Setiap orang yang beragama,
berusaha mendekati dan bertemu Tuhannya, namun jalan yang ditempuh
berbeda-beda. Tujuannya sama, keselamatan, keyakinannya pun sama, jalan yang
ditempuh adalah jalan keselamatan. Tak satupun dari orang yang beragama,
menyegaja memilih jalan kesesatan untuk berjuma Tuhannya.
Agama kemudian menjadi diskursus,
wacana terbuka yang bebas diinterpretasi. Setiap orang memiliki imajinasi
personal soal agama, keyakinan dan Tuhannya. Jalan menuju Tuhan tersebut adalah
jalan yang harus dilengkapi bekal pengetahuan, bukan hanya bekal semangat
apalagi khayali tentang tempat indah dan rupa Tuhan.
Kebebasan berimajinasi bukanlah
kebebasan yang bermakna suka-suka, ia harus memiliki landasan yang kuat,
pengetahun untuk yakin ('ilm al yaqin),
data empirik untuk yakin ('ain al yaqin)
dan kebenaran iman yang diyakini (haqq al
yaqin). Semakin dalam pengetahuan seseorang, semakin kritis ia dengan sikap
keberagamaannya, bukan semakin pandai dia mengkritik dan menyalahkan keyakinan
dan keberagamaan orang lain.
Sikap itulah yang ditunjukkan
oleh Ibrahim, Bapak semua agama. Setelah lama berdiam melihat pekerjaan ayahnya,
Azar, sebagai pembuat patung sembahan raja, Ibrahim dengan berani membuka ruang
dialog dengan terlebih dahulu menghancurkan patung-patung yang disembah
tersebut, dan menyisakan satu patung paling besar yang dikalungkannya kapak
yang digunakan untuk menghancurkan patung-patung tersebut.
Ketika kaum penyembah patung
berhala itu marah dan bertanya secara terbuka siapa yang menghancurkan
patung-patung itu, Ibrahim tampil dengan berani menjawab, "sebenarnya
patung besar itulah yang menghancurkannya, maka tanyakanlah kepada berhala itu,
jika mereka dapat bicara!"
Mereka pun marah dengan jawaban
Ibrahim dan menjawab, "bukankah engkau telah memahami bahwa
berhala-berhala itu tidak dapat berbicara", tetapi Ibrahim
menjawab dengan nada santai, bertanya dan mempertanyakan rasionalitas mereka,
"jika kalian tahu mereka tak dapat bicara, maka mengapa kalian menyembah
sesuatu yang tidak bisa memberi manfaat sedikitpun, bahkan tidak bisa memberi
bahaya apapun kepada kalian?"
Dialog antara Ibrahim dan para
penyembah berhala di atas, bukanlah tindakan tiba-tiba dan spontan. Tindakn
tersebut lahir dari rasio, pengetahuan dan nalar kritis. Sehingga saat
berdialog, Ibrahim mampu mempertahankan argumentasinya secara konsisten. Bahkan
konsistensi Ibrahim itu, dibuktikan dalam perjalanan berikutnya, perjalanannya
mencari Tuhan.
Ibrahim pernah menyembah bulan dan bintang, yang menurutnya adalah sesuatu yang tak terbatas karena sanggup mengusir kegelapan dan menerangi semesta, Ibrahim berseru, "inilah Tuhanku!" Namun, tatkala bintang dan bulan itu tenggelam, Ibrahim pun berujar, "aku tak suka yang tenggelam dan terbatas," maka ia pun mengingkari bintang dan bulan sebagai Tuhan.
Esoknya ia mendapati matahari bersinar sangat terang, ia kembali berseru, "inilah Tuhanku, ia lebih besar!" Menjelang malam, sinar matahari meredup, dan suasana kembali menjadi gelap, ia pun kembali menegaskan bahwa ia tak menyukai yang terbatas, dan matahari bukanlah Tuhan, karena menurut Ibrahim, Tuhan adalah yang Maha Tak Terbatas.
Ibrahim pernah menyembah bulan dan bintang, yang menurutnya adalah sesuatu yang tak terbatas karena sanggup mengusir kegelapan dan menerangi semesta, Ibrahim berseru, "inilah Tuhanku!" Namun, tatkala bintang dan bulan itu tenggelam, Ibrahim pun berujar, "aku tak suka yang tenggelam dan terbatas," maka ia pun mengingkari bintang dan bulan sebagai Tuhan.
Esoknya ia mendapati matahari bersinar sangat terang, ia kembali berseru, "inilah Tuhanku, ia lebih besar!" Menjelang malam, sinar matahari meredup, dan suasana kembali menjadi gelap, ia pun kembali menegaskan bahwa ia tak menyukai yang terbatas, dan matahari bukanlah Tuhan, karena menurut Ibrahim, Tuhan adalah yang Maha Tak Terbatas.
Perjalanan dan sikap keberagamaan
Ibrahim dalam upaya mencari Tuhan, tak pernah satu pun ayat suci yang
menudingnya sebagai sebuah sikap yang salah, bahkan usaha dan sikap yang
sungguh-sungguh dalam pencarian itu membuatnya dijuluki sebagai Bapak Semua
Agama, millah Ibrahim adalah millah agama tauhid. "Ibrahim
bukanlah orang yang mempersekutukan Tuhan."
Ibrahim, adalah contoh sosok mujtahid, orang yang berijtihad untuk menemukan kebenaran,
melakukan koreksi secara radikal atas keyakinan dan keberagamaannya sendiri. Ijitihad yang seakar dengan kata jihad adalah sebuah kesungguhan, usaha
maksimal untuk mengetahui, memahami dan menemukan kebenaran, dan usaha itu tak
pernah final, perjalanan itu tak pernah finis dan selesai. Ibrahim hanya
mewariskan kata kunci dalam ijtihadnya,
ia tak menyukai yang terbatas.
Semua yang beragama, pastilah
sepakat bahwa Tuhan adalah 'sesuatu' yang tak terbatas. Kesepakatan bersama
itulah yang melahirkan imajinasi kolektif tentang Tuhan yang absolut, mutlak
dan memiliki kepatutan menjadi sembahan, menjadi kebenaran puncak sebagai Yang
Maha Benar. Sedangkan perjalanan menuju ke kebenaran absolut itu adalah
kebenaran yang nisbi, yang setiap saat berubah menjadi sesuatu yang tak benar,
maka sangatlah tak layak, setiap orang yang menuju dan masih berusaha menempuh
perjalanan menuju ke kebenaran itu, saling menyalahkan dan menyesatkan.
Setiap kita, barangkali memiliki
persepsi dan imajinasi masing-masing tentang kebenaran dan kebajikan, persepsi
yang kita dekap dengan penuh keyakinan. Imajinasi adalah mekanisme psikis dalam
melihat, melukiskan, membayangkan, atau memvisualkan sesuatu dalam struktur
kesadaran, yang menghasilkan sebuah citra (image)
pada otak, (YAP, Agama dan Imajinasi, 2011;
xxi). Kita membayangkan, melukikskan dan memvsisualkan agama yang ideal, Tuhan yang ideal, keshalihan yang ideal berdasarkan imajinasi personal.
Menurut Yasraf Amir Piliang,
dalam kehidupan beragama, individu, kelompok atau umat memproduksi bayangan tentang umat, agama, dan Tuhan
itu sendiri. Piliang mengutip Mulla Shadra yang berbicara tentang bentuk
imajinasi pada tingkat transendental, yang disebut imajinal. Bentuk-bentuk
imajinal yang tidak berada pada otak (material), tidak juga pada tubuh-tubuh
langit, bahkan tidak juga pada khayaliyah
yang berada terpisah dari jiwa.
Menurut Ibnu Khaldun, berpikir (fikr) adalah penjamahan bayang-bayang (image) tentang sesuatu di balik perasaan
dan aplikasi akal untuk membuat analisis dan sintesis dari apa yang
dibayangkan, berpikir menghasilkan pikiran intuitif (fuad), (Muqaddimah, 2005:
522).
Imajinasi personal yang
melahirkan simbol-simbol keshalihan, baik itu yang didapatkan dari proses melihat
dari luar diri, mendengar, menghayal atau bahkan yang diproduksi oleh media
sosial, ataupundari dalam diri berupa mimpi, dan semua imajinasi personal tentang kebenaran tersebut tentu saja bukanlah kebenaran absolut. Berimajinasi tentang 'sesuatu' berarti menciptakayan bayangan tentang sesuatu itu, dan dapat dipastikan bayangan itu bukanlah sesuatu itu.
Kebenaran absolut adalah milik yang Maha Benar, ia diimani oleh semua orang, korespondesif, konsisten dan pragmatis, bukan kebenaran yang didaku dan berlaku untuk satu orang atau satu kelompok. Setiap orang yang meyakini kebenaran adalah hasil ikhtiar, interpretasi, ijtihad tentang kebenaran yang bersifat relatif, dan oleh karenanya jalan ijtihad itu harus selalu membuka diri untuk berdialog dengan kebenaran-kebenaran nisbi lainnya, tentu dengan dialog setara, tanpa amarah.
Kebenaran absolut adalah milik yang Maha Benar, ia diimani oleh semua orang, korespondesif, konsisten dan pragmatis, bukan kebenaran yang didaku dan berlaku untuk satu orang atau satu kelompok. Setiap orang yang meyakini kebenaran adalah hasil ikhtiar, interpretasi, ijtihad tentang kebenaran yang bersifat relatif, dan oleh karenanya jalan ijtihad itu harus selalu membuka diri untuk berdialog dengan kebenaran-kebenaran nisbi lainnya, tentu dengan dialog setara, tanpa amarah.
Tak perlu buru-buru menuding orang lain menganut paham baru, karena bisa jadi kita yang baru paham.
0 Comments: