Minggu
pagi (18/3/2018) gerimis turun tanpa bisa dicegah, saya, istri dan anak-anak
berteduh di lapak pedagang di pinggiran Lapangan Samber, tepat seberang Kuburan
Samber. Ini adalah kali kedua saya hadir di acara Car Free Day (CFD) di Lapangan Samber, acara yang sebenarnya lebih
tepat disebut senam (baca; joged) massal, yang sebelumnya diselenggarakan di
jalan depan Rumah Dinas Walikota Metro, Taman Merdeka.
Saya
menyaksikan beberapa kendaraan bermotor bebas melintas di Jl. Mayjend Riyachudu
dan Jl. Mr. Gele Harun, dua jalan tersebut adalah jalan yang mengitari Lapangan
Samber.
Di atas
panggung berjejer lima perempuan seksi dengan pakaian ketat menjadi pemandu
joged, gerakannya aduhai diiringi
lagu mirip musik dangdut yang menghentak, terkadang dentumannya lebih mirip house music, menggetarkan tempat kami
duduk. Di bawah di depan panggung, berhujan-hujan, peserta joged massal itu
tetap semangat, tampak beberapa pejabat dan wakil walikota yang ikut bergoyang
di bawah.
Di sudut
lain Lapangan Samber, beberapa anak kecil usia TK sedang ikut lomba mewarnai.
Di hadapan anak-anak itu berderet satu mobil dan satu motor dengan rak-rak
berisi buku yang ditata rapi, beberapa remaja dan orang tua terlihat memilih
dan membolak-balik, dan segera bergeser mencari tempat duduk, sesaat setelah
mendapatkan buku yang mereka cari.
Oh ya,
motor dengan box yang didesain
menjadi rak-rak buku itu, di wall display bagian belakangnya
ada foto perempuan cantik, Aprilani Yustin Ficardo, Duta Baca Lampung. Soal
duta baca dan perempuan cantik ini, akan saya tulis khusus lain kali.
Aku kembali
mengalihkan pandangan, melihat orang-orang yang asyik membaca sesekali
menggoyangkan kakinya, seirama dengan musik yang menggelegar dari atas
panggung. Mereka larut dalam suasana membaca
diiringi musik yang menghentak.
Kota
pendidikan dan wisata keluarga. Begitu kota ini sekarang digadang-gadang, resmi, julukan itu tertulis dalam lembar-lembar
penting daerah.
Dan, beginilah
perwajahan kota dengan julukan tersebut, ruang khalayak kota dibuat layak, orang membaur
tanpa sekat, pejabat dan rakyat, penguasa-warga, anak-anak kecil dan orang tua,
laki-laki-perempuan, senam (joged) dan membaca, semua berkumpul, mereka belajar
sembari wisata, mencari pengetahuan sekaligus hiburan.
Beberapa
anak kecil, di tengah-tengah lapang sedang bergerombol, ku taksir umur mereka
seusia anak sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, sedang asyik
(barangkali belajar) gerakan meliuk-liuk sang pemandu senam di atas panggung,
kadang mereka turut menirunya sembari terpingkal karena gerakannya salah.
Ruang
khalayak memang sedang mendapatkan
prioritas penataan, puluhan jembatan direnovasi, dicat warna-warni dan dihias
dengan lampu, menjadi tempat yang asyik untuk berfoto-ria di malam hari, barangkali asyik juga untuk tempat membaca yang menyenangkan sambil berfoto kemudian diposting di media sosial, instagram misalnya, instagramable, begitu istilah anak-anak milenial.
Komunitas
literasi juga kian marak bermunculan, selain Studio Djajan Metro dan Mama Cafe
yang sejak awal mendesain cafenya untuk nongkrong pegiat komunitas, berdasar
cerita kawan, beberapa cafe juga sedang menyiapkan ruang-ruang literasi sebagai
bagian desain cafenya.
Griya Baca
Komunitas, Perpustakaan Jalanan Metro, Keluarga Cakau adalah beberapa nama
komunitas yang rutin menggelar lapak baca.
Jika
sudah begitu, apa yang dikhawatirkan Milan Kundera tentang kehancuran sebuah
peradaban, karena musnahnya buku dan sedikitnya peminat literasi tidak akan
pernah terjadi di Kota Metro. Bahkan, bisa jadi kebangkitan Indonesia, pun tidak menutup kemungkinan kebangkitan Asia, akan dimulai dari kota ini.
Anda bisa
saja ngeyel membantah tulisan ini,
tapi faktanya Kota Metro memang sedang menyongsong peradaban itu, dan ini
berkat dukungan dan support
pemerintah kota lewat visi Kota
Pendidikan dan Wisata Keluarga.
Coba
pikir, apa akibatnya jika pemerintah melarang anak-anak muda menggunakan
ruang-ruang publik untuk membuka lapak baca, melarang peredaran buku atau
bahkan membakarnya sebagaimana di rezim Soeharto?
0 Comments: