Selepas jum'atan saya mendapati beberapa WA Group
ramai mendebatkan soal halal-haram, sesat-tidak sesat, mendebat soal foto, musik hingga arisan. Beberapa dalil
diajukan, tentu dengan pemahaman literalis, tekstual dan hanya bersiteguh pada
huruf-huruf dengan sangat kaku dan tak mau seidkitpun bergeser pada konteks.
Dampaknya, ada banyak manusia yang dihukumi pendosa, sesat bahkan kafir.
Saya
merenung dan membayangkan wajah agama yang ramah, praktik-praktik nubuat di masa lalu yang welas asih, santun dan
penyayang, gemar menjaga silaturahim, tiba-tiba kini menjadi suram dan buram.
Membolak-balik beberapa kitab yang menjadi pegangan santri tingkat pertama, Minhajul Muslim, Bulughul Maram dan Riyadhus Shalihin terutama bab-bab adab dan akhlak, dan tak mendapati satupun lembar yang menganjurkan
permusuhan, sebaliknya ada banyak perintah untuk terus menjaga hubungan kasih (silaturahim), menata adab bukan hanya kepada sesama manusia, kepada makhluk lain pun diperintahkan.
Saya teringat penjelasan salah seorang guru yang mengajar Bulughul Maram kala itu, bahwa adhdharar yuzalu, bahaya atau hal-hal
yang mengakibatkan dharar itu harus
dihindari. Hal yang
jelas-jelas baik, tetapi beresiko menimbulkan bahaya atau kemudharatan harus dihindari, apalagi hal-hal masih dalam
perdebatan (khilafiyah) dan sudah pasti bisa menimbulkan
permusuhan!
Begitulah,
eksemplar
sejarah kebebasan di tengah keragaman merupakan perjalanan panjang yang tidak
pernah sepi dari pemaksaan untuk ikut dan tunduk pada pilihan-pilihan mayoritas,
perbedaan adalah ancaman. Ada banyak faktor yang ikut menjadi penyebab lahirnya tradisi nir-tolerasi
ini.
Pertama, adanya klaim kebenaran secara berlebihan oleh satu kelompok.
Dalam kondisi yang demikian, kebenaran tidak lagi menjadi milik semua namun
hanya milik dan privilese sebuah kelompok
dan golongan saja. Kelompok dan golongan ini selalu beranggapan bahwa merekalah
repsentasi dari seluruh kebenaran. Ketiadaan dialog demi pertukaran perspektif
dan pencarian titik temu (common denominator) ini pada akhirnya hanya
menghasilkan eksklusifme dan fanatisme, yang memicu friksi dan disharmoni di
masyarakat.
Kedua, adanya monopoli tafsir kebenaran,
dalam arti bahwa klaim kebenaran yang berlebihan pada etape selanjutnya
melahirkan sakralisasi terhadap tafsir kebenaran. Sakralisasi terhadap tafsir kebenaran
tertentu sering diregulasi dan ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu
pula. Penjagaan terhadap dominasi kekuasan dan rezim, cenderung berjalan
beriringan dengan monopoli tafsir kebenaran. Interpretasi yang berbeda lantas
diberangus oleh rezim politik dengan alasan meresahkan masyarakat. Dalam
hal ini, Arab selalu menjadi kiblat kebenaran!
Ketiga, status
quo, adanya
imajinasi dan utopia berlebihan akan lahirnya kerajaan kebenaran yang tunggal
dan kekhawatiran atas ancaman kemapanan. Hal ini adalah bentuk lain dari
sakralisasi rezim kebenaran yang berkuasa dan memonopoli tafsir, sehingga atas
nama kebenaran melakukan kekerasan dan praktik-praktik intimidasi serta
pembatasan terhadap kelompok yang berbeda, baik berupa pengenaan stigma sesat
sehingga harus ditobatkan dan dikembalikan kepada ajaran yang benar, sampai pada praktek penghalalan
darah atas kepercayaan yang berbeda.
Padahal, salah
satu tesis
terpenting dari kehidupan adalah menyelenggarakan kebebasan dan mengundangkan kebersamaan.
Kebebasan adalah
hak yang dari lahir sudah melekat dalam kehidupan, dengannya manusia hidup dan
menghidupi. Persamaan penting karena setiap manusia dengan
segala kekurangan dan kelebihannya lahir sebagai sebuah kerumunan yang hidup
dan matinya di tempat yang sama, sehingga dengan keterbatasannya bukan harus
dibedakan melainkan harus saling bekerjasama dalam segala hal demi kebersamaan.
Tesis dan
tugas ini semakin penting dilaksanakan di tengah semakin marak dan kuatnya
pembentukan laskar-laskar yang mengklaim sebagai pewaris sah kebenaran, kelompok-kelompok
yang pada dasarnya bergama hanya bermodal semangat, menyimak penggalan-penggalan ayat dan
hadits dari ceramah-ceramah yang disebarkan melalui youtube dan media sosial lainnya.
Bayangkan
saja, tanpa sungkan dan merasa bersalah melabeli diri dengan nama Muslim Cyber Army (MCA) untuk menyebar
berita bohong dan kebencian, mendaku aktivitas yang bertentangan dengan ajaran
suci agama itu justeru sebagai jihad dan pekerjaan mulia.
Lebih gregetan
lagi, kelompok-kelompok berbasis agama lainnya, dengan mudahnya terprovokasi dengan isu-isu murahan
bahkan cenderung berisi fitnah yang disebar tersebut. Padahal agama dengan ketat
mengatur pentingnya verifikasi berita, chek
and richek kabar dengan teliti, (Qs.
Al Hujurat:6). Berita yang tidak pernah difilter dengan baik, berisi
kebohongan dan kebencian inilah, yang semakin menipiskan toleransi dan
menajamkan permusuhan.
Akhirnya, problem proses interaksi sosial yang
terbangun dalam konteks
tribus-society, di mana setiap kontestasi ide dan wacana-wacana serta
argumentasi publik tidak menemukan katalisnya dengan baik dalam lingkungan
sosial, konteks inilah yang dalam istilah Anthony Giddens (1985) membentuk
keterpecahan kolektif di kalangan agen-agen pembaharu, antara practical
consciousness (kesadaran praktis) dan diskursive consciousness
(kesadaran wacana).
Untuk itu,
penting menjadi renungan apa yang diutarakan oleh Martin Ivany agar kita
melakukan pembelajaran sosial-politik secara utuh tentang bagaimana hidup di
dalam masyarakat asosiatif, yang mengajarkan toleransi, plural, dan memiliki
otonomi individu yang autentik, sehingga kita tidak menjadi sektarian, berebut
kebenaran sepetak yang memilah-milah kelompok untuk berbuat kebajikan,
melainkan menempatkan kecerdasan dan keshalihan sebagai mode of existency
di atas setiap identitas dan entitas.
Bukankah
kita masih terus menerus butuh orang lain, sebagai makhluk sosial yang tak
senang bicara sendiri, curhat sendiri dan menyelesaikan pekerjaan sendiri,
sebagaimana yang digambarkan oleh Caca Handika, dalam lagu dangdut Angka Satu.
Percayalah,
hidup sendirian itu pastilah tidak enak. Terlebih lagi, sudah sendirian dan
terus menerus menggelorakan permusuhan. Jika toh, kita yakin dengan kebenaran yang kita anut, bukankah ada
banyak cara merangkul, tanpa harus memukul, mengajak tanpa harus mengejek.
Mari merangkul dan berangkul.
Mari merangkul dan berangkul.
0 Comments: