"Gila! Entah seliar apa
imajinasi Dee Lestari, masalah 'bau' saja, bisa jadi novel sekeren ini!"
Begitu yang terlintas di benakku, sesaat ketika aku menuntaskan membaca Aroma Karsa, novel terbaru karya Dee
Lestari setebal 696 halaman ini.
Konon, membaui adalah aktivitas
indera penciuman pertama manusia. Aroma bisa melemparkan orang dengan kuat pada
sebuah kenangan tentang seseorang, membuat terdiam dan hening beberapa saat,
berhasil menyusun kepingan-kepingan tentang masa lalu, tanpa bisa
memverbalkannya, walaupun begitu membaui adalah hal yang paling sulit diungkap
secara verbal dan kebahasaan.
Kesulitan menarasikan bau secara
panjang lebar itulah, yang menjadi 'kegilaan' Dee Lestari dalam novel ini.
Bak peracik parfum yang handal,
seperti tokoh Jati Wesi dan Suma dalam novel Aroma Karsa ini, Dee Lestari sangat pialang meracik beragam unsur,
mulai dari bau sampah di TPA Bantar Gebang, perusahaan parfum, petualangan di
Gunung Lawu, serpihan legenda kuno Majapahit, makhluk gaib hingga percik aroma percintaan
yang mengaduk-aduk perasaan.
Bermula dari kisah Janirah si
Pencuri (hlm 1-13), Raras Prayagung mendapati lontar kuno bersama sebotol
berisi cairan dari bunga Puspa Karsa yang dicuri Eyang Putri-nya dari keraton,
cerita dalam novel ini diracik, aromanya menyebar hingga pelosok negeri, tak
kurang dari 10 eksemplar terjual sebelum cetak.
Di lembar-lembar awal, Dee sudah menyampaikan pesan yang kuat
terkait dengan mencuri. Mencuri bukan sembarang, mencuri yang benar-benar
berarti, membagikan faedah bagi orang banyak. Mencuri laku yang meski tak
dibenarkan, di tengah keterbatasan dan kepapaan niscaya dilakukan, tetapi tetap
harus menghitung manfaatnya.
Puspa Karsa, barang curian yang
berharga itu, berhasil merubah keturunan Janirah hingga tatanan teratas,
memberi manfaat untuk banyak orang, namun di sisi lain Puspa Karsa lazimnya
materi, harta dan kekuasaan yang tak pernah cukup untuk dicari dan direbut,
sukses melanggengkan obsesi keserakahan duniawi.
Puspa Karsa, titik awal
petualangan narasi Aroma Karsa dimulai. Raras Prayagung yang merupakan cucu
Janirah, mulanya menganggap cerita si Eyang Putri adalah dongeng semata,
berubah menjadi orang yang sangat ambisius. Setelah sukses menciptakan beragam
aroma untuk memuaskan hidung-hidung borjuasi, terobsesi untuk menemukan Puspa
Karsa di puncak Gunung Lawu, ambisi telah membuatnya abai dan tak lagi
mengindahkan norma.
Ketika perburuan Puspa Karsa
dimulai, Raras Prayagung melibatkan peneliti, akademisi, tentara, profesional
hingga juru kunci Gunung Lawu. Namun, Ekspedisi Puspa Karsa pertama gagal! ada
banyak korban, Profesor Sudjatmiko seorang peneliti meninggal, sang Juru Kunci
juga meninggal bahkan Raras Prayagung juga terkena dampak, ia menderita lumpuh,
(hlm. 564 - 592).
Kegagalan itu tidak lantas
membuat Raras jera dan mengurungkan niatnya untuk mendapatkan Puspa Karsa.
Justeru perburuan lebih matang dirancang, skenario baru dibuat. Dua bayi, Jati (Randu)
dan Suma (Malini) dari empat yang mereka tangkap, selain Anung dan Ambrik
ketika Ekspedisi Puspa Karsa pertama,
dirawat hingga tumbuh menjadi dewasa, selanjutnya dimanfaatkan dan dijadikan
alat untuk menjadi penunjuk arah ke tempat Puspa Karsa berada dalam Ekspedisi Aroma Karsa berikutnya (hlm.
310 - 657).
Jati yang diculik oleh seorang
pemulung sesaat setelah ibu angkatnya mati, dalam ritual Girah Rudira, tumbuh
dan berkembang dengan segala keteguhan bersama bau busuk TPA Bantar Gebang,
Bekasi. Hidungnya mampu membaui segala macam bau, dari kotoran manusia, darah,
nanah, bangkai, citrus, anggrek, opor ayam, bensin, oli atau gabungan dari
semua bau dan memilahnya kembali menjadi bagian-bagian terpisah.
Suma yang didaku menjadi anak,
tumbuh dalam kemewahan dan wewangian perusahaan.
Hidungnya mampu membaui segala
jenis bau, tetapi sayang tidak seperti hidung Jati yang cukup toleran,
mengendus seluruh bau tanpa diskriminasi, hidung Suma terlalu selektif memilih
dan memilah bau, termasuk bau wangi sekalipun. Indera penciuman yang sangat
tajam tersebut, pada akhirnya menyiksa Suma sehingga mengharuskannya terapi,
bergantung dengan obat dan membatasi pergaulannya
Suma dan Jati, keduanya memiliki
penciuman ajaib, yang membawa dan membuka jalan ke Puspa Karsa. Menemukan masa
lalu mereka, asal muasal dan beragam rahasia tentang kedirian mereka. Puspa
Karsa dan penciuman mereka jualah yang akhirnya mengakhiri perburuan obsesi
Raras Prayagung.
Secara piawai, di tengah narasi
yang lumayan panjang, Dee Lestari juga tak lupa menyelipkan lirisme percintaan
Suma dan Jati, percintaan yang memiliki kekuatan mengalahkan ambisi dan
keserakahan Raras Prayagung.
Terakhir, jikapun harus memberi
catatan minus atas novel ini layaknya
peresensi secara obyektif menilai, hanya satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa
Dee barangkali kurang kuat
menyampaikan pesan tentang keserakahan dan kerakusan manusia mengeksplotasi
alam, akan berakibat fatal bagi dirinya sendiri, meskipun hal tersebut
sebenarnya juga sudah disampaikan.
0 Comments: