Malam itu, (Sabtu, 10/2/2018)
suasana separuh halaman belakang Cafe Mama ditutup dengan kain hitam, disulap
menjadi ruang yang sekelilingnya tertutup meski atasnya tetap dibiarkan terbuka,
beratap langit.
Sore harinya hujan deras sempat
mengguyur Kota Metro, ada rasa was-was hujan tak berhenti. Andika Gundoel
Septian, sang aktor sekaligus sutradara pertunjukan Monolog Topeng karya Rahman
Sabur yang akan digelar malam itu, terlihat tetap tenang, meski wajahnya tampak
khawatir.
Beruntung, pukul 17.00 hujan reda
dan langit kembali terang, pelan-pelan awan hitam yang menyelimuti langit kota
beranjak pergi dan tak kembali hingga pertunjukan usai digelar.
Lepas isya', tepat pukul 20.00, pertunjukanpun
segera dimulai. Penonton segera memasuki ruang pertunjukan, dua penari perempuan
menyambut penonton yang tanpa komando mengambil tempat duduk secara tertib.
Semua duduk lesehan tanpa alas.
Tak lama usai penampilan dua
penari, tiba-tiba suasana pencahayaan panggung dibuat temaram, seorang laki-laki
muncul dan menari, gerakannya seperti siluet, tepatnya seperti bayangan yang
bergerak ke kanan dan ke kiri, melenggang bak penari jaipong.
Perlahan pencahayaan panggung
mulai lebih terang, sosok laki-laki yang semula seperti bayangan itu hadir di hadapan penonton, dia adalah Andika Gundoel Septian, yang
berperan sebagai anak panggung. Ia berteriak.
"Wajah kita adalah
topeng-topeng. Semua wajah bertopeng. Topengku dan topengmu saling
menterjemahkan isyarat. Ayo! Siapa diantara kita bersedia menanggalkan topeng
dirinya?"
Hening,
Ia kembali berceloteh.
Bunyi tetabuhan membuat jeda.
Laki-laki itu kembali bersuara memanggil nama seseorang. Waska.
"Waska! Aku dengar
kemiskinanmu di mana-mana. Lapar badan dan lapar jiwa telah membuatmu angkuh.
Dan kau tak pernah takut mati. Kau dengar Waska?"
Laki-laki itu, mengambil
topeng, meletakkan topeng itu di depan wajahnya, menggeser ke atas kepalanya,
sembari berseru.
"Begitulah, kegelisahan
dramatik seorang Waska!"
Tapi apakah benar Waska itu telah
mati? Apakah benar, Waska sebelumnya pernah bertemu dengan malaikat pencabut
nyawa? Dan apakah benar Waska itu gila?
Untuk lebih jelasnya saya akan
menghubungi dia.
Waska…! Waska…! Waska…!
Waskaaaaaaa…! Waskaaaaaaaaaa…!
Tiba-tiba, kembali terdengar
bunyi tetabuhan, wangi dupa menyebar. Dan lelaki itu menjelma sosok Waska.
"Sebelum saya menjawab
pertanyaan-pertanyaan sahabat saya, kiranya saya perlu menjelaskan, bahwa saya
bukan lagi seorang Waska. Saya adalah seorang Semar. Dan siapa bilang saya ini
sudah mati?"
"He…he…he…itu kan hanya dalam lakon sandiwara saja."
Sungguh saudara! Saya belum mati.
Saya masih cinta hidup. Kecintaan saya terhadap kehidupan ini begitu luar
biasa! kalau ada yang mendengar kabar bahwa saya telah mati, itu isu! Jangan
percaya! orang saya masih hidup, dikatakan sudah mati? bagaimana ini? lalu
dikatakan juga bahwa saya ini, katanya pernah bertemu dengan malaikat Jibril?
bohong itu!
Lha, saya hanya pernah bermimpi
ketemu dengan almarhum Mbah saya. Masa Mbah saya dikatakan malaikat? itu
mengada-ada. Itu berlebihan.
Jangan-jangan malaikat Jibril
nantinya tersinggung dan almarhum Mbah saya juga tersinggung oleh fitnah ini.
Baik, sekarang pertanyaan mana
lagi yang belum saya jawab?
Oh ya! tentang proyek, ya itu proyek Jembatan
Surga. Jembatan dan Surga.
Proyek itu adalah proyek
kemanusiaan religi yang paralel dengan bisnis juga. Tidak apa-apa kan?
halalkan? Proyek itu juga bisa dikatakan sebagai rasa syukur saya kepada Tuhan
yang telah memberikan rejeki yang berlimpah. Karena terus terang saja,
kehidupan saya sebelumnya tidak seperti sekarang ini. Astaga! saya jadi
teringat kembali ke masa hidup saya dulu. Masa sulit dan pailit.
Tapi maaf. Sekali lagi saya mohon
maaf. Saya harus segera pergi. Saya harus memimpin rapat para pemegang saham.
Saya pikir, saya sudah menjawab semua pertanyaan.
Waska pergi. Lelaki sebagai anak
panggung itu kembali.
Bagaimana saudara-saudara? Meskipun belum puas, tapi untuk sementara kita puas-puaskan saja dulu. Dan yang
jelas, bahwa Waska masih hidup sehat wal afiat,
segar bugar. Kalaupun sekarang ia berganti nama menjadi Semar, itu semata
karena kebutuhan administrasi saja. Bagaimanapun ia tetap seorang Waska.
Nah, sekarang mari kita berikan
kesempatan bicara kepada Semar. Barangkali ia juga ingin menyampaikan sesuatu.
Anak panggung itu pun kembali memanggil.
Semaaaaaaaarr…! Semaaaaaaarrr…!
Semaaaaaaaaaaarrr…!
Tetabuhan kembali berbunyi, wangi
dupa menyeruak bersama asap tebal yang pelan-pelan menipis bersaba kehadiran
lelaki yang menjelma menjadi Semar.
"Maaf, sebelum saya bicara lebih
jauh, terlebih dahulu saya harus meluruskan sebuah kebengkokan. Saya bukan
Semar, saya adalah Waska. Saya betul-betul Waska. Memang banyak sekali orang
bernama Waska. Tapi saya adalah Waska yang paling Waska. Waska dari segala
Waska. Dunia saya adalah dunia Waska. Penderitaan saya adalah penderitaan
Waska. Borok saya adalah borok Waska. Sakit saya adalah sakit Waska. Dendam
saya adalah dendam Waska. Kemiskinan saya adalah kemiskinan Waska. Lapar saya
adalah lapar Waska."
Laki-laki yang mengaku Waska itu
memukul-mukul drum, tong, sebelum
akhirnya melanjutkan.
"Bagaimana lagi saya harus
menjelaskan? Percuma saja saya menjelaskan karena mereka tidak punya telinga. Berfikir!
berfikir! Percuma saja saya berfikir karena mereka tidak mau menerima pikiran
orang lain. Berdo’a! Berdo’a! Percuma saja saya berdo’a karena Tuhan sudah
tidak mau mendengar."
Lebih baik saya diam. Diam bagai
batu. Saya memang batu. Batu yang angkuh! Saya harus menjadi angkuh karena
semua orang telah menjadi musuh.
Lelaki itu seperti kelelahan.
Tiba-tiba lelaki yang mengaku
Waska itu mendengar suara yang menyuruhnya istirahat. Dan Waska menjawab
"Siapa bilang saya lelah? aku
tidak lelah! Bangsat! mereka mengunyah-nguyah dagingku! mereka menghisap
darahku!"
Ia memegang lututnya, seperti
seorang yang kesakitan teramat sangat. Membalutkan kain. Laki-laki itu mengerang kesakitan. Tumbang,
"Bertahanlah Waska!
Bangkitlah Waska! Ayo bangkitlah Waska!" Ia menyemangati dirinya.
Bangkit dan kembali tumbang.
"Berdirilah Waska! Ayo
berdiri! Kau harus berdiri diatas kakimu sendiri!" Kembali ia berusaha
membangitkan semangatnya.
Bangsat! Aku masih tetap seorang
Waska. Aku masih bisa bangkit, berdiri dan berjalan. Ayo kaki! Berjalanlah!
Kemana kau suka! Ayo kaki! kau harus berjalan! Mengembaralah ke gunung-gunung,
ke bukit-bukit, ke lembah-lembah.
Bangkit dan tumbang
Ampun Tuhan... Ampun. Aku Kalah..
Ia menangis.
Begitulah, sekilas pagelaran
panggung Monolog Topeng selama 45 menit itu. Berhasil membuat penonton hening,
hingga semua lampu dinyalakan. Barangkali ada yang meraba apa pesan yang ingin
disampaikan.
Pesan Sosial Waska
Mungkin, beberapa penonton
bingung dan bertanya siapa Waska? Siapa Semar? Kenapa saat Waska dipanggil,
tetapi yang muncul justeru Waska yang mengaku Semar, dan saat Semar yang
dipanggil, justeru yang hadir adalah Semar yang mengaku Waska.
Andika Gundoel Septian, berusaha
memainkan peran sebagai anak panggung yang sekaligus memerankan pergantian
tubuh, antara Waska dan Semar, mencari jalan tengah
itu, Gundoel sebagai anak panggung bergerak menyusur alur, berganti adegan dengan menyentuh karakter dan
gestur tubuh Waska dan Semar. Ia hendak menyampaikan pesan soal Waska yang
berbohong dengan mengaku sebagai Semar, dan Semar yang hendak meluruskan
kebohongan Waska, dengan mengaku Waska.
Waska dan Semar dua sosok yang
mungkin cukup mewakili realitas kehidupan kita.
Suara-suara menjadi teriakan,
membangun dialog. Endapan-endapan imajinasi Gundoel sebagai sang aktor, hadir
di panggung menghadirkan karakter Waska dan Semar, karakter yang mewakili watak
manusia umumnya.
Perubahan yang begitu terasa
dengan geraman vokal dan gestur aktor, permainan pencahayan dan musik. Bisa
jadi, penjelmaan Waska yang mengaku Semar itu adalah penjahat kecil yang
berubah menjadi perampok semesta, berkedok pengusaha yang mengerjakan proyek
surga. Padahal ia justeru memakan dan menghisap darah sesamanya, dengan
bertopeng proyek besar kemanusiaan. Begitu juga Semar adalah tokoh lain yang
diperankan Waska, ketika Semar hadir ia tidak ingin mengakui dirinya sebagai
Semar, ia adalah Waska, sewaska-waskanya.
Kekuatan narasi dari anak
panggung dengan letupan borok-borok peristiwa kemanusiaan, mungkin adalah intertekstual
dalam tokoh Waska dan Semar sebelumnya. Karakter kesadaran dengan adanya dua
nilai yang memaksa individu harus memilih. Memilih untuk mengikuti, menerima
atau menolaknya.
Dalam narasi monolognya, Waska yang
didaku Semar, tengah putus asa, mengutuk dirinya seperti sudah terjebak dalam
mimpi, mimpi yang diciptakan dari ruang keinginan sehingga sudah tidak percaya
sama Tuhan sekalipun. Ya, pada akhirnya terkesan amat jauh melihat lubang
kecil di ujung labirin.
Begitulah, Andika Gundoel
Septian, berperan sebagai anak panggung, sahabat Waska dan Semar dalam Monolog
Topeng karya Rahman Sabur di pelataran halaman belakang Cafe Mama, menghadirkan
wajah dari realitas sosial kita.
"Angkat topi buat Gundoel,
meski dari sisi keaktoran saya harus memberi banyak catatan, banyak sekali
PR-nya. Soal totalitas, feel dan
gerakannya. Tangga dramatiknya berantakan, soal artistik semuanya keren, setting
keren, kemunculan keren, tapi Gundoel terasa enggak nyaman di panggung, termasuk kehadiran wayang yang
dijatuhkan" ujar Duma, aktifis senior panggung teater, yang sudah
menyutradarai beberapa naskah teater dan di akhir April nanti akan mementaskan
Monolog Puisi dari puisi Joko Pinurbo, di beberapa kota.
Padahal, lanjut Duma, sebagai
pekerja teater, semestinya Gundoel mampu menghadirkan sosok Waska yang melakukan pemberontakan itu, bisa mengungkap
banyak hal, kelaparan, penderitaan dan hal-hal lain yang menyebabkan ia
memberontak.
Hal yang sama juga disampaikan
Sari, Guru Kesenian SMA Muhammadiyah yang sejak menjadi mahasiswa di UNY, juga telah
aktif berteater.
"Make up-nya kurang. Saya masih melihat Gundoel yang saya temui sehari-hari di
panggung, bukan Waska atau Semar, karena barangkali make upnya kurang." Kritik Sari sesaat setelah pertunjukan.
Ketua Dewan Kesenian Metro (DKM),
Muadin Effuari, juga mengaminkan itu, terutama terkait peralihan dari
tokoh-tokoh yang diperankan Gundoel dalam Monolog Topeng tersebut.
"Sebenarnya bisa disiasatin dengan lighting." Saran Muadin.
"Bagaimanapun dan apapun,
tanpa harus melacurkan diri dengan menyesuaikan keaktoran dengan selera pasar,
kita tetap bisa menyampaikan pesan dan membuat penonton nyaman. Dan sebagai
bara api, saya angkat topi buat Gondoel, karena semua itu aku paham tak
gampang." tutup Duma.
Dan Andika Gundoel, dalam dua
kali pementasan yang disutradarainya, telah berhasil membuat geliat berkesenian
di kalangan anak-anak muda di Kota Metro, terutama membawa teater di ruang
publik seperti Cafe, dan berani membuka diri untuk dievaluasi.
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
Kerem banget euy..
ReplyDeleteMakasih Om, jangan bosen2 berkunjung ya...
Delete