Di suatu
siang, ketika hendak menjemput anak, di
pelataran parkir sekolah, saya bertemu kawan lama yang juga sedang
menunggui anaknya, lama tak bertemu, menjadikan kamu saling mengingat dan
mengenangkan aktivitas selama masa
kuliah dulu. Kawanku ini tak banyak
berubah, relegius dan ahli dakwah, setidaknya begitu aku memahami dari pendapat
dan caranya menilai masalah di sekitarnya, yang merasa prihatin dengan kondisi
sekitar yang sekali lagi menurutnya semakin jauh dari jalan kebenaran, sehingga
perlu dibenahi.
Tak terasa
obrolan singkat tersebut akhirnya harus diakhiri, karena anak-anak kami sudah
keluar, dan aku juga masih harus menjemput putra pertamaku yang sekolah di
tempat lain. Namun, sebelum berpisah kawanku ini berpesan agar aku memotong
rambutku, yang memang sudah terlihat panjang, sembari ia memberi alasan agar
terlihat lebih santun dan terhormat, tidak seperti preman.
Di tempat
lain, seorang kawan lain yang merasa telah berhasil dan sukses, menuliskan
kata-kata di media sosial, “Saya tidak akan pernah biarkan mereka merendahkan
saya, dan kinilah saatnya pembuktian itu,” begitulah kurang lebih pesan yang
hendak disampaikan. Usut punya usut, kawan ini baru saja mendapat pekerjaan
sebagai tenaga ahli wakil rakyat di Senayan, bertugas sebagai tukang catat
agenda dan jadwal si wakil rakyat.
Sombong
seolah-olah menjadi saudara kembar kehormatan, meski kesombongan terlahir dari
banyak rahim, berpenampilan lebih relegius, mendapatkan pekerjaan atau jabatan
penting dan memiliki uang lebih banyak, membuat setiap orang merasa telah mendapatkan prestise dan tempat terhormat di tengah-tengah masyarakat.
***
Dua fenomena
di atas menjelaskan bahwa kehormatan itu selalu diukur dengan, penampilan,
materi dan jabatan. Maka tak heran, ketika seorang artis dengan moralitas buruk
atau pejabat yang rapi, bersih dan tampak berwibawa, selamanya akan tetap
menjadi idola dan tokok publik, ketika dia mampu menjaga penampilan, rapi,
wangi dan berharta, meski tindakannya tidak sesuai norma atau mendapatkan harta
dari hasil korupsi. Pun, demikian halnya dengan petani, kuli dan kaum buruh,
selamanya mereka akan menjadi kelas sosial paling bawah, karena mereka sampai
kapanpun tidak akan pernah bisa ke salon untuk memoles wajah atau membeli
parfum mahal agar tercium wangi.
Kehormatan
dalam konteks ruang dan waktu di sini dan kini, bukan
lagi soal kemuliaan hati dan keluhuran budi. Kedermawanan juga bukan lagi soal
ketulusan memberi tanpa diketahui banyak orang, kedermawanan adalah soal berapa
banyak materi yang diberi dan seberapa luas informasi kedermawanan itu disebar,
tak laku lagi ada istilah bahwa orang baik tak boleh tunjuk tangan, sebagaimana
ajaran Muhammad yang secara verbal sering disebut sebagai teladan, dalam ruang
sepi dan tak berisik, memberi dan menyuapi penuh kelembutan seorang Yahudi buta
di sudut pasar, padahal si buta tersebut setiap hari berteriak memaki dan
menyumpahinya sebagai orang gila,
penipu dan nabi palsu.
Di
manapun, ujar Pram, di Jepang, Amerika, Indonesia atau belahan dunia manapun,
barangsiapa mempunyai sumbangan pada kemanusiaan, dia tetap terhormat sepanjang
jaman.
***
Di dalam
kehidupan sehari-hari, kita juga sangat mudah menemui perilaku penghormatan
yang berlebihan terhadap jabatan dan materi. Di sebuah pesta misalnya, akan
tampak kelas sosial itu dari cara penyambutan dan penempatan tempat duduk. Begitulah
kehormatan itu lazim berlaku. Bahkan di acara-acara keagamaan seperti
pengajian, di mana ayat tentang egalitarian, kesamaan derajat dan tak boleh menilai
dari penampilan atau jabatan sering dikhutbahkan, para pejabat dan jutawan
tetap saja memiliki tempat duduk yang lebih istimewa dari jamaah biasa.
Begitulah
kehormatan itu diburu dan didapatkan, didekontruksi kemudian direkonstruksi
maknanya secara serampangan, sehingga nilai kehormatan menjadi sangat
bergantung kepada seberapa banyak materi dan seberapa tinggi jabatan. Dan, bisa jadi kita juga adalah bagian yang
ikut melestarikan makna kehormatan yang sangat kebendaan dan feodal tersebut,
dengan berkerumun melingkar seperti semut mengerubungi gula, atau membungkukkan
badan dan memberikan penghormatan berlebihan terhadap mereka yang memiliki
kuasa dan uang yang banyak, sebuah penghormatan yang semakin menguatkan
kepongahan mereka.
Terhormat,
tak tahu diri dan tak punya malu barangkali di era milenial ini memang telah menjadi
tak jelas maknanya, buram dan kabur. Etika kadang diukur dengan penampilan,
rambut gondrong, celana robek pastilah dinilai tak sopan, tak etis dan tak
bermartabat.
Terhormat
adalah berpeci, harum, rajin perawatan hingga berwajah kinclong, Maka,
janganlah heran, jika pasukan kuning yang pagi buta telah berada di jalanan menyapu
dan memungut sampah, dianggap tetap kalah terhormat jika dibandingkan dengan
koruptor tahanan KPK, meski mereka sama-sama mengenakan baju berwarna oranye.
Mata lahir
kita mungkin jauh lebih dominan dari mata batin. Dulu ketika seorang pimpinan
partai politik terciduk melakukan skandal korupsi, maka pembelaanpun datang tak
terbendung, dia difitnah, dia dijebak, ada konspirasi besar menjatuhkan.
Sekarang, tetap begitu.
Comments
Post a Comment