Di suatu sore, dalam perjalanan
ke Bandarlampung saya bersama adik-adik saya sempat berdiskusi muasal istilah pelakor. Saya juga sempat bertanya,
apakah mereka sebagai perempuan tidak 'merasa' bahwa istilah itu sebenarnya
sangat tidak adil bagi perempuan, diskriminatif.
Diskusi kami menguap, barangkali
karena kami memang bukan siapa-siapa, alih-alih untuk membendung istilah itu
tak menyebar, untuk menggugat dan protes saja sepertinya tak memiliki daya.
Waktu pun terus berjalan, pelakor semakin
populer, terutama di dunia sosial, jagad maya yang semua informasi mengalir
lebih deras daripada luapan air kali yang menggenangi kota kami.
Beberapa waktu lalu, Bu Dendy
kembali membuat heboh! Sembari melempar uang ke perempuan yang disebutnya
pelakor, Bu Dendy juga berteriak mengumpat, "Nyoh duit, ... tuku omah! Piro harga dirimu, tak teko' ...". Warga
jagad mayapun menyambutnya dengan beragam komentar, mayoritas tentu saja
negatif, meski ada juga yang kreatif membuat meme lucu.
Pelakor, perebut laki orang. Istilah yang populer sejak pertengahan tahun 2017
untuk menunjuk satu pelaku perselingkuhan, kini semakin akrab dengan masyarakat,
beberapa percakapan WhatsApp dan video terkait pelakor selalu viral di media daring. Namun, kenapa perempuan
selalu yang bersalah dan terpojok? Mengapa istilah yang lahir itu senantiasa,
hegemonik dan tak setara? Kemana dan di mana laki-laki dalam perilaku tak
beradab dan asusila itu?
Dulu, kita mengenal istilah
Wanita Tunasusila (WTS) untuk menegaskan identitas pelacur bagi perempuan,
istilah itu begitu sering kita gunakan tanpa beban, sembari melupakan bahwa ada
laki-laki yang sama tak bersusilanya dengan si perempuan yang kita maksud.
Bukankah, pelacuran tak akan pernah ada, jika pelakunya tunggal, perempuan saja
misalnya.
Dulu, Bahasa Indonesia kita juga
mencatat, laki-laki yang berbuat tak senonoh kepada para perempuan, memperkosa
disebut dengan menggagahi, istilah yang sebenarnya tak pantas untuk kelakuan
amoral dan bejat. Begitulah, ketidakadilan itu dilegalisasi hampir di semua
lini, institusi, tradisi dan budaya, hingga bahasa. Istilah polwan untuk
menyebut bahwa perempuan hanyalah bagian 'lampiran' dari institusi Polri, isi
utamanya adalah laki-laki adalah salah satu dari segian banyak diskrimanisi
yang dilembagakan itu.
Kini, istilah pelakor kembali
muncul untuk memosisikan perempuan sebagai pihak yang terpojok. Laki-laki dalam
perilaku selingkuh itu, seakan-akan benda mati yang tak berdaya, sesuatu yang
direbut, dan perebutnya adalah perempuan. Mediapun masif menulis tanpa berpikir
bahwa istilah yang diucapkan berulang-ulang itu sangat mempermalukan dan
semakin menegaskan dominasi dan sama sekali tak menyalahkan laki-laki.
Tradisi kita seakan-akan mewajibkan
para perempuan saja untuk menjaga moral dan tata nilai, sedangkan para lelaki
dianggap lumrah dan wajar saja, ketika menebar kegenitan dan melakukan
perselingkuhan. Maka, istilah pelakor muncul menjadi indikator baru betapa
kultur yang dibangun sangat memuliakan laki-laki, padahal tak ada yang terpuji
dari perilaku keduanya.
"Pak Dendy tak mungkin meneruskan niatnya, jika kamu tidak menanggapi,"
begitu Bu Dendy melakukan pembelaan secara tak langsung atas sikap suaminya
yang selingkuh. Barangkali Bu Dendy tak sepenuhnya paham, bahwa laki-laki belis selalu memiliki akal bulus dan tak kenal menyerah sebelum
mendapatkan apa yang diinginkannya.
Suatu hari, saya pernah bertanya
kepada istri. "Jika suatu waktu mendapati suamimu bersama perempuan lain,
atau digoda perempuan lain, apakah kamu akan menyalahkan perempuannya sebagai
penggoda?" Dengan lugas ia jawab, semuanya bersalah.
Budaya patriarkhi selalu
menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa utama, mendominasi, memiliki
otoritas moral dan hak sosial untuk mengendalikan. Di satu sisi, perempuan
dianggap lemah dan tak berdaya, tetapi dalam kasus pelakor tiba-tiba perempuan menjadi full power, memiliki otoritas dan kemampuan merebut, laki-laki
menjadi tak berdaya, menjadi korban, dan simpulnya dianggap lebih bermoral.
0 Comments: