"Sesungguhnya di balik
penciptaan langit dan bumi, pergeseran siang dan malam ada tanda-tanda bagi
mereka yang memiliki akal dan hati (ulul
albab). Sesungguhnya tiada satupun peristiwa yang terjadi, nihil makna."
Begitulah Tuhan memberi isyarat kepada manusia yang mau berpikir.
Dalam seminggu, kota ini mendapat
curahan air berlimpah. Banjir terjadi di beberapa titik, di hampir semua kecamatan,
meski jumlahnya barangkali tak sebanyak jumlah jembatan yang dicat dan dipasang
lampu hias, biaya penanganannya pun, mungkin tak sebesar jumlah uang 41 miliar
rupiah yang dialokasikan untuk membangun gedung prestesius nan mewah, Metro Convention Center (MCC) yang pemanfaatannya
belum tentu semua warga bisa akses dan nikmati.
Alam memberi isyarat, mana yang
mendesak dan penting. Perisitiwa banjir memberikan informasi penting, tentang
banyak hal yang sebenarnya telah kita bincang sejak lama, hal kecil yang
seringkali kita abaikan, demi pembangunan gedung wah bergengsi.
Kita terlalu sibuk bicara wajah,
bicara tentang permukaan tanah, namun kita lewat mendiskusikan bawah tanah,
soal resapan dan daya tampungnya terhadap air. Kita mengabaikan saluran air yang terlalu kecil, tergerus dan
mampet. Kita benahi permukaannya, trotoarnya, tetapi kita tidak pernah chek dalamnya.
Maklum. Pikiran kita mungkin
membayangkan bahwa saluran air itu masih layak menampung ribuan ember air yang
tumpah dari bekas cuci piring rumah tangga, sehingga kita semakin gila
membangun ruko, membangun perumahan, menjejer usaha ritel, sembari sesekali
iseng merias jembatan-jembatan dengan lampu dan cat warna-warni. Kita semakin
sumir dan samar menatap, hingga tak mampu lagi membedakan antara keren dan
norak.
Ooo, ini sama sekali bukan hanya
soal pemerintah yang sibuk merias rupa kota dengan dandanan menor itu, bukan
pula soal legislatif yang hemat bicara itu, sekali-kali bukan. Ini juga soal
kita yang semakin tak peduli dengan kota kita, yang tanpa beban dan dosa
membuang sampah ke aliran sungai. Kita yang sibuk membeli gengsi untuk
berbelanja di toko-toko modern, sehingga cuek
bebek dan masa bodo dengan warung
tetangga yang tiba-tiba tutup, sejak ruko dan toko-toko modern itu berdiri.
Kita yang sibuk mengeja kemajuan kota dengan julang tinggi tembok.
Sekali lagi, ini bukan hanya soal
pemerintah yang sibuk menaksir untung dari lembar-lembar perizinan atau sisa
hasil dari pembangunan-pembangunan merias jembatan itu, bukan pula hanya soal
wakil rakyat yang sibuk menghitung dan mencari modal, bukan hanya soal itu, tetapi
ini juga soal kita yang memiliki uang berlebih dan ingin terus menumpuk
kekayaan, sehingga tak peduli saat usaha yang kita bangun di daerah sempadan
sungai, melanggar konsep tata ruang kota yang ramah lingkungan, alih-alih kita
peduli dengan peringatan keras teman, peringatan Tuhan tentang kerusakan di
darat dan di laut karena ulah kita sendiri, yang tertulis dalam Kitab Suci, juga
kita acuhkan.
Oh, iya. Ini juga bukan hanya soal saluran air, drainase, got atau yang disebut siring itu. Ini juga soal pohon yang telah kita babat habis diganti berganti beton, ini soal alam yang tak seimbang lagi.
Oh, iya. Ini juga bukan hanya soal saluran air, drainase, got atau yang disebut siring itu. Ini juga soal pohon yang telah kita babat habis diganti berganti beton, ini soal alam yang tak seimbang lagi.
Barangkali karena kita juga mulai
meragukan bahwa kehidupan akhirat itu ada, sehingga kita tak perlu takut
mendapatkan balasan dari kejahatan yang kita lakukan, atau mungkin menurut kita
segala keburukan itu bisa ditutupi dengan topeng. Bertopeng kopiah dan baju
koko, berhijab rapi dan anggun, sembari melembut-lembutkan lidah hingga
kata-kata renyah terdengar seperti kacang rebus yang jelata kunyah ketika musim
kendurian.
Namun, lihatlah kini, air tak
lagi hanya tumpah dari atas melainkan juga meluap dari bawah, ia mengalir
begitu cepat menggenangi titik-titik cekungan kemanusiaan kita. Air itu hadir
ketika kita terlelap di tengah malam, dinginnya mengetuk dinding-dinding nurani
kita, bertanya apakah kita masih peduli, atau membiarkannya berlalu begitu
saja, tanpa makna, tanpa pelajaran, meninggalkan onggokan sampah yang
bertumpuk, menggerogoti setiap relung hati, membusuk serupa borok.
0 Comments: