Sebelumnya, saya ingin
menyampaikan permohonan maaf kepada setiap orang yang pernah mengajarkan saya
sehingga bisa menulis, baik soal tertib, syarat dan rukunnya hingga yang hanya
sebatas memberi motivasi, menyarankan rajin membaca, mengarahkan agar lebih
memperkaya dan memperhalus kata dengan banyak membaca karya sastra, kalian
semua adalah guru, orang-orang penting yang tak akan pernah saya lupakan
jasanya, dan atas semua jasa itu saya haturkan segenap terimakasih dan do'a
semoga ilmu yang pernah diberikan itu terus mengalirkan pahala dan kebajikan
yang tiada henti.
Namun, sekali lagi, saya ingin
menyampaikan permohonan maaf, karena saya menolak segala tertib, segala teknik
dan aturan-aturan baku soal menulis benar, bagus dan baik. Untuk semua kelas
menulis yang pernah saya selenggarakan, semua orang selalu diposisikan sebagai
guru dan semua bisa menulis. Tugas saya dan kelas menulis, adalah
memfasilitasi, menyediakan cambuk, termasuk juga caci maki dan 'alat paksa'
agar semua segera menulis dan harus menulis, tanpa dibayang-bayangi 'hantu'
teori dengan segala tetek bengek tertibnya.
Kelas menulis adalah kelas yang
longgar teori, menyarankan atau memaksa mereka menulis tentang apa saja yang
bisa mereka bincangkan, baik yang dilihat, didengar dan dirasa. Menulis fakta
maupun imajinasi, curhat pribadi hingga masalah orang lain dengan sejumlah
solusi.
Dalam setiap pertemuan kelas
menulis, saya selalu mengatakan semua bisa menulis, terutama yang paling aktif
menulis status di facebook atau caption di instagram, menulis itu bukan kekhususan untuk seorang dua orang
saja, menulis adalah bakat semua manusia yang hanya perlu dilatih, jika menulis
di media sosial hanya maksimal empat baris, cukup diperpanjang menjadi empat
paragraf.
Saya cukup mewanti-wanti, jangan
menulis fitnah! Dan menulislah dengan bahasa yang kamu mengerti dan orang lain
juga mengerti. Soal EYD, nanti sajalah! Itu proses, meski pada titik tertentu
itu niscaya, terutama ketika kamu menginginkan tulisanmu dimuat di media
tertentu, yang memberlakukan segala aturan. Tak perlu rumit juga memikirkan
soal kepala, badan dan ekor tulisan, tak perlu juga pening soal judul tulisan. Menulislah dengan nyaman dan
menyenangkan, sebagaimana engkau menulis surat cinta ketika lagi birahi (kasmaran).
Menulis itu selayaknya bicara,
hanya karena menulis itu engkau yang merekamnya sendiri, maka sesungguhnya
menulis itu lebih mudah untuk diedit, dipikirkan dan dikoreksi ulang sebelum
dikonsumsi khalayak, tak seperti bicara yang setelah tersembur ia langsung
ditangkap, jika ia buruk maka akan lukai hati, diedit barangkali hanya bisa
dengan pernyataan, 'maaf, saya salah'.
Barangkali, yang lumayan berat
dari kelas menulis adalah kewajiban untuk membaca buku minimal empat judul yang
berbeda. Kenapa wajib membaca dan empat buku? Sebenarnya, ini hanyalah soal
filosofi sederhana dari meja yang umumnya memiliki empat kaki, empat yang
membuatnya seimbang dan terlihat kokoh, maka membaca minimal empat buku
sesungguhnya adalah membangun kaki yang kokoh untuk sebuah tulisan, sebelum
membentang ide, menghadirkan narasi yang layak.
Selain membaca, saya menganjurkan
peserta kelas menulis juga untuk rajin berdiskusi, membicang tulisan mereka
atau membincang buku yang telah mereka baca.
Jadi, sekali lagi untuk semua
guru, izinkanlah saya meminjam semangat, menularkan ilmu yang pernah engkau
ajarkan, meski secara serampangan, tak tertib. Hingga, suatu saat, ketika
semuanya telah terbiasa menulis, dan telah menetapkan tekadnya secara konsisten
untuk terus menulis lazimnya bicara, saya akan meminta tolong kalian semua
untuk mengenalkan segara aturan, etik dan tertib menulis itu. Tabik, ngalimpuro.
Kelas menulis telah berjalan dua
angkatan, dan kini saatnya untuk membuka angkatan ketiga, semoga tetap ada yang
berminat.
0 Comments: