Konon, para politisi atau calon pemimpin politik kita
masih mengandalkan perang citra untuk meraih dukungan pemilih. Ironisnya, hal
tersebut diklaim merupakan satu dari banyak buah yang disemai dari reformasi,
kebebasan! Setiap orang berhak mengekspresikan ide, gagasan, pemikiran dan
tindakan politik, termasuk imajinasi
palsu. Kampanye yang digencarkan juga seringkali melibatkan sentimen
lingkungan keluarga, suku, ras, etnis dan agama.
Bangunan historisitas demokrasi yang terlanjur terbangun
di atas pondasi SARA dimanfaatkan secara maksimal, sehingga mudah ditebak,
kampanye mengerahkan massa selalu bergerak di dua titik ekstrim, pengajian dan dangdutan atau sesekali wayangan,
jalan sehat dan kegiatan sejenis lainnya, isu yang dikampanyekanpun tak jauh-jauh dari sentimen tersebut,
sesekali dibumbui cerita kesejahteraan.
Sisanya bergerak dalam gerakan samar,
menebar teror sembako dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Jika model kampanye seperti itu terus berlangsung, maka
dapat diprediksi pemilu tak akan melahirkan sosok pemimpin yang
transformasional. Mudah ditebak, siapapun yang terpilih nanti, hasilnya begitu-begitu saja. Sembari berdoa tak
bernasib apes di-OTT KPK, mereka akan terus menjalankan roda
pemerintahan dengan model pembangunan berbasis proyek sarat setoran, jual beli
pos-pos strategis kekuasaan, dan menyisakan sampah untuk dikonsumsi warga yang dibungkus
seolah-olah kue gurih nan lezat.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Sebagai pelamun tingkat
tinggi, atau meminjam istilah politisi gaek
atau PLN (Politisi Lamo Nian) - yang
kini rajin mengkritisi kebijakan penguasa- kelompok imajiner, saya hanya bisa berandai-andai. Andai gerakan kampanye
yang konon menelan biaya hingga milyaran itu dirubah menjadi kampanye literasi,
kampanye menulis, kampanye membagikan buku atau gerakan membukukan ide dan
gagasan yang sering diteriakkan dengan lantang di atas panggung kampanye, akan
ada berapa eksemplar buku dan perpustakaan berdiri ya?
Tapi, politisi kan memang
bukan ilmuwan yang mencintai pengetahuan, mencintai literasi? Kata siapa? Tak
boleh berburuk sangka, buktinya ada banyak politisi yang peduli dengan gelar akademis
berderet-deret di belakang atau di depan namanya. Lagian, gerakan literasi ini juga tak terpisah dari gerakan
literasi politik, pendidikan politik yang menjadi kewajiban partai politik dan
para politisi di dalamnya untuk membuat warga tercerahkan dan melek politik.
Menurut banyak orang yang diaminkan oleh banyak orang
pula, bahwa semakin orang melek literasi akan semakin terdidik, semakin
terdidik pemilih semakin murah biaya politik. Bahkan Paul Zurkowski, orang yang
dianggap pertama kali mempopulerkan istilah literasi informasi, menggambarkan
orang-orang yang melek informasi itu sebagai orang orang yang terdidik dalam
mengaplikasikan sumber-sumber informasi terhadap pekerjaan mereka.
Gambaran tersebut jika ditarik dalam konteks Pilgub
Lampung, maka literasi dapat dipahami sebagai kemampuan warga Lampung untuk
mendefinisikan kebutuhan mereka akan substansi politik terutama soal pemimpin
yang akan memimpin mereka 5 tahun ke depan, apa, siapa, dan mengapa harus
memilih mereka?
Pemilih mampu membandingkan dan mengevaluasi berbagai
tawaran politik yang disodorkan kepada mereka, sekaligus mampu
mengorganisasikan, membuat sintesis, serta membentuk jejaring pemilih rasional
dalam proses transaksional dengan pemimpin yang akan diberi mandat kekuasaan
oleh mereka. Lebih bermanfaat dan lebih murah kan? Andai saja!
Bayangkan saja, jika model kampanye konvensional dangdutan, wayangan, jalan sehat, atau
pun pengajian yang mendatangkan ustadz-ustadzah selibritas itu dialihkan jadi
kampanye literasi, setidaknya akan ada 16,6 juta eksemplar lebih buku seharga 30 ribu/eks yang tersebar
di satu titik kampanye yang menelan biaya hingga 500 juta percalon, bayangkan
jika dilakukan oleh 4 pasang calon?
Belum lagi gagasan dan ide yang dibukukan, teks dan
janji-janji itu akan mengabadi dalam rak-rak buku perpustakaan yang berhasil
dibangun semasa kampanye di posko-posko pemenangan, di kampung-kampung, di
pasar dan pusat-pusat basis massa, bisa dibaca kapan saja, ketika atau sesudah
selesainya hajat politik sebagai dokumen janji yang harus ditepati atau ide-ide
hebat tentang pembangunan.
Belum lagi, jika membayangkan dampak sampingya, ada
berapa banyak usaha kreatif penerbitan lokal, para desain grafis lokal, pembuat cover buku, editor
dan pemeriksa aksara yang berhasil diberdayakan?
Masa kampanye merupakan momentum yang tepat untuk
melakukan gerakan literasi yang asyik, di mana kampanye tidak semata-mata berhasil
mengemas citra melainkan juga mentransformasikan kesadaran dan kemampuan menjadikan
pemilih rasional.
Andai saja!
0 Comments: