Sari melihat jam di pergelangan
tangannya, masih pukul tiga sore lebih sedikit. Ia memendarkan pandangannya ke
sekeling kampus telah yang terlihat sepi. Cuaca yang mendung, membuat para
mahasiswa lebih memilih bergegas pulang, khawatir hujan deras segera turun.
Namun, Sari beda, tidak menuju tempat parkir, ia malah menuju perpustakaan yang
terletak di sebrang ruang kuliahnya.
Gerimis kecil telah turun, Sari berlari kecil memasuki ruang perpustakaan, ia agak terburu-buru, khawatir petugas menutup perpustakaan kampus lebih cepat, karena melihat mahasiswa telah sepi. Sari harus menyelesaikan tugas resensi novel dari dosennya yang harus selesai dan dikumpulkan besok pagi.
“Sore, Bu?” Sapa Sari ke petugas
perpustakaan yang masih duduk santai di depan komputer sambil bermain game.
Tanpa menghiraukan petugas yang
tak menjawab sapaannya, Sari langsung menuju rak buku yang khusus menyimpan
koleksi buku-buku sastra. Ternyata, ia tidak sendiri di perpustakaan itu, masih
ada seorang pemuda tinggi besar dan lengannya penuh tato.
“Bukankah itu Aldi? Si Preman
kampus?” Sari membatin, setengah tak percaya bercampur takut, ia memandangi
laki-laki itu dan memastikan bahwa itu memang Aldi, cowok yang ditakuti di
Kampusnya, sosok yang lebih dikenal sebagai preman. Langkahnya terhenti,
setelah ia benar-benar yakin bahwa itu memang Aldi, ia memilih diam, mematung
tak bergerak.
“Sari, kenapa bengong? Kamu pasti
sedang mencari buku ini.” Sapa Aldi dengan ramah sambil menyodorkan sebuah
Novel yang dicari Sari.
Setengah rikuh bercampur takut, Sari
menerima buku yang disodorkan Aldi, tapi ia tak berkata apapun, bahkan untuk sekadar
mengucapkan terimakasih, Hingga Aldi
berlalu dari hadapannya. Sari menggigit bibirnya dengan keras, memastikan bahwa
ia tidak sedang bermimpi. Sari mengeluh kesakitan, ia haqqul yaqin tidak sedang bermimpi.
Namun, ia masih saja tak percaya.
"Mana mungkin cowok bertato yang menghabiskan waktunya di jalanan bisa
berada di perpustakaan saat para mahasiswa yang lain telah pulang, bahkan
mahasiswa paling rajinpun tak mungkin bertahan di perpustakaan hingga menjelang
perpustakaan tutup, kecuali ada tugas." Batinnya.
“Apakah Aldi tahu aku akan ke
perpustakaan sore ini? Dan sengaja menunggu karena ia punya maksud-maksud
tertentu? Lantas, kenapa ia bisa tahu buku yang ku cari? Tapi, bukankah hanya
aku sendiri yang tahu, dan aku merencanakan ke perpustakaan hari ini, setelah
ke luar dari ruang kuliah. Aku tak pernah memberi tahu siapapun, termasuk Rani
sahabat dekatku.” Pikiran Sari menerka-nerka.
Sari tersadar dari lamunannya
tentang dugaan-dugaan buruknya terhadap Aldi, setelah petugas perpustakaan
menegurnya dan mengatakan perpustakaan akan segera ditutup. Ia bersegera menuju
meja petugas dan mencatatkan buku pinjamannya, kemudian berlalu meninggalkan
ruang perpustakaan itu. Ternyata di luar telah gelap, hujan turun sangat deras,
langkahnya terhenti di teras perpustakaan, ia tak mungkin menerobos guyuran
hujan.
Petugas perpustakaan telah pergi
menuju mobilnya, hanya tinggal Sari sendiri mematung menunggu hujan reda.
Tidak, ia tak sendiri di pojok teras perpustakaan yang luas itu, ia melihat seorang
laki-laki juga sedang meneduh, sama seperti dirinya, berharap hujan tak
berlama-lama mencumbu bumi, seperti seorang yang sedang melepas kesumat rindu.
Meski tak bertegur sapa karena
jaraknya jauh, paling tidak keberadaan laki-laki itu membuatnya tak sendiri dan
merasa sedikit aman.
Di bawah lampu teras perpustakaan
itu, Sari membuka halaman-halaman novel yang baru saja dipinjamnya, membaca
sambil sesekali mencatat hal-hal yang dianggapnya penting. Ia berhenti membaca
dan mencatat, kumandang adzan lamat-lamat terdengar, beradu dengan suara deras
hujan. Sari mulai jenuh, namun hujan tak memberi tanda-tanda akan berhenti,
hari semakin gelap.
Sari hampir nekad menerobos
hujan, namun ia mengurungkan niatnya, saat melihat laki-laki yang berada di
ujung teras perpustakaan itu berjalan ke arahnya, setelah semakin dekat, ia
kaget, ternyata laki-laki itu adalah Aldi. Wajahnya terlihat was-was.
“Aku bawa jas hujan, jika
berkenan pakailah jas hujanku.” Aldi menegurnya lebih dulu, sambil mengeluarkan
jas hujan dari ransel yang di bawanya.
Sari ingin menolak tapi tak kuasa.
“Terimakasih,” suaranya lirih.
Sari segera memakai jas hujan
itu, dan terburu menuju parkir, ia ingin segera berlalu dari hadapan Aldi,
tetapi laki-laki mengikutinya ke tempat parkir, ke arah sepeda motornya. Sari
menghidupkan dan menjalankan sepeda motornya dan pura-pura tak melihat kalau
Aldi mengikutinya.
Dari spion sepeda motornya, ia tahu Aldi masih mengikutinya. Sari
was-was dan melarikan sepeda motornya dengan kecepatan maksimal, namun ia tetap
melihat Aldi masih mengikutinya, hingga akhirnya ia sampai di halaman rumahnya.
Sari melihat sepeda motor Aldi memutar arah dan hilang di jalanan menembus
hujan yang semakin deras.
Sari segera memasuki rumahnya,
mandi dan berganti baju, kemudian sebelum beranjak ke tempat tidur, ia
mengerjakan tugas terlebih dahulu, meyalin catatan yang dibuatnya di teras
perpustakaan tadi, tugas resensi novel itu harus dikumpulkannya besok. "Tak
perlu sempurna, yang penting selesai!" Pikirnya.
Sari masih teringat sosok Aldi,
laki-laki bertubuh atletis, tinggi dan bertato, sosok pemuda tampan, tetapi sering
diperbincangkan sebagai preman, kasar dan ditakuti. Meskipun, saat bertemu
beberapa saat dan berkomunikasi langsung dengannya, ia justeru memiliki
penilaian yang berbeda, Aldi sopan dan peduli.
Sari sebenarnya punya banyak
teman laki-laki, bahkan telah beberapa kali berganti pacar. Sampai akhirnya ia
berkesimpulan bahwa laki-laki sama saja, yang alim dan pendiam atau yang
urakan, semua sama, selalu merasa superior, ingin diposisikan lebih tinggi dari
perempuan. Semua laki-laki yang pernah menjadi pacarnya selalu ingin menguasai,
seolah mereka paling berhak atas waktu, kehendak bahkan tubuhnya.
Sari kadang melawan, tetapi lebih
sering terjebak pada dominasi kuasa laki-laki. Pernah suatu waktu, ia begitu
berharap dengan seorang laki-laki yang sangat dicintainya, ia yakin laki-laki
itulah yang akan menjadi pendamping hidupnya, hingga ia pasrahkan segalanya, ia
berikan semuanya hingga kehormatan yang ia jaga dan pegang teguh selama
bertahun-tahun, akhirnya ikut ia pasrahkan, dan setelah itu, laki-laki itu
pergi tanpa kata dan kabar, ia pun terpuruk sendiri, hatinya hancur berserak,
ia merasa telah kehilangan hartanya yang paling berharga, ia merasa harga dirinya
menguap tak bersisa.
Cukup lama Sari memulihkan
kepercayaan dirinya, dan berusaha kembali menjadi perempuan periang. Ketika ia
merasa betul-betul terpuruk, sempat terpikir untuk mengakhiri hidup, untunglah masih
banyak teman-temannya yang berusaha menguatkan dan menasehatinya, bahwa ia sangat
berharga daripada laki-laki pengecut dan pecundang yang telah meninggalkannya.
Sejak itu, ia tak pernah lagi
terlalu mempercayai laki-laki.
Baginya laki-laki tak ada yang
istimewa, apalagi di kelas Sari adalah mahasiswi yang cerdas dan berprestasi.
Untuk itulah, Sari tak lagi memosisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki.
Meski ia akhirnya berdamai dengan
masa lalunya, ia tetap menganggap laki-laki 'tak lebih' dari sekadar mitra
sejajar, setiap kali pacaran ia pasti mengajukan syarat, bahwa hubungan yang
mereka jalin adalah hubungan yang setara, tak boleh ada yang lebih dominan, ia
juga menegaskan bahwa ia berdaulat atas tubuh dan kehendaknya sendiri, tak mau
diatur. Sari tak pernah lagi memikirkan laki-laki sebagai segala-galanya,
baginya laki-laki yang sok kuasa
adalah laki-laki yang harus dibuang dari kehidupan karena berpotensi
melanggengkan budaya patriarkhi, yang
menjajah.
Sari tuntas merampungkan
tugasnya, ia menengok keluar jendela, hujan masih turun walaupun tak sederas
saat ia pulang tadi. Ia sudah tak sabar masuk dalam selimut tebalnya dan
tertidur pulas.
***
Pagi yang cerah di kampus, Sari
menikmati harum tanah yang semalan suntuk dicumbu hujan. Pepohonan yang tumbuh
rindang dan bunga-bunga yang tertata rapi di sepanjang jalan menuju pelataran
parkir terlihat lebih segar. Sari menyebarkan pandangannya ke seluruh area
parkir, berharap melihat sosok Aldi, ia harus mengembalikan jas hujan yang
dipinjamkan Aldi kemarin. Nihil.
Hingga jam perkuliahan dimulai Sari
tidak menemukan sosok Aldi. Ia bingung harus mencari informasi kepada siapa,
jika ia tanyakan kepada kawan-kawannya, pasti ia akan ditertawakan karena tak
pernah sepenting itu menanyakan perihal laki-laki dan belum tentu
kawan-kawannya juga tahu.
Sari akhirnya membiarkan jas
hujan Aldi menjadi penghuni jok sepeda motornya, ia berpikir, suatu saat Aldi
pasti mencarinya untuk mengambil jas hujan itu. Sari berlari kecil ke ruang
kuliah dan berkumpul bersama kawan-kawannya, sejenak ia bisa melupakan Aldi dan
jas hujannya.
***
Sore itu, setelah beberapa hari.
Seusai kuliah Sari membuka jok
sepeda motornya, untuk menyimpan buku-buku diktat yang berat.
Begitu jok motor itu terbuka,
matanya langsung tertuju pada sebuah jas hujan hitam yang masih tersimpan rapi
di sana. Selama ini, ia jarang sekali menyadari dan memperhatikan jok sepeda
motornya itu, ia terlalu cuek dan tak peduli bahwa selama ini ia masih memiliki
tanggungan untuk mengembalikan jas hujan itu kepada pemiliknya.
Aldi, si pemilik jas hujan itu
telah dua minggu tak tampak di kampus. Sejak terakhir pertemuannya di teras
perpustakaan.
Sari melihat jam di pergelangan
tangannya, jarum jam masih menunjukkan pukul tiga kurang. Ia mengurungkan
niatnya untuk langsung pulang.
“Masih ada waktu sekitar satu jam
lagi untuk menghabiskan waktu di perpustakaan,” pikirnya.
Selasa sore yang cerah, tak ada
mendung sedikitpun, hanya sedikit awan putih yang berarak pelan ke arah barat. Sari
segera memasuki ruang perpustakaan dan menuju rak buku-buku sastra, di sana ia
masih melihat buku yang dua minggu lalu dipinjamnya, buku yang ia terima dari
tangan Aldi.
Sari meraih buku itu, dan
membukanya pelan. Selama ini ia tak pernah seserius dan setertarik itu terhadap
buku novel yang menurutnya usang itu, tapi entah kenapa, tiba-tiba ia merasa di
setiap halamannya ada misteri yang harus dipecahkan tentang Aldi. Meskipun ia
pernah membacanya sambil lalu, kini dengan penuh hikmat ia membaca lembar per
lembar novel itu.
Sari kembali melirik jam
tangannya, ia berpikir tak mungkin menyelesaikan membaca novel itu di situ,
hanya tersisa beberapa menit lagi. Ia pun merasa tak ada alasan yang menarik
dari novel itu, sehingga harus meminjam dan membawanya pulang kembali. Ia membalik
halaman-halaman novel itu hingga di lembar terakhir, dan di halaman terakhir ia
menemukan secarik kertas yang tertempel rapi dengan warna putih berbeda dari
warna lembaran novel itu, halaman yang ia abaikan tatkala ada tugas meresensi.
Ada tulisan tangan yang tersusun
rapi di sana, terburu-buru Sari membacanya.
Sari yang baik,
Jangan kaget, jika tiba-tiba aku mengetahui kamu akan meminjam
novel ini. Tadi, sebelum ke perpustakaan, aku telah membulatkan niat untuk
menemuimu, karena aku tahu hanya kamu yang bisa memecahkan masalah ini,
sehingga saat aku sampai di depan kelasmu, aku mendengar dosen memberimu tugas
untuk meresensi buku ini, aku akhirnya berinisiatif mendahuluimu ke
perpustakaan.
Aku sebenarnya ingin menyampaikannya langsung, namun jika aku tak
mampu, surat ini juga telah kusiapkan sebagai pengganti lisanku. Tak perlu
menertawakan hal yang lucu ini, karena aku memang tidak memiliki nyali untuk
bicara langsung kepadamu, entah kenapa? Aku tak mengerti juga alasannya. Tapi
itu tak penting.
Sari…
Aku tak bisa menebak, apakah kita sepaham atau tidak, tapi aku
masih memiliki keyakinan bahwa engkau adalah salah satu dari yang punya
kepedulian, dan menurutku itu penting. Kita tak mungkin menghilangkan dan
menghapus sama sekali kemiskinan di kota kita, tetapi yang penting kita lakukan
adalah membangun kepedulian orang-orang kaya terhadap orang miskin, dan aku
ingin kita, aku dan kamu memulainya, terutama kamu yang memiliki kelebihan materi.
Sari …
Di tengah kota ini, ada sebuah bangunan tua tempat berkumpulnya
orang-orang miskin kota, di sana ada anak-anak yang menjadi gembel, ibu-ibu tua
yang menjadi pengemis, bapak-bapak yang sering terlihat mengais-ngais sampah,
dan di atas semua itu, hal yang paling penting adalah, ada sepasang suami
istri, yang sakit parah, mereka telah berkeliling rumah sakit di kota ini, tapi
semua rumah sakit menolaknya karena mereka tak bisa membayar.
Sari…
Aku berharap, engkau mau peduli untuk membantu mereka.
Oh ya, Sari. Di kota ini ada banyak anak-anak muda yang memiliki
keterbatasan materi, tetapi mereka memiliki bergudang-gudang semangat yang tak
pernah habis, bahkan hingga jatah usia mereka habus sekalipun, barangkali.
Mereka menghidupkan lapak-lapak baca, mereka memiliki harapan, generasi muda
kita mau membaca, mereka yakin membaca dan mencintai buku bisa merubah
kehidupan. Dan, kamu adalah satu dari sekian yang sedikit perempuan yang
mencintai buku. Tak tertarikkah engkau bergabung?
Selamat hari buku, Sari!
Dari,
Aldi
Sari berdiri terpaku. Ia menyandarkan
bahunya ke rak-rak buku di perpustakaan itu. Selama ini kawan-kawannya dan ia
telah salah menilai Aldi. Ia menjadi sadar, bahwa selama ini ia telah jauh
tertinggal, kesadaran sosialnya seolah jalan di tempat, dan Aldi telah jauh
berlari di depannya, melakukan hal-hal yang bermanfaat buat sesama.
------
Cerpen ini adalah cerpen lama, dirubah dan ditulis kembali untuk mengingat Hari Buku, 23 April 2018. Tokoh Sari, terinspirasi dari tulisan berseri Endri Kalianda di endritorial.com