Pertama kali kita duduk di bangku
sekolah, kita diajarkan dua hal secara bersamaan. Membaca dan menulis, sisanya
adalah berhitung! Membaca seperti halnya bicara adalah hal yang tak mungkin
kita tinggalkan, semenitpun. Setiap hari selalu saja ada yang kita bincangkan,
setiap menit selalu ada yang kita baca, membaca apa saja, entah nama jalan,
nama toko, tulisan di belakang angkot atau truk, membaca running text di TV, berita gosip,
berita hoax atau bacaan-bacaan penuh
nutrisi yang merangsang perkembangan otak dan menambah pengetahuan.
Menulis pun, sepertinya bukan
aktivitas yang asing. Menulis status, menulis pesan pendek, atau sekadar
menulis curahan hati. Jika tak setiap hari, tapi rasanya mustahil tak menulis
apapun dalam seminggu.
Menulis sama seperti membaca dan
bicara, bukanlah bakat tertentu yang hanya dimiliki oleh orang tertentu,
menulis bakat yang melekat pada setiap orang. Menulis dan membaca diabadikan
dalam narasi suci, Alquran. Membaca sebagai wahyu pertama, pena sebagai simbol
kepenulisan terekam dengan istimewa dalam satu surat 'al qalam'.
Untuk itulah saya meyakini dan
berusaha membuktikan bahwa menulis itu semudah bicara, saya menulis setiap
saat, setiap hari. Soal tulisan tak indah, tak enak dibaca samalah dengan
bicara, tak semua cuap-cuap sedap
didengar, tak semua kata yang terlontar berkualitas. Jika redaksi tulisan ada
yang tak berpola dan bernash, maka
narasi lisan pun tak sedikit yang ngawur tak
berdalil.
Tradisi bertutur baik lisan
maupun tulisan, keduanya sama, perlu diksi yang baik, perlu alur yang runut,
perlu logika yang tertib. Dalam tradisi pendidikan Islam, dikenal ilmu manthiq, ada gramatika (nahwu), ada ilmu perubahan kata (sharaf), ada ilmu balaghah, ada istilah fashahatul
kalam dan fashahatul kalimat.
Tapi, mengapa menulis tak semudah
dan seenak bicara?
Karena kita tak pernah melatih
kebiasaan menulis seperti kita membiasakan bicara. Setiap saat kita menyimpan
imajinasi dan gurat-gurat kenangan yang indah, merekam apa yang kita lihat dan
dengar, menyimpannya secara apik dalam memori, tapi kita tak pernah berusaha
menuliskannya. Maka, ia ada sepanjang ingatan, tak seperti tulisan yang
mengabadi, melampui usia ingatan dan si empunya ingatan.
Barangkali, alasan yang paling
logis mengapa bicara lebih mudah daripada menulis, karena banyak orang berbicara
enggak pake mikir. Maksudnya, begitu
ia melepas kata dan kalimat, jarang ia pikirkan ulang, tidak seperti tulisan
yang setiap alinea, setiap kata perkata, setiap huruf, dieja, dibaca
pelan-pelan, dibongkar, diedit, dihapus dan ditulis lagi.
Bahkan, tak jarang orang gagal
melanjutkan menulis alinea kedua, ketiga dan seterusnya, karena terlalu fokus
dengan alinea pertama yang baru ditulisnya, dibaca, dikoreksi, dibongkar,
dihapus, begitu terus menerus, sampai akhirnya ia lupa dan buntuk mau menulis
apa di aline berikutnya. Ia melakukan dua tiga pekerjaan sekaligus, menulis,
membaca dan mengedit. Ini masalah klasik yang menimpa hampir semua penulis
pemula, para penulis paragraf pertama.
Bicara begitu dilepaskan, seolah
sudah selesai, ringan seolah tanpa beban. Tak ada kewajiban mereview-nya, meski tak sedikit kata
yang terlontar juga menyakiti. Hal yang maksimal dilakukan atas kesalahan
bicara adalah minta maaf.
Mestinya, sisi bicara yang tak
bisa direview, alih-alih diedit,
sehingga seolah ringan tanpa beban itu, mendorong kita untuk lebih bergairah
menulis dan menghemat bicara, menjadikan tulisan lebih memiliki peluang dan
ruang narasi yang berkualitas, karena tulisan lebih memungkinkan untuk dibaca
ulang, dibongkar dan diedit sebelum dipublikasikan.
Dan, jika boleh jujur, bagi saya secara
pribadi, menulis dan membaca adalah terapi untuk mengurangi banyak bicara, jika
selama ini saya mengeluarkan kata permenit, minimal sebanyak 40 kata, berarti
perjam setidaknya ada 2400 kata yang saya hemat, sedangkan waktu yang saya
habiskan untuk menulis dan membaca dalam sehari, rata-rata 4 jam. Artinya selama sehari, saya telah
menghemat 9600 kata untuk keperluan bacot
tak jelas.
Jika dituliskan, 9600 kata itu setara dengan 15-20 halaman.
Jika dituliskan, 9600 kata itu setara dengan 15-20 halaman.
Jadi, mengapa menulis tak semudah
bicara? Karena tak semua orang seperti apa yang mereka katakan dan inginkan.
Semua suka kejujuran, tetapi betapa banyak orang yang suka berbohong. Semua
orang ingin dan suka bicara kualitas, tetapi betapa banyak yang memilih jalan pintas.
Bicara tentu lebih mudah daripada
menulis, tetapi menulis yang lahir dari proses berpikir, telaah ulang dan editing, tentu mutunya juga tak
sebanding dengan bicara yang 'mudah' itu.
Namun, tentu tak semua bicara
juga mudah dan tak mutu, ada bicara sebagai bagian dari narasi literasi,
dialektis, bicara yang logis dan argumentatif, bernas.
0 Comments: