Himpunan
Mahasiswa Islam (HMI) harus kembali mengakar kepada sejarah tujuan kelahirannya
sebagai organisasi mahasiswa,
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia (RI) dan menyebarluaskan syi’ar Islam.
Di usia, yang cukup renta ini, menjelang umur 71 tahun(5 Februari 1947 – 5
Februari 2016), HMI telah banyak berkontribusi positif atas perjalanan sejarah
bangsa ini, meski tak
perlu menghindar atas tuduhan, jika alumninya juga banyak berkontribusi atas
kerusakan bangsa ini. Hal itu,
lumrah saja sebagaimana juga organisasi lain.
Namun, sebagai organisasi mahasiswa tertua semestinya HMI menjadi referensi dan representasi organisasi
kemahasiswaan, menjadi teladan yang baik, bukan sebaliknya, menjadi cemooh dan teladan yang buruk karena lebih sering rusuh,
memaksakan kehendak dan sewenang-wenang, karena merasa lebih mapan dengan
deretan nama-nama alumni di struktur kekuasaan.
HMI pantas
bangga dengan raihan prestasinya, tetapi sudah saatnya berhenti dan
terlalu lama terdiam mengeja dan membangun romantisme kesejarahan tentang kehebatan dan kiprahnya
dalam kehidupan berbangsa. HMI sudah saatnya - meminjam istilah Imam Ali RA -
berkata ”ini
dadaku, ini aku!” bukan berkata “itu kakekku, bapakku, seniorku!!”
Jika dulu
HMI sengaja dibentuk untuk ikut terlibat dalam perjuangan mempertahakan
kemerdekaan negara, mengusir
penjajah dari bumi nusantara, maka, untuk konteks hari ini HMI
harus menjadi bagian kelompok dari perjuangan rakyat berjuang melawan
penjajahan para koruptor, perampok sumber daya alam Indonesia, termasuk para
makelar hukum. Intinya, HMI harus ada bersama rakyat sebagai kelompok mustadhafien
untuk melawan kedzaliman dan kelaliman kekuasaan.
HMI harus
mampu mengidentifikasi diri sebagai solusi atas kebuntuan dan kejumudan isu-isu
kebangsaan, HMI harus menjadi corong jeritan kepedihan kaum mustadhafien, karena
sesungguhnya kelompok
tertindas inilah yang harus menjadi basis perjuangan dan gerakannya. Banyaknya
kepentingan kelompok alumni HMI tidak boleh menjadi referensi apalagi menjadi
kiblat agenda aktifitas HMI dalam menjalankan programnya, pertemuan HMI dengan kepentingan alumni
hanyalah pertemuan di titik-titik kebajikan dan kebenaran
universal, jika
kebajikan dan kebenaran itu lebih dominan dimiliki oleh alumni, maka ia boleh
untuk lebih sering bertemu, dan sebaliknya.
Hegemoni
Alumni
Para alumni
yang telah melewati masa-masa panjang perjuangan di HMI, berubah menjadi
kelompok baru yang mapan, sebagaimana wataknya, kemapanan selalu berusaha untuk
memperluas pengaruh untuk mempertahankan posisinya pada zona nyaman. Watak status
quo inilah yang akhirnya menggeser idealisme para mantan aktivis mahasiswa
pada jalan perjuangan sebelumnya. Nikmat kekuasaan yang melenakan, menjadikan
mereka berusaha membenamkan kuku hegemonik pada yunior-yuniornya di kampus.
Mengacu pada
istilah hegemoni yang dibangun Gramsci (1891-1937), alumni HMI berusaha
melakukan doktrin, menafsir tentang kebaikan, kesuksesan dan kebenaran secara
berulang-ulang dengan parameter materi, jabatan dan prestise.
Ideologi
baru yang didesakkan dalam rentang yang cukup lama, disebarluaskan pada diri
kader baik secara institusional maupun perorangan, mendiktekan seluruh cita
rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh
hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral, akhirnya
melahirkan sebuah pandangan hidup dan cara pikir kader yang lebih dominan, bahwa
muara perjuangan itu adalah materi dan jabatan, kader yang sukses adalah kader
yang menjadi apa, tak penting bagaimana dan dengan cara apa.
Meski tak
semua alumni dan kader HMI mengamini itu, tetapi hegemoni yang begitu besar
membuat kelompok kecil dan minoritas alumni dan kader HMI yang setia dengan
independensi etis HMI, tidak bisa berbuat apa-apa, karena kelompok alumni mapan
bukan hanya melakukan hegemoni lewat pengaruh support materi (modal),
kekerasan fisik, lebih jauh hadir dalam kaderisasi memasukkan ideologi-ideologi
baru dan menyimpangkan ideologi dasar HMI sebagai organisasi perjuangan dan
kader, sehingga proses dominasinya semakin besar.
Rekonstruksi Semangat
Tanggal
9 – 14 Februari nanti, HMI akan melaksanakan Kongres ke-30 di Ambon, pastilah ada banyak dinamika baik di internal HMI maupun di eksternal
organisasi. Namun, jika boleh urun diskusi, saya
mengajukan dua hal fundamental untuk mengembalikan HMI pada semangat khairu ummah, yang bertanggungjawab
menyampaikan kebajikan universal, meneguhkan konsistensi (keimanan) pada jalan
perjuangannya.
Pertama, secara
internal HMI harus menunjukkan kapasitas dan integritasnya kepada publik dengan
mengembalikan kader pada cita-cita idealnya (insan cita), akademis, pencipta,
pengabdi, islami (relegius) dan kader yang bertanggungjawab (khalifah fil ardh)untuk mewujudkan
masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.
Meskipun
insan akademis tak melulu harus unggul secara intelektual dengan deretan
gelar-gelar akademis, tetapi minimal bisa menunjukkan kembali kedekatan kader dengan
tradisi literasi, membaca, berdiskusi dan aksi.
Implementasinya,
(semisal) bisa terlibat atau bahkan menginisiasi gerakan literasi nasional,
mengagendakan penerbitan buku setiap bulan, setiap jenjang training formal HMI,
LK I dan LK II setiap paper yang
dibuat oleh peserta dibukukan, lomba review buku skla berkala, atau bahkan
melakukan pertemuan nasional para kader pecinta buku dengan menggandeng
penerbit, dan agenda-agenda serupa yang lain yang dikemas kreatif.
Kecintaan
kader terhadap pengetahuan akan berdampak pada kesadaran pikir dan tindakan
yang rasional, sehingga keberpihakan mereka terhadap kebenaran dan kebajikan
universal akan terbangun secara otomatis. Skemanya HMI akan bergerak dari
tradisi tuna ilmu (jahiliyah) menuju tradisi rasional yang berujung pada
tradisi relegius. Jika ini dilakukan secara masif dan terstruktur oleh 200
cabang lebih, maka bukan hal mustahil sebuah peradaban baru akan kembali lahir.
Kedua, secara eksternal, forum kongres mengeluarkan rekomendasi
yang fundamental terhadap keberlangsungan kehidupan bangsa. Rekomendasi yang
didasarkan pada data dan fakta yang selama ini menjadi diskursus,
dikaji dan dirasakan
oleh para keder HMI, sehingga rekomendasi-rekomendasi tersebut tidak berakhir di lembar-lembar hasil kongres yang kemudian dirongsokkan
ke tong sampah.
Ada banyak
masalah kebangsaan yang memerlukan kehadiran para aktivis HMI, mulai persoalan
agraria, ketegangan antara pemodal dan rakyat miskin, isu seputar kesehatan dan
pendidikan yang tak pernah adil dan berpihak kepada rakyat jelata, dan isu-isu
lain yang selama ini tidak pernah tersentuh oleh para kader HMI.
Selain itu,
rekomendasi yang tak kalah pentingnya adalah reposisi relasi HMI-Alumni pada
garis yang tegas. Sebuah posisi yang harus bisa mengukuhkan HMI sebagai
organisasi independen, yang mampu berdiri tegak di mana saja, dan saat
berhadapan dengan siapa saja, termasuk alumni.
Secara
pribadi, saya sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan isu ishlah, biarlah HMI tetap menjadi dua, toh meskipun ada dua ia akan tetap bersenyawa dan bersama dalam
merespon isu-isu kebangsaan, HMI tetap memiliki satu nilai dasar perjuangan,
HMI tetap memiliki tafsir yang sama terhadap kebenaran dan kebajikan, memiliki
kesepakatan yang sama soal perwujudan masyarakat yang adil dan makmur yang
diridhoi Allah SWT.
Namun,
sekali lagi ini hanyalah seonggok harapan.
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: