"Wah, tambah gemuk saja, Bang? Sepertinya tambah makmur saja. Sudah jarang kritik dan komentar tentang kota
sekarang, sudah makmur, sepertinya sudah bersinergi? Komunitas diskusinya gimana, sudah lama tak terdengar, pecah
kongsi?"
Siang kemarin secara tak sengaja
saya bertemu kawan yang telah nyaris setahun tak pernah bertemu dan jarang juga
berkomunikasi. Meski sering mendapatkan link berita yang dikirimnya rutin via WhatsApp.
Pertemuan di tengah keramaian,
pada launching sebuah produk sepeda
motor di tempat biasa saya nongkrong.
Diberondong dengan pertanyaan
seperti itu, kaget, tentu saja. Nyaris tersedak!
Saya tak tertarik memberikan
jawaban apapun saat itu, apalagi mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut
lebih mirip tudingan halus sebagai cara menakar kawan dengan cara pikir, isi
kepala dan tindakan sendiri.
Memberi jawaban panjang lebar
tentu saja adalah kesia-siaan atas pertanyaan bernada vonis, toh setiap orang memiliki persepsi
sendiri-sendiri atas setiap orang lain, dan rekam jejaklah yang akhirnya akan
memberi jawaban siapa sebenarnya masing-masing kita.
Setiap perjalanan hidup akan
menarasikan detail siapa sebenarnya kita, tanpa harus susah payah kita jelaskan
kita orang baik atau kita orang jahat.
Namun, hingga dini hari menjelang
subuh, sesaat setelah membaca hingga 2/3 Aroma
Karsa, saya kok tiba-tiba kembali terpikir berondongan pertanyaan kawan
tadi. Saya terpikir, kenapa tak menjadi bahan tulisan saja.
Berhenti sejenak, tutup buku.
Salat subuh, kemudian menghidupkan laptop.
Mengingat-ingat setiap not, raut
wajah, ekspresi dan senyum seorang kawan yang ikut mendengar pertanyaan
tersebut. Saya malah teringat cerita senior, Juwendra Asdiansyah tentang kentut
di sebuah Anjungan Tunai Mandiri (ATM), pada sebuah diskusi “Hak dan Kewajiban Warga di Era Jurnalisme
Internet” di Aula PKBI Lampung, Telukbetung, Rabu, 7/9/2016.
“Suatu hari, saya mendatangi ATM
di SPBU Satelit. Saat saya mengantre, ada seorang bapak-bapak keluar. Kemudian
saya masuk ke dalam, tercium bau kentut. Saya menuduh bapak itu yang kentut.
Saya langsung keluar, seorang perempuan masuk. Saya masih menunggu di luar,
mengantre di ATM yang lain. Saat perempuan tadi keluar, dia menatap saya dengan
muka masam. Saya yakin dia berasumsi saya yang buang angin,” paparnya sebagaimana
dikutip duajrai.co, 8 September 2016 yang lalu.
Bang Juwe, begitu
saya biasa memanggil, hendak menegaskan bahwa berasumsi itu tidak boleh, karena
bisa berujung pada fitnah, terutama bagi jurnalis.
Walaupun pada akhirnya, kita tak
pernah bisa menghalangi dan memaksa orang tak berasumsi, apalagi jika
asumsi-asumi tersebut terjadi karena buntunya saluran komunikasi.
Soal komunitas diskusi, memang
bukan seorang dua orang yang bertanya, kenapa berhenti? Kenapa tak bergeliat
lagi, kenapa tak kritis lagi soal kota? Pertanyaan yang memang lumayan rumit
untuk dijawab, karena saya, barangkali juga kawan-kawan saya semua pegiat
diskusi tak paham kenapa berhenti, tak ada alasan prinsip sebenarnya, kita
tak cekcok, kita juga tak pernah baku-hantam.
Bahkan kita juga seringkali
saling bertanya, apa soal prinsip yang membuat kita berhenti? Tak ada jawaban.
Pecah kongsi? Pertanyaan balik
pun harus kita ajukan, perkongsian apa? Semua pegiat diskusi yang saya kenal
dan pahami tak ada seorang pun yang telah dan sedang mengerjakan proyek besar,
lebih-lebih proyek pemerintah, jadi pecah kongsi apa?
Simpul saya, pada titik mentok ketika tak ada satupun jawaban
rasional yang berhasil tersampaikan, diam-diam saya berguman sendiri, barangkali komunitas sedang menjalani takdirnya
sebagaimana tali yang memiliki pangkal jua ujung, sebagaimana hari yang
memiliki pagi dan senja.
Barangkali memang sebagaimana
lazimnya kehidupan, segala sesuatu selalu memiliki titik jenuh, membutuhkan
jeda, untuk bergerak atau meloncat lebih lebar.
Soal kritik tentang kota,
sebenarnya kita tak pernah berhenti. Semua kita selalu bicara tentang kota yang
kita cintai. Nyaris, semua ruangnya telah kita bincangkan, laku pejabat dan
birokrasinya telah kita diskusikan, jika kota tak jua berubah, bisa jadi karena
pemangku kepentingannya tak mendengar, bisa jadi juga karena bebal. Perubahan
kebijakan memang bukan kewenangan kita yang hanya remah-remah ini.
Saya juga termotivasi nasihat
kawan, kenapa selalu bicara mentalitas pejabat, membicangnya mereka tiap hari,
seolah tak ada lagi yang penting selain mendiskusikan tema tentang mereka. "Anggap saja tak ada, benar-benar tak
ada dan tak pernah ada!"
Walaupun saya tak menganggap
semua nasihat di atas benar, karena tak mungkin juga saya tutup telinga dan
mata atas segala sepak terjang pemangku kepentingan kota ini. Namun saya pikir,
paling tidak selalu ada nilai positif dari setiap nasihat dan peristiwa. Saya
tak ingin perbincangan dan kritik soal aparatus, soal para pemegang kebijakan
di kota ini, terlalu menyita waktu saya melakukan hal-hal yang lebih
bermanfaat.
Ada banyak pekerjaan yang lebih
bermanfaat tanpa harus berharap pemerintah kota peduli dan terlibat, bersinergi
dengan kawan-kawan yang menggiatkan literasi, menghidupkan kembali kelas menulis,
berkumpul dengan banyak komunitas, pegiat teater, sastra dan menulis berbagai
cerita yang diharapkan bisa memotivasi dan menginspirasi banyak orang daripada
setiap hari menulis soal kelakuan 'mereka' yang bebal.
Dan, tentu saja tetap menajamkan
pendengaran dan telinga, agar tetap bisa menuliskan caci-maki atas setiap kengawuran
pemangku mandat rakyat di kota ini.
Intinya, saya ini penulis lepas dan bebas, kehidupan yang saya jalani adalah hidup yang sepenuhnya saya pertanggungjawabkan sendiri, jika kawan-kawan pernah mendengar saya selama berhenti mengomentari kekuasaan, kemudian tiba-tiba mengemis kepada pemerintah dengan mengajukan proposal atau apapun hanya sekadar untuk bertahan hidup, ya sudah caci maki saja saya. Jika, tidak. Namun, kamu terus saja berasumsi negatif, rajin-rajinlah jenguk hatimu, mungkin dia lagi sakit.
Gitu aja, kok repot!
Intinya, saya ini penulis lepas dan bebas, kehidupan yang saya jalani adalah hidup yang sepenuhnya saya pertanggungjawabkan sendiri, jika kawan-kawan pernah mendengar saya selama berhenti mengomentari kekuasaan, kemudian tiba-tiba mengemis kepada pemerintah dengan mengajukan proposal atau apapun hanya sekadar untuk bertahan hidup, ya sudah caci maki saja saya. Jika, tidak. Namun, kamu terus saja berasumsi negatif, rajin-rajinlah jenguk hatimu, mungkin dia lagi sakit.
Gitu aja, kok repot!
Jadi, begitulah kira-kira narasi (curhat)
yang menyertai kopi pagi ini.
Comments
Post a Comment