Pagi-pagi buta kami biasanya telah
pergi ke ladang, ketia usia jagung telah berumur lebih dari dua bulan. Mencari
jangkrik untuk kami tukar dengan berbagai barang ke pabulicco, pedagang keliling dari seberang yang menyediakan berbagai
keperluan orang pulau, seperti buku tulis, baju, sarung dan berbagai perabot.
Bagi kami anak-anak pulau, pagi
sebelum berangkat sekolah adalah hiburan. Kami menjelajah, masuk ke ladang,
kebun dan sawah. Sembari mencari jangkrik, kami mengumpulkan buah ketapang yang
dijatuhkan codot setelah memakan
kulit luarnya.
Begitupun saat kami menyusuri
jalan menuju sekolah, perjalanan yang setiap hari kami tempuh selama satu jam
setengah atau 3 jam pulang pergi, adalah perjalanan yang menghibur,
menyenangkan. Tak jarang di balik bongkahan tanah yang retak karena lama tak
turun hujan, atau di balik onggokan tahi sapi yang mengering, kami menemukan
jangkrik.
Bukan hanya itu, serpihan tanah
yang mewujud seperti kerikil ketika kemarau, tak jarang menyakiti telapak kaki
kami, dan ketika hujan tak jarang aku dan kawan-kawanku jatuh terpelantig.
Namun, perjalanan menuju atau pulang dari sekilah, tetap saja menjadi hal yang
menyenangkan. Berlari kejar-kejaran di pematang sawah tanpa alas kaki, bermain
lumpur ketika pulang sehingga atak khawatir seragam kotor, adalah serpihan masa
kecil, masa-masa indah yang tak mungkin kami lupakan sebagai anak pulau.
Selain pantai dan laut, pematang
dan lumpur sampah meski datang musiman adalah hal yang sangat akrab dengan
kehidupan kami anak pulau. Ketika musim hujan tiba, hampir semua orang pulau
turun ke sawah, mereka gotong royong membajak sawah, jika hari ini menggarap
sawah Wak Bacok, esoknya menggarap
sawah Embo Tani, begitu seterusnya
secara bergantian. Dan kami, jika kebetulan tak sekolah ikut ke sawah, bermain
lumpur.
Ada dua momen menyenangkan jika
ikut orang tua pergi ke sawah, pertama, tatkala diizinkan naik ke alat
tradisional yang ditarik dua ekor sapi, orang pulau kami menyebutnya salage, alat yang digunakan untuk
menggemburkan tanah setelah sebelumnya dibajak. Selain merasakan sensasi
ditarik dua ekor sapi di atas salage, kami
juga merasakan dan menikmati kehebohan kala terjatuh dan terbenam ke dalam
lumpur yang lembut.
Momen kedua adalah ketika waktu
siang, semua orang bekerja di tengah sawah menepi, dan beristirahat di bawah
pohon. Beberapa rantang susun berisi nasi, sayur asem dan ikan asin telah
disiapkan oleh ibu-ibu untuk makan bersama, dan kami akan menunggu momen-momen
itu dengan tak sabar. Kami diajarkan etika, bahwa tak boleh mengambil makanan mendahului
orang yang usianya lebih tua dari kami.
Setelah orang tua kami selesai
makan, masih dengan badan yang penuh lumpur, mencuci tangan dengan air saluran
yang mengaliri sawah, kami pun segera berhambur berebut ikan asin yang tersisa,
di atas hamparan rumput yang tumbuh di sekitar pinggir sawah, di bawah
pohon-pohon yang dihinggapi burung-burung adalah kenikmatan lain yang
barangkali sulit didapatkan oleh anak-anak milenial seusia kami dulu.
Sawah yang hanya bisa ditanami
padi ketika musim hujan tiba adalah dunia kedua kami setelah laut dan pantai.
Di sawah kami menggembala kambing dan mencari rumput, selain di pantai, di
sawah kami bermain layang-layang dan berburu ayam-ayaman (bek-bek), di sawah kami juga berlomba mencari buah bidara, buah cermai dan pilunsur.
Pilunsur belakangan baru kutahu
bahasa Indonesianya adalah ciplukan,
setelah orang ramai membicarakan khasiatnya, mulai akarnya yang kerap digunakan
untuk obat cacing dan penurun panas, daunnya penyembuh patah tulang dan bisul,
serta buahnya untuk mengobati epilepsi, susah kencing dan penyakit kuning.
Dulu, buah pilunsur yang sudah
menguning tanda telah matang, menjadi buah pavorit kami, pilunsur tak jarang
ikut memenuhi tas kkami yang terbuat dari kantong kresek, selain buah bidara dan kadi'eh
dan dube. Semua jenis buah
tersebut, tumbuh liar di sawah bersama
belukar yang bisa diambil oleh siapa saja tanpa harus membeli.
Kini, justeru ketika orang mulai
sadar segala manfaat buah-buahan yang tumbuh liar di pelosok desa tersebut,
termasuk di pulau kami, tumbuhan tersebut menjadi tumbuhan langka yang sudah
dicari. Bukan hanya pilunsur, bidara,
jambu, dan beberapa tumbuhan yang biasanya orang-orang di pulau menggunakannya
sebagai obat, telah sangat sulit ditemui.
Padi yang ditanam juga sudah
berbeda, bibitnya tidak lagi berasal dari stok
padi yang biasanya orang-orang pulau kami menyimpannya di atas pamakkah, hasil dari panen, sisa dari
stok yang dimakan.
Sawah kami juga tak lagi sesubur
dulu, sebelum pupuk yang dikirim berkarung-karung dari kota.
Tak ada lagi anak-anak yang
bermain lumpur, menaiki salage yang
ditarik dua ekor sapi. semuanya telah berubah. Terlihat maju, tetapi
sesungguhnya menjadikan orang-orang di pulau kami justeru merasa lebih susah
mencari kebutuhan makan.
0 Comments: