Selalu berulang,
setiap tanggal 21 April semua ingatan tertuju pada satu sosok yang dianggap
pejuang emansipasi, pejuang hak-hak perempuan. Merintis sekolah, menulis,
melukis, bermain piano dan menggambar dengan pola batik. Kartini dipercaya
sebagai salah seorang yang pertama memiliki jasa mengenalkan batik sebagai
pakaian khas Indonesia.
Anak saya yang kini
duduk di kelas 9 SMP kembali sibuk, sebagaimana kesibukannya di tahun-tahun
sebelumnya, dua hari (Kamis, 21/04/2018) sebelum tanggal 21 telah sibuk mencari
dan menyiapkan baju batik untuk dipakai ke sekolah, memenuhi perintah gurunya memperingati
Hari Kartini, sebuah upacara serimonial yang entah kapan berganti menjadi
peringatan yang lebih substantif, daripada sekadar upacara, memakai kebaya bagi
perempuan dan batik bagi laki-laki.
Memang, ada
banyak cara orang mengenang perjuangan Kartini, ada yang menggelar lomba
kebaya, ada pula yang mengadakan seminar tentang pemikiran Kartini. sesungguhnya
di balik seremoni tanggal 21 April itu ada banyak yang terlibat dalam perayaan mengingat
perjuangan bersejarah itu, namun abai atas hal-hal penting dari warisan ajaran
dan semangat Kartini.
Ritual
peringatan sebagaimana peringatan-peringatan penting lainnya, seperti HUT RI,
Hari Ibu, Hari Pendidikan Nasional atau peringatan apa saja yang terkait dengan
sejarah perjuangan, selalu nir-nilai, kosong pesan-pesan substansial, sehingga
mengesankan hanya sebagai upacara simbolik yang mubazir. Melelahkan!
Maka, ketika
yang lain mengingat kesejarahan penting tentang perjuangan Kartini melalui
kegiatan dan perayaan, saya lebih senang mengajak para perempuan, istri dan
kawan-kawan saya untuk lebih bergairah melakukan hal-hal yang digiatkan oleh
Kartini, menulis misalnya.
Menulis sebagai
tradisi yang hendak dikampanyekan, dilestarikan dan ditradisikan oleh Kartini
untuk rakyat yang sering disebutnya sebagai rakyatku, wabilkhusus untuk kaumnya, menulis sebagai upaya menyentuh rasa,
mengajak bicara dari hati ke hati, tentang kepedihan yang pernah ditulisnya.
Kepedihan yang
penting untuk diresapi, bukan hanya oleh Kartini dan kaumnya, tapi juga
diresapi sembari memejamkan mata, sehingga masuk pada relung-relung jiwa
terdalam laki-laki, jiwa terdalam mereka yang masih memeluk erat status quo patriarki, menindas tanpa
rasa bersalah melalui pembatasan gerak kaum perempuan.
Ketika Kartini
menerima lamaran dan menikah dengan Bupati Rembang, Adipati Djojohadiningrat, yang
berusia dua kali lebih tua dari dirinya dan telah memiliki tiga orang
istri, ketika itu Kartini telah mengompromikan
cita-citanya, bersedia menjalani kehidupan yang rumit.
Kenapa? Kartini
yang meminta waktu tiga hari untuk menimbang lamaran Sang Bupati, dalam rangka mengumpulkan
segala informasi mengenai sosok yang melamarnya itu, hingga ia menemukan bahwa
sosok laki-laki yang akan menjadi suaminya itu memiliki pendidikan tinggi,
walaupun tidak sampai lulus dari jurusan pertanian di Wageningen, Belanda,
Bupati Rembang yang handal, maka Kartini menganggap Sang Bupati adalah
laki-laki yang terbaik di antara puluhan laki-laki yang telah melamar dan
ditolaknya.
Maka ia pun
menyanggupi lamaran tersebut dengan beberapa persyaratan, Sang Bupati harus
mendukungnya dalam mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi di Rembang, Sang
Bupati juga harus mengizinkannya membawa pengrajin-pengrajin handal Jepara
untuk mengembangkan industri ukir. Kartini juga hanya akan berbicara dalam
bahasa Jawa ngoko kepada Sang Bupati
dan bukan dalam bahasa kromo inggil
yang begitu formal.
Dan terakhir,
permintaannya yang paling kontroversial untuk adat saat itu, adalah bahwa dalam
upacara pernikahan ia tidak akan melakukan upacara berjalan jongkok, berlutut,
dan menyembah kaki mempelai pria.
Sang Bupati
mengabulkan semua persyaratan tersebut, bahkan ia bersedia menceraikan semua
istrinya (dulu disebut gerwo ampil)
demi Kartini, tetapi Kartini menolak karena itu sangat menyakitkan bagi
perempuan-perempuan itu dan anak-anaknya.
Kartini dan Sang
Bupati akhirnya menikah dengan persyaratan tersebut.
Lantas,
mengingat betapa keras Kartini menyuarakan penolakannya pada poligami, apakah
ia benar-benar bahagia dengan pernikahannya sebagai istri keempat? Bacalah
surat Kartini kepada sahabatnya yang terdokumentasi dalam buku Soelastin
Soetrisno (1985).
”Dan
dapatkah kamu membayangkan siksaan yang harus diderita seorang perempuan, jika
suaminya pulang bersama perempuan lain sebagai saingannya yang harus diakuinya
sebagai istrinya yang sah? Suami dapat menyiksanya sampai mati, menyakitinya
semaunya. Kalau ia tidak hendak menceraikannya, sampai matipun perempuan itu
tidak akan memperoleh hak. Semua untuk kaum laki-laki dan tidak ada sesuatupun
untuk perempuan, itulah hukum dan ajaran kami.”
(surat kepada Nona EH. Zeehandelaar, 6 Nopember 1899).
Lalu, untuk
siapa sebenarnya Kartini menikah? Untuk para rakyat, untuk para perempuan, agar
mereka menjadi terdidik dan mandiri, begitu yang terbaca dari pesan-pesannya.
Jadi,
berhentilah para laki-laki menepuk dada dan merasa gagah jika berhasil
menaklukkan banyak perempuan, karena bisa jadi itu juga bukan pilihan terbaik para
perempuan. Ada kemungkinan itu adalah kepasrahan, ketakberdayaan, bukan karena
rasa suka dan cinta yang penuh ketulusan, atau suatu kondisi yang memang
memaksa para perempuan untuk melakukan itu untuk kepentingan lebih besar.
Kebanggaan
menaklukkan perempuan yang tak berdaya, memenangkan pertempuran atas kelompok
yang lemah, bukanlah hal yang membanggakan dan sama sekali gagah. Mengingat perempuan
bagi laki-laki, semestinya adalah bagaimana menemukan kesejatian, kegagahan,
yang diraih dengan penuh perjuangan dan keringat, merayakan kemenangan karena
perjuangan bukan merayakan kemenangan atas ketakberdayaan orang lain.
Ada catatan
perih, yaitu ketika Kartini mengetahui kehamilannya, meski ia bahagia dengan
kehamilan tersebut, ada kesedihan yang tergambar dalam surat yang ia tulis
kepada Nyonya Abendanon, bahwa seandainya bayinya perempuan, ia berharap sang anak
tidak akan dipaksa menjalankan hal-hal di luar cita-citanya. Ia secara
eksplisit menulis bahwa ia berharap sang suami akan selalu mendukung anak
perempuannya, bahkan mengijinkan, seandainya sang anak tidak ingin menikah sama
sekali. Catatan tersebut seolah cerita mengenai kesedihannya sendiri.
Catatan terakhir
ini harus menjadi catatan penting bagi para laki-laki, ketika mengingat atau
hanya sekadar merayakan dan menggelar upacara peringatan perjuangan Kartini, bayangkanlah
tentang nasib anak-anak gadismu, yang tentu tak ingin diperlakukan semena-mena
oleh laki-laki.
Selamat Hari
Kartini, semoga kita menjadi lebih bisa bersikap memberikan penghormatan
terhadap nilai-nilai kemanusian, laki-laki terhormat tentu yang menghormati
perempuan, perempuan terhormat tentu juga yang mampu menjaga kehormatannya.