Idealnya pemilihan umum adalah
implementasi kedaulatan rakyat, atau paling tidak menjadi medium partisipasi
warga memberikan mandat politik di legislatif maupun eksekutif berdasarkan
pertimbangan, yang diberi mandat memiliki gagasan, visi dan program yang jelas
untuk kesejahteraan rakyat. Pemilihan umum adalah sirkulasi kepemimpinan, yang
semestinya didasarkan pada kualitas dan integritas, bukan pada isi tas.
Namun, demokrasi yang masih dalam masa
transisi, dihuni banyak ragam kepentingan, termasuk elemen-elemen non
demokratis, para penumpang gelap dan pencoleng membaur dalam wajah yang sama,
dan secara teoretik hal ini diaminkan John Markoff (2002) dan Larry Diamond
(2003) sebagai fenomena hybrid dan pseudo democracy.
Fenomena ini pada akhirnya akan merusak demokrasi, mengkhianati kepercayaan citizenship,
dan melahirkan demokrasi palsu.
Elemen-elemen non demokratis ini,
salah satunya adalah para garong demokrasi yang bertindak bak politisi
yang selalu memperjuangkan kepentingan rakyat, bahkan tak segan-segan
meneriakkan politik bersih dan memainkan simbol-simbol kemiskinan, blusukan
ketika musim kampanye, parahnya lagi tak segan menggunakan jubah agama, membungkus
suap serupa sedekah dan
bantuan amal untuk mempengaruhi pemilih.
Buram dan kabur, rakyat yang
selama 32 tahun terbiasa dengan kultur membeo elit, terus
diajarkan dan dipertontonkan kebodohan, nyata-nyata terciduk korupsi tetapi
tetap mengaku jujur dan niat lurus, mereka yang
menabur materi, menyebar sedekah dan membagi-bagi sembako dengan kedok bantuan
amal, akhirnya dianggap yang baik dan dermawan, mereka yang mempresentasikan
gagasan, program dan visi-misi dianggap tukang bual dan menyebar janji gombal.
Perjalanan
reformasi selama dua
dasawarsa, dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung yang dihelat perlimatahunan sejak 2005, pun
tak memberikan banyak perubahan terhadap kesejahteraan rakyat, sehingga makin
meneguhkan anggapan tentang demokrasi bermuka bopeng dan politik yang berwajah
buruk, ditambah laku elit partai politik yang tak risih menghalalkan segala cara yang semestinya haram.
Partai
politik yang seharusnya menjadi
salah satu agen demokrasi, justru menyuburkan transaksi
jual beli, mulai dari proses rekrutmen kader hingga menentukan siapa calon yang
hendak diusung. Bahkan dengan
sadar dan sengaja, partai sering membunuh kadernya sendiri, dengan cara membuka
pintu selebar-lebarnya bagi orang-orang dari luar partai yang ingin berkuasa
dengan syarat mereka menyediakan dana sebagai mahar politik. Akibatnya,
meski tersangkut kasus tetap maju terus dan mengaku lurus.
Parpol semacam
ini menjadi
pembenihan calon-calon pemimpin garong, berwajah ganda, di
satu sisi mengaku bersih di sisi lain menawarkan mahar politik, alasannya pesta
(demokrasi) membutuhkan dana besar. Dan di sinilah pintu masuk para
pemodal, mereka bisa menjadi calon kepala daerah, calon legislatif dan menjadi ketua dan pengurus partai politik kapan
saja mereka minat, semua
tergantung uang. Kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman politik, hatta
loyalitas dan dedikasi adalah urusan ketigabelas.
Akibatnya,
rakyat semakin permisif dan menggunakan logika-logika instan dan bersifat
jangka pendek, memilih yang ‘mengerti’ dan ‘memberi’.
Kultur dan sikap toleran pemilih pada
laku politisi yang melecehkan dan merendahkan nalar dan martabat ini, akhirnya
dianggap sebagai hal yang lazim dan lumrah saja, rakyat tak pernah beranggapan
pelakunya biadab dan hina. Pemimpin garong bermental karbitan yang hakikatnya adalah penjahat
demokrasi, tetapi dengan anteng berdiam di rumah demokrasi dengan kuasa lebih
besar, bahkan seolah mereka
lebih punya kebebasan dan paling berhak atas demokrasi yang diperjuangkan oleh para aktifis
demokrasi dengan berkorban, nyawa, darah dan air mata ini.
Partisipasi Warga
Ketika modal besar dan elit partai
politik telah memiliki kuasa yang lebih besar untuk melahirkan pemimpin garong yang nir-gagasan, tuna-politik,
miskin program menyejahterakan, sehingga produk kebijakannya pun bisa dipastikan berpihak pada para
cukong, lantas kelompok sipil yang sadar dan tercerahkan harus melakukan apa?
Situasi
ini adalah sakit
yang serius bagi demokrasi yang mendamba kebaikan dan kesejahteraan segenap
rakyat (bonnum publicum). Munculnya pemimpin karbitan karena pola rekruitmen yang hanya
berorientasi pasar dan hubungan kekeluargaan, akan semakin memperkecil peluang
orang-orang yang berhak menghuni dan
mengendalikan rumah demokrasi dan politik ini.
Maka,
melawan dan melakukan konsolidasi demokrasi secara masif, sistemik dan terus
menerus adalah pilihan jalan yang harus ditempuh tanpa lelah dan putus asa,
hingga budaya demokrasi menemukan kesejatiannya, hingga perilaku jual-beli
suara dianggap hina dan biadab, dan rakyat
bergerak ke tempat pemungutan suara dengan kesukarelaan.
Kesukarelaan
(voluntarisme) adalah salah satu budaya demokrasi yang sangat vital.
Kesukarelaan ini akan muncul jika ada kepercayaan. Menurut Inglehart (1999),
budaya demokrasi erat kaitannya dengan sikap saling percaya (interpersonal
trust) antar warga.
Mengembalikan
kepercayaan rakyat, memang bukan pekerjaan mudah, perlu keterlibatan semua
pihak yang sadar dan tercerahkan untuk terus menerus melakukan pendidikan
politik.
Para akademisi
di kampus sebagai tempat berkumpulnya kelompok rausyan fikr harus ambil bagian, dan berhenti
mengambil jarak dengan rakyat, harus ikut terlibat mengembalikan partisipasi
warga sebagai bentuk kesadaran dan tanggung jawab politik (political
awareness andpolitical responsibility), hal yang paling murah dan mudah adalah
dengan menggerakkan kekuatan media sosial untuk memosting dan menyebarkan temuan-temuan
terkait suap (sogokan) berupa pembagian sembako, susu, atau apa saja yang bisa
mempengaruhi pemilih.