pemakaman Umum (TPU), berderet pedagang durian musiman yang berjualan di bawah tenda semi permanen.
“Mereka rata-rata tidak mengerti, bahwa kuburan itu
banyak orang-orang tua yang dulu berjuang merebut dan mempertahankan
kemerdekaan Republik Indonesia, termasuk orang-orang yang berjuang membangun
kota ini, yang mereka tahu hari ini lapangan Samber menjadi tempat yang asyik
buat nongkrong,” ujar Tato.
Lapangan Samber menyimpan banyak cerita, banyak ritual
baik dan buruk. Lapangan Samber pernah menjadi tempat transaksi seks dan
berbagai kejahatan, bahkan konon pernah menjadi tempat praktik prostitusi liar,
tetapi Lapangan Samber juga dari dulu telah menjadi tempat untuk melaksanakan
ritual-ritual suci seperti upacara dan salat hari raya.
Misteri Tanah Samber yang Menyusut
“Rumah Dinas
Wakil Walikota sekarang, dulunya adalah
Markas Kodim, di tempat itu banyak orang-orang PKI yang ditahan, beberapa dari
mereka berniat kabur dan akhirnya ditembak, kemudian mayatnya dikubur di atas
lahan yang pernah menjadi bangunan bekas SD 6, sekarang MIN Metro,” tutur Mbah
ketika hendak menjelaskan titik-titik batas kuburan Samber.
Menurut
Penuturan Mbah Jo, Tempat Pemakaman Umum (TPU) Samber atau lebih dikenal dengan
Kuburan Samber, dulunya lebih luas dari sekarang, lokasinya mulai dari titik
temu Jl. Mr. Gele Harun – Jl. Mayjend Ryacudu memanjang hingga sebelah Timur
persis yang saat ini menjadi Lokasi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) masuk
memutar melewati SD 4 ke Gang Belakang Kuburan hingga kembali lagi ke Jl. Mayjend
Ryacudu.
Ditanya, bagaimana prosesnya
kuburan itu bisa menjadi lokasi bangunan sekolah? Mbah Jo hanya menggeleng dan
mengatakan. “tidak tahu,” dengan nada berat dan suara sangat pelan.
Bukan hanya
menjadi lokasi bangunan sekolah, beberapa rumah permanen tempat tinggal warga juga
diakui Mbah Jo, awalnya masuk menjadi area kubursan Samber juga.
“Kalau itu,
mungkin karena tanah kuburan ini milik desa, tanah bengkok dan lurah
Gondo Wardoyo sebagai lurah pertama dan lurah Wiryo sebagai lurah kedua yang
mengurus surat-suratnya ke Agraria, mungkin mereka berpikir belum terlalu
dibutuhkan tanah kuburan yang luas, maka sebagiannya diperuntukkan untuk
warga,” ujar Mbah Jo.
Lebih tegas
dari Mbah Jo, Ayu (60) menjelaskan bahwa beralihfungsinya tanah kuburan menjadi
lokasi bangunan sekolah, karena memang di atas kuburan itu tidak ada
tanda-tanda makam sama sekali, karena yang dikubur di situ adalah
tahanan-tahanan PKI yang ditembak tentara.
“Tapi, saat
sekolah dibangun kan banyak juga yang melihat dan menyaksikan langsung
baik itu tukang maupun warga sekitar bahwa ada tengkorak manusia di lokasi
tersebut. Bahkan, ketika anak-anak sekolah disuruh menanam pohon dan menggali
lubang, sebagian mereka mendapatkan tengkorak di galiannya,” ujar Ayu.
Ayu
menjelaskan, dulu usianya sekitar 9 tahun dan masih duduk di sekolah dasar.
Saat ia melewati Markas Kodim, dia sering mendengar orang menjerit dan meminta
tolong seperti orang yang disiksa dan disetrum. Meski ia mengaku belum pernah
melihat langsung penyiksaan maupun proses pemakaman orang-orang yang meninggal
karena disiksa itu.
“Tapi, dulu
banyak orang yang hilang begitu saja. Semua orang meyakini mereka dibunuh
kemudian dikubur di Kuburan Samber yang kini menjadi lokasi MIN, itu sudah
menjadi rahasia umum, banyak yang tahu. Makanya hingga saat ini, sekolah itu
terkesan seram dan angker,” ujar Ayu.
Ayu juga
menjelaskan bahwa area pekuburan yang kini menyusut karena dibangun rumah
tempat tinggal.
“Wajar saja,
karena tanah bengkok ini dulu dikuasai desa, yang mengurus dan
membuatkan surat-suratnya juga mereka,” pungkasnya.
Kini, TPU
Samber tidak sanggup lagi menampung jenazah warga sekitar yang meninggal,
nyaris tak ada lagi lahan tersisa untuk makam. Untuk itu pemerintah Kota Metro
berniat membangun TPU baru di daerah landbouw tepatnya di belakang
Gedung Sesat yang kini dikenal sebagai Nuwo Budaya.
Begitulah, perubahan bergerak begitu cepat. Lapangan
atau alun-alun Merdeka yang ada di tengah-tengah Kota Metro, anak-anak muda
millenial hanya paham itu adalah taman, padahal dulunya kegiatan olah raga,
seperti sepak bola dan beberapa olah raga lain terkonsentrasi di situ dan
lapangan samber menjadi lapangan dan area bermain anak-anak desa.
Saya dan barangkali semua orang tak bisa menolak derasnya perubahan itu, termasuk saya juga meyakini, tak ada satupun yang keberatan dengan
niat pemerintah untuk membangun kota ini lebih baik, tetapi tak salah jika
warga juga mengingatkan agar pemerintah tak abai sejarah dan tetap memberi
penghargaan terhadap nilai-nilai lokal, kearifan lokal, semisal tetap menggunakan nama "Lapangan Samber" apalagi ditambah aksara Lampung di bawahnya.
Tabik,
Ngalimpuro.
Comments
Post a Comment