Konon, idealnya pemilihan umum
adalah implementasi kedaulatan rakyat, atau paling tidak menjadi medium
partisipasi warga memberikan mandat politik di legislatif maupun eksekutif
berdasarkan pertimbangan, yang diberi mandat memiliki gagasan, visi dan program
yang jelas untuk kesejahteraan rakyat. Pemilihan umum adalah sirkulasi
kepemimpinan, yang semestinya didasarkan pada kualitas dan integritas, bukan
pada isi tas.
Sebagai sirkulasi kepemimpinan,
wajar saja bila ada yang berasumsi bahwa Pemilu 2019 adalah proses pergantian
kepemimpinan, baik eksekutif maupun legislatif. Berganti orang, berganti
periode jabatan atau bahkan juga berganti arah kebijakan, semuanya sangat
mungkin.
Jokowi bisa diganti? Mengapa
tidak. Bukankah pemilihan umum memberikan ruang dan peluang itu, legal, sama
seperti halnya ketika publik (rakyat Indonesia) menentukan pilihan dan masih
mau mendelegasikan kewenangan kepada Jokowi untuk tetap memimpin Indonesia hingga
2024.
Untuk itu, mestinya seruan mendukung
#2019GantiPresiden dan menolak #2019GantiPresiden disikapi secara proporsional,
diletakkan dan diposisikan sewajarnya sebagai sebuah sikap politik yang absah,
tanpa harus menguras emosi berlebihan.
Menguras emosi berlebihan yang
saya maksudkan adalah menyampaikan seruan yang berlebihan dan cenderung
menghalalkan segala cara, menebar fitnah dan alasan-alasan yang sama sekali tak
logis, termasuk membuat framing
informasi yang mewajahkan pribadi sebagai penjilat terhadap orang yang
didukung.
Jokowi, sebagaimana calon yang
lain adalah manusia biasa, semuanya memiliki kecenderungan untuk khilaf dan
salah, juga tak menutup ruang berprestasi dan berkarya. Semuanya juga memiliki
ruang yang sama untuk berkompetisi dan merebut hati rakyat dengan caranya masing-masing,
tentu (kita harapkan) dengan cara elegan, cerdas dan mencerahkan. Maka, di
titik ini, Jokowi juga memiliki celah
untuk dikalahkan.
Ketika hari ini Jokowi menjadi
idola partai politik, sehingga tak tanggung-tanggung tujuh partai politik telah
menyatakan dukungannya untuk mencalonkan Jokowi sebagai presiden, sebenarnya
juga bukan hal yang mengagetkan dalam perwajahan politik di negeri ini.
Rata-rata partai politik memang cenderung pragmatis, termasuk partai politik
baru yang malas membangun jalan baru, babat alas.
Partai politik lumrah mendompleng
ketenaran tokoh-tokoh populer, dengan
asumsi mereka tak perlu terlalu berkeringat membangun popularitas, cukup
numpang tenar dan pekerjaan bisa lebih fokus meraih elektabilitas. PSI,
misalnya yang bukan hanya tergesa-gesa mendeklarasikan dukungan untuk Jokowi
sebagai calon presiden, tetapi juga telah menawarkan susunan kabinet baru jika
Jokowi terpilih, dan tentu saja para menteri yang diusulkan masuk kabinet itu
adalah mereka yang populer, seperti Agus Harimurti dan Tri Rismaharini.
Apakah salah? Tentu saja tidak,
setiap partai politik punya strategi pemasaran masing-masing. Meski gampang
ditebak, bahwa target dari sikap-sikap politik tersebut bukan semata-mata
hendak memenangkan Jokowi, melainkan juga bagaimana menaikkan popularitas dan
elektabilitas partai politik.
Lantas, bagaimana strategi lawan
politik Jokowi? Selain menjual keshalihan dan mengelola pemilih berbasis agama
sebagai pendukung utama, mereka juga mulai memunculkan nama-nama calon
Presiden, sebutlah beberapa di antaranya yang mulai beredar dan hadir dalam
beberapa acara sebagai panggung politik perkenalan, Prabowo Subianto, Anis
Matta, Agus Harimurti, Zulkifi Hasan, Ahmad Heryawan, Gatot Nurmantyo dan TGB
Muhammad Zainul Majdi.
Jika kita mencoba mengalkulasi
dalam logika awam, dukungan partai politik peserta pemilu 2014 yang memiliki
wakil di DPR RI saat ini, di antaranya adalah PDIP, Partai Nasdem, PKB, Partai
Hanura, PPP dan Partai Golkar, sisanya adalah, Partai Gerindra, PAN, PKS, dan
Demokrat, maka kita bisa melihat bahwa dukungan partai politik untuk Jokowi
sebagai calon Presiden lebih besar, walaupun semuanya bisa saja berubah,
seperti munculnya sinyalemen beberapa partai akan mencabut dukungannya, bila
Jokowi tidak mengambil calon wakil presiden dari yang mereka usulkan.
Namun, penting menjadi catatan
bahwa tak ada satupun dari partai politik yang menyatakan dukungan politik
untuk pencapresan Jokowi, memunculkan nama-nama calon presiden alternatif,
berbanding terbalik dengan partai politik yang menginginkan pergantian
kepemimpinan nasional atau tak menginginkan Jokowi menjadi presiden untuk
periode kedua, rata-rata telah memunculkan nama-nama yang berbeda, walaupun
lagi-lagi semuanya bisa saja berubah.
Jadi, meminjam istilah seorang
kawan, setiap orang wajar dan absah untuk bermimpi, apalagi untuk mimpi-mimpi
yang dianggap mulia, tetapi tentu saja jangan lupa bangun untuk mewujudkan
mimpi-mimpi tersebut. Jika untuk mengalahkan ego dan syahwat politik pribadi
dan kelompok saja tak mampu, terlebih lagi basis yang dalam kalkulasi awam saja
lebih kecil, maka manalah mungkin bisa mengalahkan Jokowi.
Ayo bangun, jangan ngelindur terus dan akhirnya hanya bisa
menyiapkan dan menggunakan jurus mabuk!
0 Comments: