Pertama, saya ingin menyampaikan dan
mendudukkan soal pelarangan menggunakan cadar oleh Rektor UIN Suka Jogja dalam konteks
bahwa pelarangan tersebut bertujuan untuk mencegah radikalisme. Konsteksnya
berbeda dengan pelarangan jilbab di era Soeharto. Jadi, agak berlebihan ketika
ada yang menuding bahwa pelarangan tersebut adalah upaya membonsai syi'ar
Islam.
Kedua, bahwa hukum menggunakan cadar.
Semua Imam Mazhab sepakat bahwa sesungguhnya hukum memakai cadar tidak wajib,
tetapi dibolehkan, bahkan sebagiannya menganjurkan, terutama untuk menghindari
pandangan laki-laki yang berpikir jorok dan cabul.
Ketiga, cadar tidak boleh
digenarilisir sebagai simbol radikalisme dan terorisme, karena sesungguhnya
cadar telah ada jauh sebelum istilah terorisme itu lahir dan dilekatkan dengan
beberapa simbol agama, salah satunya adalah cadar. Bahkan cadar ada, sebelum
Islam datang.
Untuk melacak sumber pendapat
ini, silahkan dirujuk beberapa kitab penting seperti, Matan Nurul Lidhah karangan Asy Saranbalali, Ad Dar al Muntaqa karya Al Imam Muhammad 'Ala-uddin, Ahkamul Qur'an karangan Ibnu 'Arabi, Tafsir al Qurtubi Jus 12 karangan Imam
al Qurtubi, dan banyak kitab lainnya termasuk Kifayatul Akhyar dan Fathul Qarib.
Beberapa kitab tersebut bisa dibaca dan didapatkan aplikasinya secara online-gratis. Dan ada banyak aplikasi
penerjemah, jika kesulitan memahaminya.
Rata-rata dalil yang dirujuk
adalah Qs. al Ahzab ayat 59, dengan tafsir dari beberapa ulama tafsir. Seperti
Ibnu Abbas yang menganjurkan penggunaan jilbab menutupi wajah dan hidung, Ibnu
Abbas (Jami' Ahkamin Nisa' Juz IV; 513),
Qatadah (Jami' Ahkamin Nisa' Juz IV; 514),
Abu Ubaidah As-Salmani (Jami' Ahkamin
Nisa' Juz IV; 513), dan As-Suyuthi (Hirashah
Al Fadhilah, 59).
Namun, tulisan ini tentu saja
bukan hendak menabalkan apalagi mengampanyekan cadar sebagai keharusan atau
kewajiban. Dalil-dalil tersebut diketengahkan, hanya untuk menegaskan bahwa
sesungguhnya para penganut dan pengguna cadar, bukan tak memiliki argumentasi
yang kuat atas pilihan menjalankan dan mengekspresikan keyakinan dan ajaran agamanya.
Mengkhawatirkan Cadar
Menurut Rektor UIN Sunan Kalijaga, Yudian
Wahyudi, sebagaimana ditulis dalam detik.com,
5 Maret 2018, kebijakan melarang wanita bercadar adalah untuk meluruskan
paham atau ideologi radikal yang diduga berkembang di kalangan mahasiswi
bercadar. Terhadap 42 mahasiswi bercadar di UIN Yogyakarta akan dilakukan
konseling, dan jika mereka terkonfirmasi menganut faham radikal, akan diminta
untuk mundur.
Niatan Yudian tersebut sangatlah mulia, namun
menjustifikasi perempuan bercadar sebagai radikal dan teroris tentu saja
memiliki argumentasi yang dangkal, karena ada banyak faktor dan alasan di balik
pemakaian cadar.
Saya memiliki beberapa saudara perempuan yang
mengenakan cadar, dan saya memahami alasan-alasan pribadi yang mereka ajukan.
Toh, sepangjang pengamatan saya, mereka juga bergaul dan bersosialisasi dengan
baik, bahkan dalam beberapa kali diskusi, mereka juga mengajukan
beberapa keberatan dan perbedaan dengan kelompok salaf, kelompok yang seringkali diidentifikasi sebagai kelompok wahabi.
Beberapa kelompok, seperti LDII, Jama'ah Tablig (Jaulah), Syi'ah dan
beberapa kelompok lain tak sedikit juga jama'ah perempuannya menggunakan cadar,
padahal secara umum, pemahaman antara kelompok-kelompok tersebut dengan
kelompok 'wahabi' terdapat banyak perbedaan.
Oh, ya, kenapa wahabi yang saya sebut? Karena kelompok wahabi inilah yang sering mendapat tudingan sebagai pelaku teror atau penyuplai teroris serta penabur virus terorisme.
Oh, ya, kenapa wahabi yang saya sebut? Karena kelompok wahabi inilah yang sering mendapat tudingan sebagai pelaku teror atau penyuplai teroris serta penabur virus terorisme.
Saya secara pribadi, sejak belajar di pesantren
telah beberapa kali terlibat dalam diskusi terkait persoalan cadar, simpulnya
para santri yang dilatih berdebat dan berdiskusi dalam forum munadzarah bersepakat bahwa bercadar itu
boleh dan tak wajib. Dan para ustadz kami pun tak menganjurkan, juga tak
melarangnya.
Ala
kulli hal, melekatkan radikalisme dan terorisme
dengan simbol-simbol cadar, jenggot, sorban dan simbol-simbol lain yang gencar
digunakan oleh para pelaku dan tersangka terorisme sangatlah berbahaya, karena
bisa jadi penggunaan simbol-simbol itu oleh kelompok-kelompok radikal tersebut
bukan nir-kepentingan, salah satunya yang patut dicurigai adalah mencitrakan
negatif Islam dan umat Islam.
Mencurigai cadar sebagai bagian dari gerakan
radikalisme dan teror, hampir sama naifnya dengan mencurigai pakaian perempuan
yang seksi sebagai biang birahi dan syahwat para laki-laki yang pada dasarnya
memang biadab dan bejat.
Kadangkala kita nyinyir, melihat kelompok-kelompok
yang mengenakan gamis panjang, bercadar dengan kata-kata, "apa tidak
panas, sumuk?", "apa tidak ribet dan repot?", hal yang
sebenarnya masalah privasi dan bukan urusan kita, toh sejak kapan juga kita begitu sangat peduli dengan keribetan orang lain.
Maka, meski mengeluarkan aturan adalah
kewenangan UIN Suka Jogja, membuka ruang diskusi sepertinya adalah langkah
paling strategis dan arif menyikapi ragam pendapat soal cadar, mulai ragam
perspektif teologis maupun perspektif soal hak dasar mengekspresikan
keberagamaan dan keyakinan, terlebih UIN Suka Jogja adalah lembaga akademis
yang menjunjung tinggi sikap ilmiah dan sikap menghargai kebhinekaan.
Jika, kemudian terbukti bercadar memicu sikap intoleran,
radikal dan teror, maka tak ada toleransi untuk semua gerakan intoleran, yang
bentuk-bentuk sikapnya bisa diukur dari kebiasaan menyesatkan, mengkafirkan,
dan vonis-vonis sejenis lainnya.
0 Comments: