Sore adalah hal yang paling kunanti, bukan karena
keindahan senja yang memukau, atau kuning kemilau cahaya yang menerobos
daun-daun. Sore adalah titik kumpul segala macam perasaan, ada kesedihan bagi
mereka yang terpisah dengan kekasihnya atau mereka yang ditinggal, ada pula
kebahagiaan bagi mereka yang sedang bersama menikmati senja, menjemput malam
berdua.
Namun, aku bukanlah keduanya. Aku justeru menjadi
penikmat kisah kesedihan jua kebahagian. Mengintip dari balik jendela, menafsir
sebaris cahaya dan rintik hujan. Mengagumi bayang-bayang, memuja sederet kata
dan mengikat maknanya.
Aku memeluk setiap bayang-bayang kenangan yang
mengisi setiap inci ingatan, tentang kilau emas matahari di ufuk timur hingga
jingga kejora di ufuk barat, tentang lembut buih menepi di bibir pantai atau
dentuman ombak menghantam karang. Membentuk aksara-aksara indah yang terus kurangkai
membentuk bunga, menebar wangi melebihi aroma kangga dalam imajinasi Dee
di novel Aroma Karsa.
Setiap tembok bagiku adalah jendela. Pandanganku
selalu lepas, menembus setiap dinding, mengamati pelupuk matamu yang mulai mengembun.
Kau selalu setia di balik jendela itu, memuja kenangan indah, menggaruk luka
yang semestinya kau kubur hingga liang bumi terdalam.
Daun waru yang tumbuh di depan rumahmu mulai
menguning, melambai-lambai seakan tak mampu lagi bertahan melawan terpaan angin
sore.
Dulu, pemandangan seperti ini syahdu. Senja,
rinai hujan dan angin yang bertiup lembut adalah isyarat untukmu segera menggeser
tubuh, bergelayut manja dan memintaku segera menyentuh bibirmu yang rekah. Sekarang,
pastilah membuatmu ngilu, seperti menggarami luka yang masih basah.
Dari balik jendela, aku tersenyum membayangkanmu
meringis teriris. Dalam hati kecilku, "itu
salahmu maka nikmatilah!"
***
"Aku siap dengan segala resiko, menerima
apapun adanya dirimu!" Aku menyimpan kata itu seolah baru dan hanya kau
yang mengucapkannya untukku.
Padahal telah beratus kali lebih aku mendengar
ungkapan serupa, di jalanan, di radio, di tivi, sinetron-sinetron dan status-status
alay abege.
Kata-katamu segalanya indah dan wangi, seindah
pandanganmu yang merajuk mengharap ciumku, sewangi aroma tubuhmu yang
memancurkan aroma sirih bercambur selasih dan kesturi, lembut merasuki tubuhku.
Pernah suatu ketika kuragu, bukan soal sayang
yang selalu berhasil kau yakinkan, tapi soal jurang sosial yang menganga. Soal
kepatutan dan moralitas. Tak satupun pandangan yang membuatnya patut, dan tak sepenggal
dalilpun yang bisa menjadikannya etis.
Ini terlarang dan tak pantas. Serupa Rahwana mengharap
Sinta.
"Namun, aku tak ingin seperti Rahwana yang
merutuk, 'Tuhan, jika cintaku pada Sinta terlarang, mengapa Kau bangun megah
perasaann ini dalam sukmaku! Tidak, aku tak akan pernah melakukan itu!"
"Tak perlu! Aku yang akan menjelaskannya.
Aku yang akan memantaskannya." Lagi-lagi aku percaya, seakan-akan aku baru
mendengar kata-kata itu, diucapkan pertama kali oleh satu-satunya perempuan untuk satu orang laki-laki.
Aku tak pernah percaya ada gombal tatkala
menatapmu, aku tak mengerti pengkhianatan kala memelukmu. Kala bersama,
semuanya adalah kebaikan dan baik-baik saja.
Di deras hujan yang mengguyur tubuh kita, di
pematang sawah yang becek berlumpur, selalu ada kehangatan, sama sekali tak
mirip cerita Surti dan Tejo, meskipun sebagian adegannya serupa.
***
"Manalah mungkin, tak satupun alasan yang
bisa menjelaskan anakku bisa mencintaimu, tak secuilpun kepantasan yang
membuatnya bisa sayang, meski kau menggunakan aji pengasihan tingkat tinggi.
Anakku tak pernah lepas berdzikir, dia adalah anak yaang alim dan taat
beragama," sergah Ibumu begitu kuturuti kemauanmu untuk memulai
pembicaraan.
Menurutmu, jika kuberani memulai, maka berikutnya
kamulah yang akan mengambil alih pembicaraan, dengan sebaris catatan aksi teror
yang siap kau tebar, termasuk minggat jika Ibumu tak merestui.
Aku percaya! Sekali lagi. Seolah kata-katamu
adalah firman suci yang hanya diwahyukan untukku.
Aku menunggu reaksimu. Hening, aku tak berani
menegakkan kepala. Aku melirikmu tertunduk.
"Iya kan, Nduk?" Ibumu memegang bahumu yang seolah kehilangan tulang.
Aku melafadzkan do'a, serupa do'a Musa ketika menghadap Fir'aun, engkau
diberikan kefasihan dan ibumu diberikan kelapangan dada untuk menerima sikap dan
keputusanmu.
Aku tak ingin, suasana sore ini menjadi petaka,
menjadi suasana terburuk dalam hidupku dan hidupmu. Sedikitpun aku tak mengharapkan
gelegar murka Ibumu, karena menurutku itu lebih menakutkan dari cahaya dan
dentuman halilintar yang menyambar dan membuat gosong pohon besar tempat biasa
kita meneduh.
"In-injih,
Bu'e!" pelan dan halus. Namun, jawabanmu meluncur deras, menyasar
nadi dan pembuluhku.
Aku berusaha bangkit walau seperti telah kehilangan
tulang. Aku harus bisa pergi dari hadapanmu, dari kemegahan janji-janjimu.
Alam menjadi gelap, hujan turun menggenangi
jalan, mengalir memasuki rumah, menenggalamkan sebagian perabot.
***
Pagi buta. Jalanan belum sepenuhnya terang. Aku
melihat beberapa orang sibuk memanjat pohon, memasang poster yang memuat foto
dan tulisan, Pilih Bejo, Rakyat Sejahtera!
Di ujung jalan, terpampang banner besar,
Bedul Setia Bersama Rakyat! aku
membaca berpuluh banner, berpuluh
janji.
Tiba-tiba teringat kamu. Mual, seperti mencium
bau bangkai kucing yang perutnya telah merongga dipenuhi belatung dan lalat, terjebak di
dalam got.
Janjimu seperti janji politisi. Busuk!!
0 Comments: