Tak dapat dicegah, Kota
Metro terus berkembang dan semakin padat. Lahan perkotaan semakin sempit dan tidak proporsional dengan laju pertumbuhan
penduduk dan urbanisasi.
Kota Metro
dikhawatirkan menjadi tersegmentasi baik
secara fisik maupun sosial. Padahal, proses segmentasi masyarakat perkotaan
inilah yang disinyalir para ahli sosial sebagai ancaman terjadinya berbagai
konflik di masyarakat. Makin terpecah-pecahnya ruang fisik dan ruang sosial
mengakibatkan hilangnya trust (kepercayaan), network (jaringan)
atau hubungan sosial, dan local wisdom (kearifan lokal) yang ada di
masyarakat.
Namun, hadirnya beragam
ruang publik di Kota Metro seperti taman, lapangan hingga cafe dan warung
tempat nongkrong bisa mencegah warga kota dari segmentasi yang mengarah pada sikap
individualistik, bergerak ke arah saling tidak mengenal yang pada akhirnya akan
kehilangan identitasnya sebagai makhluk sosial, yang seharusnya saling
membutuhkan.
Langkah pemerintah
melakukan penataan terhadap ruang publik, melengkapinya dengan tempat duduk dan
medium berinteraksi secara nyaman adalah langkah yang harus diapresiasi dan
terus menerus didukung sebagai upaya memaksimalkan fungsi rung publik, untuk mengembalikan semangat kesetiakawanan atau solidaritas sosial.
Ruang
publik harus menjadi ruang yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum
sepanjang waktu, tanpa dipungut bayaran (Danisworo, 2004). Baskoro Tedjo (2005)
mendefinisikan ruang publik sebagai ruang yang netral dan terbuka untuk siapa
saja, untuk berkegiatan dan berinteraksi sosial. Ruang publik dapat berbentuk
jalan (street) yang bersifat linier, dan berbentuk lapangan (square)
yang berbentuk simpul.
Dalam konteks yang lebih luas, ruang publik sebagai
sub-sistem dari kota, memiliki peran sangat penting dalam mengontrol,
mengendalikan dan menegaskan orientasi perkembangan ruang kota secara
morfologis maupun sosiologis. Namun, kondisi keterbatasan ruang pada lingkungan
permukiman warga kota, seperti taman yang pola perkembangannya lebih bersifat unplanned,
harus berubah pola pengembangannya dengan melibatkan partisipasi warga untuk
berkegiatan.
Partisipasi warga menjadi
sangat penting untuk menjamin keberlangsungan fungsi-fungsi ruang publik
tersebut sebagai sarana belajar dan berkreatifitas warga kota. Komunitas
kreatif warga kota sebagaimana Arnold J. Toynbee (1961) meyakini, lahirnya
sebuah peradaban diinisiasi oleh komunitas kecil yang ia sebut sebagai
minoritas kreatif (creative minority). Kelompok ini bekerja secara
terus-menerus membesarkan peradaban hingga tumbuh menjadi peradaban gemilang.
Selanjutnya, bila kelompok
ini kehilangan daya kreatifnya, maka peradaban yang gemilang tadi akan redup,
lantas mengalami kehancuran. Syaratnya, apabila minoritas (elit) kreatif itu
bekerja keras menjaga (merawat) nilai-nilai abadi: kebenaran, keadilan, dan
akal sehat (rasio).
Kelompok kecil kreatif
yang dikenalkan oleh Arnold Toynbe tersebut dalam konteks lokal kota
adalah sebuah komunitas kecil yang selalu berikhtiar dan berpikir terus menerus
untuk melahirkan ide-ide kreatif untuk membangun dan meningkatkan kapasitas individu
dan sosialnya, sehingga mereka menjelma menjadi kekuatan baru yang
diperhitungkan karena gagasannya, dan mereka berkumpul dalam ruang publik yang
menjadi rumah bersamanya.
Optimisme terhadap masa depan kota ini, ditunjang
dengan kemunculan banyak dan beragam komunitas, mereka berkumpul di ruang-ruang
publik, melahirkan gagasan baru dan ide kreatif. Ruang publik bagi mereka
bahkan bukan hanya diorientasikan sebagai tempat bersemainya gagasan dan
kerja-kerja kreatif yang berorientasi memproduksi ilmu pengetahuan.
Ruang publik seperti cafe atau warung tempat nongkrong
telah dikembangkan dalam rangka mendukung usaha ekonomi kreatif
dengan cita rasa lokal (local economic development), membangun dan
menyelenggarakan kegiatan ekonomi mulai dari tempat, etalase, produksi sampai
menjualnya semua dilaksanakan secara gotong royong.
Ruang Publik dan Masa Depan Kota
Ruang publik sebagai rumah bersama warga kota, adalah ruang
publik yang menjadi tempat berinteraksi dan akhirnya melahirkan nalar publik.
Warga kota akan menjadi para
pekerja produktif dan pekerja kreatif, dan akhirnya merekalah yang akan
merencanakan masa depan kota dan menciptakan pekerjaan, gagasan-gagasan baru,
serta konten kreatif.
Ruang publik sebagai rumah bersama adalah upaya untuk mendorong
bahwa kota dan warganya
saling berinteraksi dengan dinamis. Di satu sisi kota menjadi muara bagi
imajinasi dan dunia kreatif, sedangkan di sisi lain, kota mempunyai kekuatan
untuk mendorong, menggerakkan, memusatkan dan menyalurkan energi kreatif itu. Dalam
proses interaksi itu kota mampu mengubah energi kreatif menjadi inovasi-inovasi
yang melingkupi ranah teknis maupun ranah artistik kultural. Oleh sebab itu
kota menjadi sumber yang tak henti-hentinya menciptakan lapangan kerja,
melahirkan bentuk-bentuk industri dan perdagangan baru di tengah-tengah
masyarakatnya.
Ruang publik seperti taman
kota, lapangan dan beberapa tempat terbuka lainnya menjadi rumah bersama para
pekerja kreatif yang terdiri dari para ilmuan, tenaga ahli yang mengabdi di
pusat-pusat pendidikan dan penelitian, arsitek, dan mereka yang bergerak di
bidang kebudayaan seperti penyair, pemusik, desainer, perancang atau pekerja
dalam dunia hiburan. Selain itu para pekerja profesi berbasis pengetahuan,
seperti kesehatan, keuangan, hukum, juga termasuk dalam kelompok ini, yaitu
kelompok yang disebut ahli sosio-ekonomi Richard Florida kelas kreatif (creative
class) yang menjadi penggerak ekonomi kota di masa depan.
Semua itu hanya dimungkinkan
karena kemampuan kreatif manusia. Kemampuan ini adalah sumber daya paling nyata
bagi trend ekonomi berbasis penciptaan nilai, sekarang dan masa depan. Ia
merupakan konstruksi kemampuan intelektual yang melingkupi segala bentuk
potensi yang terdapat di dalam diri manusia yang kemudian diekspresikan dalam
bentuk produk-produk budaya. Oleh karena itu kota, yang didefinisikan sebagai
tempat pemukiman manusia dengan jumlah besar, adalah tempat berkumpul dan
berinteraksinya sumber daya kreatif yang hampir tidak terbatas itu.
Kota Metro, dalam rangka
merealisasikan visi sebagai kota
pendidikan dan wisata keluarga membutuhkan ikhtiar dan dana ratusan milyar
bahkan triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur dan perangkat-perangkat
lainnya. Infrastruktur pendidikan merupakan ukuran pertama untuk melihat apakah
pendidikan di Kota Metro berkembang atau tidak, walaupun kita sepenuhnya tidak
sepakat jika pendidikan melulu diukur dengan bangunan fisiknya.
Pendaapatan Asli Daerah (PAD)
Kota Metro yang minim, harus mendorong lahirnya jalan lain sebagai alternatif,
inovasi dan kreatifitas warga adalah jalan baru yang harus dimaksimalkan.
Penyedian ruang publik harus linier dengan partisipasi warga untuk
memanfaatkannya sebagai salah satu upaya akselerasi pencapaian visi kota
tersebut, lahirnya komunitas warga yang pembelajar dan melahirkan gagasan
kreatif, adalah ikhtiar yang paling mungkin dan efisien untuk bergerak bersama
membangun kota. Sehingga visi Kota Metro menjadi kota
pendidikan dan wisata keluarga segera terwujud.
Comments
Post a Comment