![]() |
Ilustrasi |
“Bacalah dengan menyebut nama
Tuhanmu
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam. Dan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq (96) : 1-5)
yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan nama Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantara qalam. Dan mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq (96) : 1-5)
Dalam riwayat yang sahih tentang asbab al nuzul Surah al
‘Alaq ayat 1-5 di atas, Malaikat Jibril meminta Muhammad SAW untuk membaca
hingga tiga kali. Sirah tersebut sebagai penanda bahwa sejak mula kedatangan
Islam, membaca telah menjadi fokus dan keharusan, membaca telah menjadi entry
point pengetahuan.
Membaca sebagai perintah pertama yang diterima Rasulullah SAW
seharusnya menjadikan kebiasaan membaca sebagai budaya yang tidak terpisahkan dari
seluruh ritual umat Islam. Menjadi ironi, umat Islam yang memiliki kesejarahan
yang sangat dekat dengan tradisi literasi tetapi justeru berjarak dengan buku
dan pengetahuan. Hal tersebut menjadi salah satu bukti bahwa Islam masih
dipahami sebagai ajaran dan ritual, belum menjadi nilai yang menyatu dengan
perilaku dan aktivitas hidup umat Islam.
Ayat pertama al Quran yang memuat perintah membaca turun ketika bulan Ramadhan. Mestinya Ramadhan sebagai bulan yang dianggap suci, sejalan dengan keyakinan perintah untuk membaca sebagai perintah suci, ajaran suci. Ramadhan bisa
dijadikan momentum sebagai pijakan awal membumikan kembali tradisi literasi, membaca dan
menulis. Ramadhan menjadi moment tepat untuk mengingat dan mentadabburi
wahyu pertama yang menjadi titik tolak pengingat pentingnya tradisi literasi,
turun di sepuluh akhir Ramadhan tepatnya pada malam lailatul qadar, Nuzulul
Quran. Ramadhan sebagai bulan suci, keniscayaan membaca sebagai bagian penting dari bulan suci juga adalah perintah suci.
Nuzulul Quran yang secara harfiah bermakna turunnya bahan bacaan
(al Quran) dan iqra yang diartikan dengan bacalah, ditafsirkan oleh Quraish Shihab dalam Tafsir
al Mishbah terdiri dari aktivitas membaca, menyimak, memahami dan meneliti
sehingga dimensi perintah membaca tidak melulu dipahami secara sempit dan
tekstual.
Membaca Sebagai Ibadah
Membaca sebagaimana diperintahkan dalam surah al ‘Alaq ayat 1 -5 merupakan bagian yang tak terpisahkan dari soal
iman dan semangat teologis. Membaca tidak semata-mata sebagai aktivitas
lahiriah tetapi juga menjadi bagian ibadah, membaca dalam Islam memiliki
pijakan ideologis dan teologis, seorang muslim yang baik semestinya adalah
muslim yang membaca dan dekat dengan pengetahuan, pun sebaliknya, jika
mayoritas muslim memiliki minat yang rendah terhadap tradisi membaca dan
berjarak dengan pengetahuan barangkali itu berkait erat dengan kehampaan teologis, banyaknya muslim yang
beragama tanpa dasar.
Perintah membaca dalam Islam sejatinya mengarahkan umat Islam agar mampu
membangun peradaban buku, masyarakat yang memuliakan keberaksaraan, muslim yang
rasional bukan muslim emosial yang mengandalkan tradisi kelisanan yang dangkal.
Perintah membaca tidak boleh dimaknai sebagai perintah biasa-biasa
saja, karena sesungguhnya perintah membaca memiliki semangat revolusioner atas
perabadan jahiliyah yang sama sekali tidak mengenal baca-tulis, kendati
penulisan al-Qur’an secara
sistematis dalam bentuk kodifikasi lengkap baru dimulai pada masa kekhalifahan
Utsman bin Affan.
Fenomena hari ini, umat Islam mengalami keterbelakangan terhadap
penguasaan ilmu pengetahuan karena rendahnya semangat membaca, meski secara
kwantitas lebih besar.
Bahkan, saya
mengalami dan menyaksikan, ada banyak muslim yang menjalankan agama, keyakinan
dan beribadah hanya bermodal semangat dan fanatisme buta, ketika ditanyakan
landasan amalan dan ritual keagamaan mereka, mayoritas
dipastikan tidak paham dan tidak tahu, dan dengan lugu akan menjawab beginilah
tradisi yang diwariskan secara turun temurun dari nenek moyang kami atau ada
yang menjawab beginilah mayoritas muslim menjalankan agama.
Aktifitas mengaji bersama atau dikenal tadarrus di kalangan umat Islam, harus
lebih diarahkan pada pembacaan kritis terhadap teks dan konteks, bukan membaca
tanpa memahami, sehingga tidak
meninggalkan dan menanggalkan
pengetahuan apapun dari apa yang dibaca. Al Quran mengumpamakan orang yang
memiliki kitab (bacaan) seperti
keledai yang membawa banyak kitab tebal di punggungnya, tetapi tidak mampu
memahami dan menangkap makna dari kitab yang dibawanya (Qs. al Jumuah: 5).
Membaca adalah bagian dari proses pembalajaran sangat penting,
termasuk menularkan apa yang telah dibacanya dalam bentuk tulisan yang akan
menggerakkan lebih banyak manusia untuk membangun spirit literasi. Kedaulatan
suatu bangsa sangat ditentukan oleh tingkat literasi penduduknya, dan sebagai
warga mayoritas sudah seharusnya muslim bertanggungjawab terhadap kemajuan dan
kemunduran bangsa ini.
Jika agama sangat ditentukan kredibilitasnya dari keberadaan kitab
sucinya, maka semestinya kredebilitas pemeluk agama juga ditentukan oleh
sejauhmana ia membaca dan memahami kitab suci agamanya. Bukan mendadak relegius
dengan semangat meledak-ledak, membela kepentingan agama, padahal pengetahuannya
tentang agamanya sangat minimalis, membaca kitab suci saja masih terseok-seok,
alih-alih memahami maksudnya.
Akibatnya, banyak terjadi inkonsistensi sikap antara ucapan dan
penampilan bela agama dengan sikap dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari. Di
satu sisi berteriak bela agama dengan atribut agama lengkap, di sisi lain dia
justeru mengerdilkan agama dengan lelakunya yang sombong, angkuh dan selalu
memandang rendah orang lain.
Para ulama salaf mewanti-wanti soal pentingnya pengetahuan dalam memahami
agama. Dalam rekaman sejarah, Imam Malik pernah marah dan menegur
seseorang yang hendak meninggalkan majelis ilmu yang beliau berada di dalamnya,
padahal yang beliau tegur tersebut hendak pergi untuk mengerjakan salat. Imam
Malik berkata: "Ya fulan, maa kunnaa fihi laisa biadnaa maa
kunta fiihi (Wahai fulan, tidaklah kami yang duduk menuntut ilmu di sini lebih rendah dari
engkau yang akan mengerjakan salat."
Imam Malik ingin menyampaikan bahwa, menuntut ilmu itu sangat tinggi
dan aktivitas ibadah tidak akan sempurna tanpa ilmu, tanpa pengetahuan. Membaca
adalah salah satu cara untuk mendapatkan pengetahuan, termasuk membaca teks suci, al Quran, ada proses
internalisasi gagasan, ide atau pesan dari Tuhan kepada tiap pembaca,
meski barangkali proses membaca
kitab suci berbeda dari
membaca buku pada umumnya. Namun, intinya aktivitas membaca keduanya memiliki
tujuan dan sasaran yang sama,
yakni tersampaikannya pesan, gagasan atau ide, dari penulis ke pembaca.
Ala kulli hal, membaca menjadi sangat penting untuk
memiliki pengetahuan yang baik, dengan syarat bukan hanya membaca satu kitab
atau buku kemudian menarik kesimpulan tentang kebenaran.
Jadi, marilah membela
agama, salah satunya dengan rajin
membaca dan mencintai majelis ilmu.
Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo
0 Comments: